Harga Tes PCR, DPR Usulkan Penyelidikan Potensi Kartel

Fraksi Partai Golkar melalui Nusron Wahid mengusulkan RDP dengan KPPU untuk meminta dilakukannya pemeriksaan dan penyelidikan harga PCR.

Rinaldi Mohammad Azka

9 Nov 2021 - 17.00
A-
A+
Harga Tes PCR, DPR Usulkan Penyelidikan Potensi Kartel

Ilustras-PCR dan Reagen Test/Bea Cukai

Bisnis, JAKARTA - Fraksi Partai Golkar mengusulkan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha melakukan pemeriksaan dan penyelidikan harga PCR. KPPU diminta menyelidiki penyebab harga PCR mahal atas dasar transparansi dan akuntabilitas.

Demikian salah satu kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR dengan Holding BUMN Farmasi, Selasa (9/11/2021).

Fraksi Partai Golkar melalui Nusron Wahid mengusulkan RDP dengan KPPU untuk meminta dilakukannya pemeriksaan dan penyelidikan harga PCR.

"Kami meminta diagendakan supaya KPPU melakukan pemeriksaan dan penyelidikan, diduga ada praktik usaha tidak sehat dan monopoli di situ, yang jelas bukan BUMN karena BUMN menguasai 20-22 persen spesimen yang beredar, atau ada dancing memanfaatkan momentum panic buying," kata Nusron.

Komisi VI DPR menilai harga tes PCR seharusnya dapat ditekan hingga rentang Rp100.000-Rp200.000.

Sementara itu, dalam RDP, PT Bio Farma (Persero) mengungkapkan masih mungkin terjadi penurunan harga tes PCR setelah pemerintah menetapkan harga tertinggi sebesar Rp275.000 dan Rp300.000.

Direktur Utama Bio Farma Honesti M. Basyir mengungkapkan masih ada celah menurunkan harga tes PCR. Harga tes PCR saat ini ditetapkan maksimal sebesar Rp275.000 di wilayah Jawa dan Bali, untuk di luar wilayah tersebut sebesar Rp300.000.

"Ada exercise masih ada celah untuk turun, contohnya produk biosaliva [tes PCR menggunakan air liur] itu menurunkan biaya di APD karena tidak perlu APD, bisa dilakukan massal, dapat volume bisa turunkan harga, belum detil itu. Di sisi lain, ada biaya tak bisa turun, seperti biaya tenaga kesehatan," urainya, Selasa (9/11/2021).

Bio Farma meyakini biaya tes PCR masih dapat ditekan. Terkait besaran persentase penurunan masih butuh penghitungan lebih lanjut terutama terkait kapasitas produksi.

Struktur biaya terbesar tes PCR berasal dari komponen reagen lantaran proses biaya produksi dan bahan baku sebesar 55 persen. Biaya lainnya yakni biaya operasional berkontribusi 16 persen terhadap struktur harga, biaya distribusi 14 persen, royalti 5 persen, margin Biofarma 10 persen.

Reagen tes PCR hasil pengembangan Bio Farma mBioCov-19 RT-PCR kit dengan harga terpublikasi dalam e-katalog sebesar Rp90.000 tanpa PPN. Harga e-Katalog yang tengah diajukan Rp81.000 belum termasuk PPN.

Dengan beberapa upaya efisiensi Bio Farma telah menurunkan harga PCR kit tanpa PPN, dari Agustus 2020 sebesar Rp325.000, dan harga Oktober 2021 Rp90.000.

Harga e-katalog yang masih tayang saat ini Rp193.000 termasuk PPN yang tayang sejak Februari 2021, saat ini sedang dalam proses pengajuan harga baru menjadi Rp89.100 termasuk PPN.

Lebih lanjut, dari 16 juta tes PCR yang dilakukan secara nasional, penggunaan reagen Bio Farma berkontribusi 40,5 persen dari keseluruhannya.

Produk yang dibuat oleh reagen Bio Farma holding tersebut, berkontribusi terhadap 31 - 34 persen harga layanan PCR yang ditetapkan.

Komponen terbesar dalam layanan PCR yakni harga reagen utama sebesar 45 persen dengan perincian reagen mBioCov-19 25 persen, VTM 6 persen dan RNA 14 persen.

Sementara itu, kebutuhan penunjang berkontribusi 39 persen, dengan rincian BMHP 11 persen, APD 11 persen, Nakes 7 persen, operasional 9 persen.

Dengan demikian total biaya sebesar 84 persen dari harga tertinggi yang ditetapkan Kementerian Kesehatan di Jawa dan Bali sebesar Rp275.000.

Sisanya, terdapat margin 9 persen sehingga harga layanan khususnya di jaringan Biofarma sebesar 93 persen dari harga eceran tertinggi yang sudah ditentukan.

Harga PCR Serendah Mungkin

Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima mengungkapkan BUMN Farmasi bisa memberikan harga PCR serendah mungkin. Penurunan harga PCR dan antigen, ujarnya, bisa menggerakkan aktivitas ekonomi dan sosial lain.

Dalam kesimpulan RDP tersebut, DPR mendesak holding BUMN farmasi, baik Bio Farma, Kimia Farma, Indo Farma, dan Phapros mengupayakan harga PCR dan antigen yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

DPR juga mendesak holding BUMN farmasi melakukan riset dan pengembangan obat Covid-19 serta produksi obat-obatan vitamin atau kebutuhan medis lainnya dalam mengantisipasi lonjakan Covid-19 gelombang ketiga supaya tidak terjadi kelangkaan seperti sebelumnya.

Pemerintah Pentingkan Kelompok Bisnis?

Sebelumnya, pemerintah dituding hanya mementingkan kelompok bisnis. Tudingan itu disampaikan Koalisi masyarakat sipil terkait perubahan tarif PCR yang berulang kali terjadi. Mereka menilai hal itu tidak didasari untuk kepentingan kesehatan masyarakat, melainkan bisnis.

Kebijakan pemerintah yang berulang kali menurunkan harga tes PCR dinilai tidak mencerminkan asas transparansi. Bahkan, kebijakan itu disinyalir hanya untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan.

"Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak empat kali," ujar salah satu perwakilan koalisi masyarakat sipil dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah seperti dikutip dari Tempo, Minggu (31/10/2021).

Koalisi melihat bahwa penurunan harga seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya.

"Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi azas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi," ucap Wana.

Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.

Total potensi keuntungan yang didapatkan sekitar Rp 10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam.

"Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga," kata Wana.

Berdasarkan anggaran penanganan pandemi Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp 99,5 triliun.

Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.

Dari kondisi tersebut, menurut koalisi, sebenarnya pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.

Koalisi pun mendesak agar pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan. Selain itu, Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif tes PCR beserta dengan besaran persentasenya.

Sementara itu, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan, pemerintah telah melakukan beberapa pertimbangan terkait penyesuaian harga PCR. Di antaranya, terdiri atas komponen–komponen jasa pelayanan/SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai (BHP), komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang disesuaikan kondisi saat ini.

Atas dasar pertimbangan itu batas atas harga tes PCR di wilayah Jawa dan Bali diturunkan menjadi Rp 275 ribu dan Rp 300 ribu untuk luar wilayah Jawa-Bali. Laboratorium yang menetapkan tarif tidak mengikuti ketetapan pemerintah, kata dia, akan diawasi dan dibina melalui Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten.

"Apabila masih tidak mengikuti aturan yang ditetapkan, maka sanksi terakhir adalah penutupan Lab dan pencabutan izin operasional," terangnya belum lama ini. (Farid Firdaus, Setyo Puji Santoso)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.