Kenaikan Tarif INA CBGs bak Duri dalam Daging BPJS Kesehatan

Rencana kenaikan tarif INA CBGs jelang implementasi KRIS pada 2022 membuahkan simalakama. Di satu sisi, tarif yang sudah 8 tahun stagnan sangat memberatkan operasional rumah sakit. Lain sisi, tarif yang naik praktis akan membebani neraca BPJS Kesehatan dan berisiko mengerek iuran peserta.

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

21 Jan 2022 - 13.00
A-
A+
Kenaikan Tarif INA CBGs bak Duri dalam Daging BPJS Kesehatan

Tenaga kesehatan mendorong brankar dari ruangan bekas isolasi pasien Covid-19 di Rumah Sakit Aisyiyah, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (26/8/2021). /Antara

Bisnis, JAKARTA — Rencana pemerintah menaikkan tarif Indonesia Case Based Groups atau INA CBGs yang dibayarkan kepada rumah sakit atau fasilitas kesehatan dinilai rentan membebani arus kas dana jaminan sosial yang dikelola BPJS Kesehatan ke depannya.

Untuk diketahui, tarif INA CBGs merupakan rerata biaya yang dihabiskan untuk suatu kelompok diagnosis, kapitasi, hingga iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dibayarkan kepada rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). 

Rencana kenaikan tarif INA CBGs oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyeruak sejalan dengan rencana implementasi kelas rawat inap standar (KRIS) mulai 2022. 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mahlil Ruby mengatakan lembaganya meminta Kemenkes untuk menaikan tarif INA CBGs secara selektif dan bertahap. 

Dengan kata lain, kenaikan tarif itu mesti menyasar pada pos pembiayaan yang paling rendah atau tidak dikenakan secara keseluruhan. 

“Jangan sampai BPJS Kesehatan jatuh defisit sehingga tidak mampu membayar fasilitas kesehatan dengan cadangan satu setengah bulan,” kata Mahlil, Kamis (20/1/2022). 

Mahlil beralasan masih banyak jenis tarif dalam INA CBGs yang belum dikelompokkan secara tepat. Untuk itu, dia berharap rencana kenaikan besaran tarif itu dapat diterapkan secara hati-hati. 

“Selektif dahulu karena kalau dinaikan secara keseluruhan bisa jadi pertimbangannya [BPJS Kesehatan] defisit. Namun, kalau selektif dilihat yang paling sangat rendah sehingga bisa dinaikkan [karena] di satu sisi kita ingin pelayanan yang bermutu,” tuturnya. 

Dihubungi secara terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan kenaikan tarif INA CBGs akan berisiko mengerek besaran iuran peserta BPJS Kesehatan seiring dengan implementasi KRIS tahun ini. 

“Secara teoretis, kenaikan INA CBGs akan disertai dengan kenaikan iuran. Itu suatu hal yang biasa di mana pembiayaannya dinaikkan harus ditopang dengan input sekalipun dalam situasi normal tidak ada kelas standar,” kata Timboel. 

Timboel mengatakan ketegasan Kemenkes untuk menaikkan tarif INA CBGs pada 2022 tidak lepas dari rencana pemerintah untuk menerapkan KRIS tahun ini juga. 

Hanya saja, menurutnya, titik persoalan kenaikan tarif ini berada pada proses penetapan yang belakangan tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). 

Alasannya, penetapan tarif INA CBGs itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa mengikutsertakan asosiasi fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan di tingkat daerah. 

Konsekuensinya, penyesuaian tarif yang dihasilkan rawan tidak sesuai dengan biaya keekonomian. 

“Undang-undang SJSN menyerahkan BPJS Kesehatan dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah setempat untuk bernegosiasi dulu baru diterapkan oleh Menkes berapa tarifnya,” kata dia. 

Karyawati melayani peserta di salah satu kantor cabang BPJS Kesehatan, Jakarta, Senin (3/1/2021). Bisnis/Suselo Jati

KAJI POS TARIF

Di sisi lain, Kemenkes masih mengkaji sejumlah pos tarif yang dapat mengalami kenaikan seiring dengan penambahan manfaat promotif dan preventif pada jaminan kesehatan nasional (JKN) berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK). 

“Kenaikan tarif ada untuk 2022—baik nanti tarif INA CBGs maupun dari sisi kapitasi—tetapi ini sedang dalam proses perhitungan,” kata Plt. Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kemenkes Yuli Farianti. 

Pembahasan tarif itu tengah dikerjakan Kemenkes bersama dengan BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Keuangan dan asosiasi fasilitas kesehatan terkait.

Rencanannya, sebut Yuli, penyesuaian tarif INA CBGs dapat diterapkan pada pertengahan 2022 seiring dengan implementasi KRIS. 

“Kami sudah libatkan ARSSI [Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia] dan Persi [Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia] berkaitan dengan kajian pembiayaan yang akan kami hitung dan kami akan melihat lagi daftar dari tarif-tarif mana [yang akan disesuaikan],” kata Yuli. 

Dia menambahkan penyesuaian tarif INA CBGs itu didasari oleh fakta adanya penambahan manfaat pada program JKN berkaitan dengan upaya promotif dan preventif dalam kebutuhan dasar kesehatan atau KDK. 

Adapun, Kementerian Kesehatan bersama pemangku kepentingan lainnya tengah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 82/2018 tentang Reformasi manfaat JKN berbasis KDK. 

Berdasarkan Buku Statistik JKN 201—2019, rerata biaya satuan klaim per kunjungan pada kategori Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) tidak mengalami kenaikan yang signifikan setiap tahunnya. 

Pada 2015, rerata biaya satuan klaim pada kelas 1,2, dan 3 adalah Rp287.623. Pada 2016 menjadi Rp286.121 dan pada 2017 menjadi Rp296.777. Sementara itu, pada 2018 menjadi Rp299.057 dan pada 2019 mencapai Rp304.261. 

Tren yang sama juga terlihat dari distribusi rerata biaya satuan klaim per admisi rawat inap tingkat lanjut (RITL) menurut hak kelas perawatan selama delapan tahun. 

Rerata biaya satuan klaim seluruh kelas sebesar Rp4.710.827 pada 2015. Selanjutnya, pada 2016 menjadi Rp4.560.623, pada 2017 menjadi Rp4.806.550, dan pada 2018 menjadi Rp4.747.547. Rerata biaya satuan klaim itu mencapai Rp4.683.632 pada 2019.

GUGATAN RS

Untuk diketahui, akibat biaya satuan klaim yang relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir, para pengelola rumah sakit pun menuntut agar tarif INA CBGs yang dibayarkan kepada mereka dinaikkan. 

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) sebelumnya berencana melayangkan gugatan hukum kepada Kemenkes sebagai buntut tarif layanan tarif Indonesia Case Based Groups (INA CBGs) yang tidak kunjung mengalami kenaikan selama 8 tahun terakhir. 

Rencanannya, gugatan itu bakal disampaikan pada awal Februari tahun ini. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) ARSSI Ichsan Hanafi mengatakan gugatan itu buntut dari kekecewaan faskes atas sikap Kemenkes yang tidak kunjung menaikkan tarif INA CBGs sejak 2014, padahal biaya produksi dan operasional seperti gaji SDM, logistik, dan layanan media naik tiap tahunnya.

“Untuk poin-poin gugatan sudah ada, tunggu dahulu ya. Rencananya akan dilayangkan mudah-mudahan awal Februari ini,” kata Ichsan saat dihubungi Bisnis. 

Ichsan menuturkan asosiasi sudah berulang kali meminta Kemenkes menyesuaikan tarif INA CBGs. Hanya saja, permintaan itu tidak kunjung ditanggapi. 

“Sebetulnya tarifnya itu di UU SJSN setiap 2 tahun sekali mesti ditinjau, penyesuaianlah ya. Harus ada kenaikan. Itu yang kurang ditepati,” ujarnya. 

Saat ini, ARSSI tengah berkonsultasi dengan penasihat hukum untuk meminta masukan ihwal jalur hukum yang dapat ditempuh untuk melayangkan gugatan itu.

Setala,  Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) juga mendesak penaikan tarif INA CBGs seiring dengan rencana implementasi kelas rawat inap standar atau KRIS pada tahun ini. 

Permintaan itu menyusul laporan kenaikan beban operasional rumah sakit yang menyentuh di angka 20 persen berkaitan dengan pengadaan protokol penanganan Covid-19. 

Ketua Umum Persi Bambang Wibowo mengatakan posisi tarif INA-CBGs yang berlaku saat ini relatif tertinggal jauh dari situasi keekonomian yang terbentuk akibat pandemi Covid-19. Selain itu, inflasi dan upah tenaga kerja setiap tahunnya juga mengalami peningkatan yang signifikan. 

“Di samping kebutuhan inflasi yang naik dan sebagainya, pandemi ini juga meningkatkan biaya operasional yang sangat besar. Tarif saat ini tertinggal dengan situasi pandemi,” katanya. 

Beban operasional itu, kata Bambang, berkaitan dengan pengadaan infrastruktur pencegahan infeksi Covid-19. Artinya, rumah sakit mesti berinvestasi yang cukup besar untuk mengadakan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. 

Di sisi lain, dia mengatakan, rumah sakit juga perlu meningkatkan mutu pelayanan mereka agar sesuai dengan amanat KRIS yang rencananya diterapkan pada tahun ini secara bertahap. 

Langkah itu dinilai dapat menjadi nilai tawar saat negosiasi besaran kenaikan tarif INA CBGs untuk rumah sakit dan fasilitas kesehatan terkait. 

“Kalau tidak dibangun standarisasi ini akan menyulitkan kita sendiri pada tataran besaran tarifnya,” tuturnya. 

Tenaga medis berkomunikasi menggunakan walkie-talkie saat merawat pasien positif Covid-19 di ruang isolasi Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Rabu (13/5/2020)./Antara\r\n\r\n

Dari perspektif lain, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengusulkan skema urun biaya bagi peserta BPJS Kesehatan kelas I & II untuk meningkatkan standar layanan jaminan kesehatan nasional atau JKN. 

Usulan itu disampaikan karena tarif INA-CBGs yang tidak kunjung disesuaikan selama 8 tahun terakhir. 

Wakil Ketua Umum PB IDI Slamet Budiarto mengatakan langkah itu mesti diambil untuk meningkatkan standar pelayanan pasien pada program JKN ke depan. Slamet mengatakan usulan itu sudah disepakati oleh Kemenkes. 

“Ini adalah pilihan yang pahit apakah akan menaikkan premi bagi peserta atau urun biaya, tapi kami sepakat dengan teman-teman Kementerian Kesehatan untuk urun biaya sajalah di luar kelas 3, saya tidak tahu kalau dari kaca mata peserta,” kata Slamet.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.