Vaksinasi Berbayar Kembali Bergema, Bakal Lolos atau Batal Lagi?

Rencana penyelenggaraan vaksin berbayar ditujukan kepada kelas menengah yang dianggap mampu membayar vaksin. Mereka inilah yang tidak akan lagi mendapat vaksinasi gratis.

Tim Redaksi

3 Sep 2021 - 20.08
A-
A+
Vaksinasi Berbayar Kembali Bergema, Bakal Lolos atau Batal Lagi?

Pengumuman pembatalan pelaksaan vaksinasi gotong royong berbayar/Bisnis

Bisnis, JAKARTA - Isu vaksinasi berbayar kembali bergema di Tanah Air. Hal itu bermula dari rencana pemerintah yang akan mengenakan tarif terhadap vaksinasi 'booster' dosis ketiga.

Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI.

Menkes menyampaikan vaksin booster bagi masyarakat bisa dilakukan jika pada akhir tahun ini atau awal tahun depan seluruh masyarakat sudah mendapatkan vaksin.

“Di awal tahun depan [2022] kita bisa memulai suntik ketiga. Diskusi dengan Bapak Presiden [Jokowi] sudah diputuskan oleh beliau bahwa ke depan yang dibayarkan pemerintah hanya PBI [peserta bantuan iuran BPJS] saja,” kata Menkes dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (25/8/2021) dikutip dari YouTube DPR RI.

Terkait harga, Menkes menuturkan bahwa masyarakat bisa mengaksesnya dengan harga sekitar Rp100.000 hingga Rp150.000. Selain itu, masyarakat juga bisa memilih jenis vaksin Covid-19 yang tersedia sebagai booster atau dosis ketiga.

Menkes Budi Gunadi Sadikin/Humas Setkab-Rahmat

Adapun, saat ini vaksin booster di Indonesia peruntukannya masih difokuskan untuk Tenaga Kesehatan. Jenis vaksin yang digunakan ialah Moderna.

Dengan kata lain, rencana penyelenggaraan vaksin berbayar ditujukan kepada kelas menengah yang dianggap mampu membayar vaksin. Mereka inilah yang tidak akan lagi mendapat vaksinasi gratis.

Hal itu, selain tersirat dari pernyataan Presiden Jokowi seperti dikutip Menkes, juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, juga Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Dalam Rapat Paripurna DPR ke-3 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (24/8/2021) Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan rencana tersebut.

“Upaya percepatan vaksinasi dilakukan melalui pelaksanaan program vaksinasi yang dibiayai APBN. Juga tahun depan, ada skema vaksinasi mandiri pada kelompok masyarakat yang mampu,” jelas Sri.

Dia menjelaskan skema vaksinasi mandiri merupakan salah satu upaya untuk mempercepat upaya vaksinasi Covid-19 di Indonesia agar segera mencapai target kekebalan komunal atau herd immunity.

PEMBICARAAN KEMENKEU-KEMENKES

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) disebut sedang melakukan koordinasi mengenai rencana pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 berbayar pada tahun depan.

Juru Bicara Kemenkes untuk penanganan Covid-19 Siti Nadia Tarmidzi mengatakan koordinasi yang dilakukan kemenkes dan kemenkeu tersebut baru dimulai sehingga masih berada pada tahapan awal.

"Koordinasi baru dimulai. Baru pembahasan awal. Namun, saya belum mendapatkan informasi mengenai hal yang melatarbelakangi wacana vaksin berbayar tersebut," kata Nadia kepada Bisnis, Kamis (26/8/2021).

Juru bicara vaksinasi dari Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi.Antara-Muhammad Zulfikar

Terkait hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan Kemenkes akan mengatur secara teknis pelaksanaan vaksinasi berbayar, mulai dari penentuan merek sampai dengan tarif vaksin Covid-19 yang akan diberikan kepada masyarakat. 

Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat di DPR RI menyebutkan akan ada skema vaksinasi mandiri bagi kelompok masyarakat yang mampu di tahun depan.

Sementara untuk pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 gratis yang masih berlangsung, pemerintah mencadangkan anggaran pengadaan vaksin sebesar Rp35 triliun hingga Rp36 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Untuk RAPBN 2022, pemerintah menganggarkan anggaran kesehatan pada RAPBN 2022 sebesar Rp255,3 triliun atau 9,4% dari total belanja negara. Salah satu fokus dari anggaran itu adalah mempercepat vaksinasi yang dibantu oleh pemerintah daerah, TNI/Polri, dan BKKBN.

Untuk menjaga ketersediaan serta keterjangkauan harga vaksin, Sri menyatakan pemerintah akan menjalin kerja sama secara bilateral maupun multilateral serta mengupayakan produksi vaksin dalam negeri.

Terkait rencana vaksin berbayar, PT Bio Farma (Persero) menyatakan siap mendukung. "Pada prinsipnya, kami akan support kebijakan yang akan disiapkan oleh pemerintah tersebut," ujar Juru Bicara sekaligus Sekretaris Perusahaan Bio Farma Bambang Heriyanto kepada Bisnis, Kamis (26/8/2021).

Namun, dia mengatakan belum ada pembahasan antara pemerintah dan perusahaan terkait rencana pelaksanaan program vaksinasi berbayar yang masih situasional tersebut.

PENDAPAT EPIDEMIOLOG

Menanggapi rencana pemberlakuan vaksinasi berbayar, Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menegaskan di masa pandemi dua prinsip universal harus menjadi dasar dalam pemberian vaksinasi.

“Pertama adalah sifatnya harus sukarela dan kedua harus gratis. Maksud gratis ini adalah pemerintah yang menanggung semua biaya pengadaan vaksin itu,” katanya kepada Bisnis, Kamis (2/9/2021).

Menurutnya, dua prinsip tersebut berlaku di masa pandemi atau wabah apa pun, termasuk seperti saat ini Covid-19.

Lebih lanjut, Dicky menyebut dua prinsip itu menentukan kesuksesan program vaksinasi sebagai upaya penanganan pandemi.

“Kalau tidak dilakukan maka ada potensi besar tujuan vaksinasi tidak tercapai,” katanya.

Munculnya wacana vaksinasi berbayar di tengah status pandemi Covid-19 masih belum terkendali justru berpotensi menjadi masalah tersendiri dalam penanganan pandemi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani/Bisnis - Eusebio Chrysnamurti

Dicky menyarankan pemerintah melakukan kajian lebih mendalam, terutama yang melibatkan aspirasi publik, sebelum memutuskan adanya vaksinasi Covid-19 berbayar.

KRITIK PKS

Rencana pemberlakuan vaksin berbayar mendapat kritik dari politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan Anis Byarwati menilai vaksinasi berbayar menunjukkan cara penanganan pandemi yang kurang memahami kondisi masyarakat.

“Selagi status pandemi belum berubah vaksin tidak boleh berbayar karena vaksin barang publik, belum lagi ekonomi masyarakat sedang tertekan” katanya, Jumat (3/9/2021).

Anis menjelaskan mengomersilkan vaksin di saat pandemi yang merupakan bencana nasional adalah tidak memiliki dasar. Secara etika pun tidak pantas.

Seharusnya fokus pemerintah segera menyelesaikan produksi vaksin secara mandiri. Percepatan uji coba produksi vaksin buatan dalam negeri harus segera diselesaikan demi menghadapi ketimpangan vaksinasi Covid-19 jangka panjang.

Peneliti beraktivitas di ruang riset vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/8/2020)./Antara-Dhemas Reviyanto


Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR ini juga mengkritik fokus pemerintah selama ini kepada vaksin tidak berimbang dengan strategi dasar 3T, testing, tracing, dan treatment, yang menjadikan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama ini kurang efektif.

“PPKM selalu diperpanjang meskipun kasus positif turun namun angka kematian meningkat ini bukti 3T tidak maksimal, belum lagi varian Covid-19 bertambah menjadikan vaksin yang dikebut menjadi tertinggal terus” ucapnya.

VAKSIN GOTONG ROYONG

Rencana pemberlakuan vaksinasi berbayar mengingatkan kembali pada rencana vaksin gotong royong berbayar yang telah dibatalkan Presiden Joko Widodo.

Skema vaksinasi mandiri atau berbayar bagi kelompok masyarakat yang mampu telah dibatalkan Presiden Jokowi pada Juli 2021. Pembatalan dilakukan setelah mempertimbangkan banyak respons dan kritik dari masyarakat. Vaksin berbayar semula akan disalurkan oleh PT Kimia Farma Tbk. (KAEF).

“Setelah mendapatkan masukan dan juga respons dari masyarakat, Presiden telah memberikan arahan dengan tegas untuk vaksin berbayar yang rencananya disalurkan melalui Kimia Farma semuanya dibatalkan dan dicabut,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (16/7/2021).

Dikutip dari situs web dpr.go.id, pembatalan vaksin gotong royong berbayar disambut kalangan DPR RI, salah satunya Guspardi Gaus. Dia mengapresiasi keputusan pemerintah yang membatalkan vaksin berbayar untuk para individu yang disalurkan melalui PT Kimia Farma Diagnostika.

Vaksin Covid-19 Sinopharm

Skema vaksin berbayar ini  dinilai Gaus sebagai bentuk komersialisasi vaksin  atau kepentingan bisnis berkedok mempercepat vaksinasi nasional.

"Saat diumumkan rencana vaksin berbayar ini, langsung mendapatkan kritikan dan penolakan dari berbagai kalangan termasuk dari DPR. Alasan pemerintah membuka ruang vaksinasi berbayar demi mengejar target mempercepat sehingga mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity, tidak masuk akal," ujar  Guspardi dalam berita rilisnya, Senin (19/7/2021).

Dia menyatakan, seharusnya pemerintah menyediakan dan memperbanyak gerai-gerai vaksinasi Covid-19. Pendistribusian vaksin ke daerah juga harus di percepat karena dilaporkan masih banyak daerah di Indonesia yang stok vaksinnya tidak memadai untuk melayani antusiasme masyarakat yang  secara sukarela mau divaksinasi.

Selain dikritik anggota DPR RI, rencana program vaksinasi berbayar gotong royong sempat dikritik WHO. Badan Kesehatan Dunia itu menyatakan vaksin berbayar di tengah pandemi Covid-19 bisa menimbulkan masalah etika.

Kepala Unit Program Imunisasi WHO Dr Ann Lindstrand mengatakan setiap warga negara memiliki kemungkinan dan akses yang sama untuk mendapatkan vaksin Covid-19.

"Dibutuhkan cakupan dan vaksin untuk menjangkau semua yang paling rentan," kata Lindstrand seperti dilansir dari Tempo.co, Jumat (16/7/2021). 

ASAL IDE VAKSIN BERBAYAR

Setelah rencana vaksin berbayar dibatalkan Presiden, Menko Polhukam Mahfud Md melalui akun Twitter pribadinya mengatakan bahwa sejak awal vaksin Covid-19 di Indonesia ditetapkan gratis.

"Presiden menetapkan, tidak ada vaksin berbayar, semua vaksinasi gratis untuk rakyat. Sejak awal kebijakannya begitu," tulis Mahfud melalui akun Twitter @mohmahfudmd, Sabtu (17/7/2021).

Ide vaksin berbayar muncul akibat ledakan kasus Covid-19 varian Delta. Pemerintah berupaya menggencarkan vaksinasi, tetapi terkendala tenaga medis pemberi vaksin tidak cukup, sehingga membuat antrean. 

Mahfud melanjutkan bahwa TNI, Polri, BIN pun akhirnya turun tangan melatih tenaga vaksin. Akan tetapi hal ini ternyata belum juga cukup untuk melayani masyarakat yang menginginkan vaksin Covid-19.

Menko Polhukam Mahfud MD/Antara-Aditya Pradana Putra

"Muncul ide dari swasta yang akan membelikan untuk karyawannya dan menyelenggarakan vaksinasi sendiri," kata Mahfud.

Dia menjelaskan idenya swasta akan memberikan vaksin dan melatih sumber daya manusia untuk memberikan vaksin agar industri dan sektor-sektor esensial dapat berkerja. Seluruh pelaksanaan ini tidak menggunakan APBN dan vaksin pemerintah. 

"Tapi timbul reaksi penolakan yang keras. Menampung aspirasi itu, Presiden melarang program vaksinasi berbayar," jelas Mahfud. 

Sementara pada Rapat Kerja Komisi IX DPR RI, Selasa (13/7/2021), Menkes menyebutkan kronologi muncul vaksin gotong royong.

Menkes menceritakan ide vaksin berbayar bermula saat rapat di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Rapat digagas Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).

Rapat pada 26 Juni 2021 itu membahas soal vaksinasi gotong royong yang perlu ditingkatkan kecepatannya. Disebutkan, vaksinasi gotong royong hanya menyumbang 10.000 – 15.000 dari target 1,5 juta vaksinasi Covid-19 per hari.

Dalam rapat itu kemudian terbentuk beberapa ide. Mulai dari vaksin gotong royong bagi daerah, rumah sakit, anak, ibu hamil, ibu menyusui, hingga individu. Kesimpulan rapat kemudian dibawa ke rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 28 Juni 2021.

Dengan masukan dari Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Kemenkes juga mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 yang memuat perubahan aturan vaksinasi berbayar.

"Menko Perekonomian kemudian memberikan masukan sebagai KPC-PEN, kemudian kami harmonisasi, kami keluarkan [Permenkes]," kata Budi.

Budi menjelaskan vaksin gotong royong pada awalnya untuk merespons persepsi, jika pemerintah nantinya dianggap kurang gesit melakukan vaksinasi, sehingga butuh bantuan swasta.

Menkes menegaskan vaksin gotong royong murni business to business (B2B), yang dikelola BUMN Bio Farma.

“Kami tidak terlibat, vaksin yang dijual oleh Bio Farma dikoordinasikan lewat Kadin [Kamar Dagang dan Industri Indonesia]. Kami hanya terlibat bahwa itu vaksinnya apa, harganya berapa, dan jumlahnya berapa banyak, itu saja,” beber Budi.

Pemerintah pun tidak ikut pada proses negosiasi, dan penjualan dengan Kadin, serta tidak ikut mengalokasikan vaksinnya.

Budi menjelaskan vaksin gotong royong tadinya diharapkan bisa cepat dan mendorong total vaksinasi nasional seperti ketika program vaksinasi dibantu TNI/Polri.

“Tadinya kita harapkan ada sektor swasta, karena negara ini GDP kita paling besar swasta. Sekarang pemerintah cuma 17 persen. BUMN saja lebih besar 18 persen. Swasta sudah 70 persen. Perputaran uang itu banyaknya di swasta. Itu menunjukkan kekuatan eksekusinya di swasta. Jadi, kalau dibantu swasta akan lebih cepat karena kekuatan ekonomi ada di sana. Idenya benar,” ujarnya.

Kenyataanya, jalannya tidak sebagus yang diinginkan. Maka, muncul ide-ide supaya pelaksanaannya bisa sesuai rencana. Salah satunya adalah individu, karena perusahaan sendiri susah, ribet, dan menghadapi berbagai kendala lain sebagainya.

Lantas, bagaimana dengan rencana vaksin berbayar tahun depan? Kita tunggu saja. (Aprianus Doni Tolok, Dany Saputra, Mutiara Nabila, Rahmad Fauzan, Feni Freycinetia Fitriani, Fitri Sartina Dewi, Muhammad Khadafi, Nancy Junita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.