Ketika Backlog Rumah Masih Jadi Momok Menuju Indonesia Emas 2045

Berbagai upaya memang dilakukan untuk mengurangi backlog hunian yang saat ini mencapai 12,75 juta. Padahal, pada tahun 2004, backlog perumahan mencapai 5,2 juta unit rumah. Pemerintah sendiri menargetkan pada tahun 2045, tidak ada backlog hunian atau zero backlog.

Yanita Petriella

28 Jan 2023 - 16.07
A-
A+
Ketika Backlog Rumah Masih Jadi Momok Menuju Indonesia Emas 2045

Gambaran rumah subsidi untuk MBR. /istimewa

Bisnis, JAKARTA – Berbagai upaya memang dilakukan untuk mengurangi backlog hunian yang saat ini mencapai 12,75 juta. Padahal, pada tahun 2004, backlog perumahan mencapai 5,2 juta unit rumah. Jumlah ini akan terus berubah seiring pertambahan kebutuhan sekitar 800.000 unit setiap tahunnya yang berasal dari pertumbuhan keluarga baru.

Untuk diketahui, backlog adalah kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Backlog dihitung berdasarkan kebutuhan satu unit rumah untuk satu rumah tangga atau kepala keluarga (KK).

Sejak 18 tahun lalu, berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menekan angka backlog perumahan mulai dari program Sejuta Rumah, skema pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dan lain sebagainya. 

Pemerintah telah mengucurkan anggaran sebesar Rp79,77 triliun sepanjang 2010 hingga 2022 untuk program subsidi kredit pemilikan rumah (KPR) dengan skema FLPP. Kucuran dana tersebut dimaksudkan untuk membantu pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sehingga dapat mengatasi persoalan backlog perumahan.

Untuk program sejuta rumah dari tahun 2015 hingga 2022 terdapat 7,98 juta rumah rakyat yang dibangun untuk mengurangi backlog. Namun rupanya angka backlog rumah pun masih tetap tinggi. Pemerintah sendiri menargetkan pada tahun 2045, tidak ada backlog hunian atau zero backlog.

Untuk mencapai target tahun 2045 ini tentu perlu terobosan. Jika tidak, tahun 2045, pada saat Indonesia Emas, 100 tahun Indonesia merdeka, jumlah backlog diperkirakan dapat mencapai 25 juta unit atau 25 juta kepala keluarga tidak memiliki rumah. Adapun untuk mencapai target zero backlog pada 2045 mendatang, pemerintah membentuk ekosistem pembiayaan perumahan.

Komitmen ekosistem pembiayaan perumahan tersebut ditandatangani sejumlah pihak pada Rabu (25/1/2023) yakni Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Adi Setianto, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (DJPI) Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna, Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (DJKN) Rionald Silaban, Dirut PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) Ananta Wiyogo, Dirut Bank Tabungan Negara (BTN) Haru Koesmahargyo, dan Direktur Pemasaran Perum Perumnas Tambok Setyawati.

Pembentukan ekosistem pembiayaan perumahan merupakan langkah awal bersama dalam mendukung terciptanya suatu ekosistem untuk menyelaraskan seluruh upaya pemenuhan hunian agar dapat berjalan dengan optimal, termasuk upaya-upaya pendanaan kreatif. Pemerintah terus melakukan berbagai upaya dalam mengentaskan backlog ketersediaan hunian yang layak dan terjangkau untuk masyarakat. Salah satunya yaitu melalui penguatan sinergi dengan para stakeholder sektor perumahan yang solid dengan membentuk ekosistem pembiayaan perumahan.

Komitmen bersama untuk bersinergi melalui forum koordinasi antar kementerian/lembaga dalam rangka pengembangan perumahan sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewenangan masing-masing. Selain itu juga untuk menyusun rekomendasi kebijakan penguatan pasar pembiayaan primer perumahan maupun pasar pembiayaan sekunder perumahan. Kemudian untuk melakukan sinergi dari para pihak untuk mendukung pengembangan perumahan.

Pemerintah juga membentuk sekretariat ekosistem pembiayaan perumahan.Sekretariat ekosistem pembiayaan perumahan merupakan wadah koordinasi antara pemangku kepentingan di sektor pembiayaan perumahan. Tujuannya membuka jalan bagi terciptanya sebuah rencana kerja bersama pengembangan sektor pembiayaan perumahan yang harmonis, efisien, dan efektif. 

Rencana kerja tersebut selanjutnya digunakan sebagai basis monitoring dan evaluasi yang hasilnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi serta merekomendasikan perbaikan arah pengembangan sektor pembiayaan perumahan. Hadirnya sekretariat ekosistem pembiayaan perumahan diharapkan pemenuhan mandat Undang-Undang terkait penyediaan akses perumahan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat segera tercapai.

Baca Juga: Polemik Rumah MBR antara Backlog dan Hambatan Klasik Menghantui

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban menuturkan ekosistem dalam sektor perumahan ini melibatkan banyak pihak. Mulai dari sisi supply hingga demand, baik regulator, BUMN, swasta, maupun masyarakat. Guna mewujudkan cita-cita Negara untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi seluruh masyarakat, maka dukungan seluruh pihak dalam ekosistem perumahan mutlak dibutuhkan.   

“Ekosistem pembiayaan perumahan yang dimotori oleh Kementerian PUPR, diharapkan dapat menjalankan kegiatannya secara teratur, adil, transparan, dan bertanggung jawab, sehingga dapat tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,” ujarnya dikutip Sabtu (28/1/2023).   

Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (DJPI) Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengatakan ekosistem pembiayaan perumahan bertujuan untuk bersinergi, berkoordinasi, dan berpartisipasi aktif dalam penyusunan rekomendasi kebijakan, upaya penyelesaian permasalahan, serta penguatan pembiayaan perumahan baik primer maupun sekunder. 

“Jika tidak ada kolaborasi dari kita semua, maka ekosistem pembiayaan perumahan yang kondusif akan sulit tercapai,” katanya. 

Diharapkan, para stakeholder dalam ekosistem pembiayaan perumahan dapat mengembangkan berbagai inisiatif dan inovasi pembiayaan perumahan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui perluasan akses MBR kepada hunian vertikal di wilayah perkotaan melalui skema Rent To Own (RTO) dan Staircasing Shared Ownership (SSO). 

Kemudian meningkatkan ketersediaan landbank, pembangunan hunian yang terintegrasi dengan TOD (Transit Oriented Development) dan juga penerapan green financing dalam rangka merespons dampak perubahan iklim dan mendapatkan nilai tambah dengan adanya green economy. 

Di sepanjang tahun ini, Kementerian PUPR mengalokasikan anggaran senilai Rp30,38 triliun untuk 230.000 unit rumah. Dana tersebut dilakukan melalui program FLPP, Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dan Subsidi Selisih Bunga (SSB).

Alokasi anggaran perumahan senilai Rp30,38 triliun tersebut merupakan yang tertinggi dalam sejarah penyaluran program bantuan dan kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah. Dana FLPP tahun 2023 sebesar Rp25,18 triliun untuk memfasilitasi KPR FLPP sebanyak 220.000 unit rumah. Sementara alokasi dana Tapera sebesar Rp0,85 triliun untuk memfasilitasi KPR Tapera sebanyak 10.000 unit. 

“Tahun 2023, kami akan fokus pada pembiayaan perumahan untuk MBR informal melalui saving plan dengan BP Tapera. Jadi, para pekerja mandiri atau komunitasnya bisa memperoleh rumah apabila menabung selama 3-6 bulan di Tapera,” ucap Herry. 

Direktur Utama PT SMF Ananta Wiyogo menambahkan dalam waktu dekat ekosistem pembiayaan perumahan akan menginisiasi penyusunan pedoman tata kelola ekosistem pembiayaan perumahan secara teknis dan strategis. Serta penyusunan rencana kegiatan tahunan yang memuat kegiatan-kegiatan terkait pengembangan perumahan pada tahun berjalan,” tuturnya.  

Direktur Utama Bank BTN Haru Koesmahargyo mengusulkan enam langkah strategis untuk mendukung target pemerintah memenuhi seluruh kebutuhan rumah layak masyarakat Indonesia pada 2045 atau zero backlog perumahan. Usulan tersebut diracik agar kebutuhan rumah rakyat terpenuhi namun mengurangi penggunaan anggaran negara dan memaksimalkan pemakaian dana di luar milik negara. 

Peluang di sektor perumahan masih sangat besar untuk dikembangkan. Apalagi, pemerintah membidik target rasio keterhunian rumah dan rumah layak mencapai 100 persen pada 2045. Menurut Haru, untuk mencapai target ekosistem perumahan di 2045 tersebut, dibutuhkan tambahan pasokan hunian mencapai lebih dari 14 juta unit. Jumlah tersebut juga memerlukan sumber pendanaan yang stabil.

“Kami berupaya mendukung penyelesaian backlog perumahan tersebut dengan beberapa usulan yakni skema baru KPR FLPP, skema baru KPR SSB, RTO untuk MBR Informal, KPR dengan skema SSO, penetapan imbal jasa penjaminan (IJP), dan pengalihan dana subsidi uang muka ke pembayaran pajak pembeli,” terang Haru. 


Direktur Consumer Bank BTN Hirwandi Gafar merinci skema baru KPR flpp yang diusulkan perseroan yakni dengan masa tenor subsidi selama 10 tahun dan bunga 5 persen. Kemudian, untuk tahun berikutnya diberlakukan penyesuaian skema mengikuti perbaikan ekonomi debitur KPR Subsidi. 

Untuk skema baru KPR SSB, diberikan dengan plafon yang lebih besar dari KPR FLPP. Tenor subsidi pun hanya 10 tahun dan mengalami penyesuaian sesuai perbaikan ekonomi debitur. Bunga subsidi yang diberikan yakni sebesar 7 persen.  

Usulan skema KPR RTO ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) Informal. Melalui fasilitas tersebut, MBR informal dapat menikmati fasilitas sewa selama 6 bulan sebelum mendapatkan KPR. Hampir mirip dengan RTO, skema SSO menawarkan skema kepemilikan secara bertahap untuk rumah subsidi. Tahap pertama yakni sewa dan KPR, lalu tahap kedua yakni KPR. 

Hirwandi menambahkan, usulan berikutnya yakni penetapan standarisasi Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Lalu, Bank BTN juga mengusulkan untuk mengalihkan dana SBUM untuk pembayaran biaya pajak pembeli (BPHTB).

“Kami berharap, secara bertahap implementasi usulan ini dapat mengurangi penggunaan dana negara untuk perumahan rakyat, namun manfaat yang diterima masyarakat Indonesia semakin besar,” ujar Hirwandi. 

Dalam kesempatan berbeda, Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Fitrah Nur menuturkan program sejuta rumah yang telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2015 lalu mampu menekan laju angka backlog hunian. Namun demkian, untuk dapat mengurangi angka backlog yang sebesar 12,75 juta unit ini diperlukan kontribusi dari pemerintah daerah dalam pembiayaan rumah subsidi bagi MBR.

“Banyak pemda yang menganggap bahwa perumahan rakyat bukan masalah mereka. Sampai sekarang pemda menyatakan bahwa rumah MBR urusan pemerintah pusat. Ini jadi masalah kita sekarang. Kami bersama Kementerian Dalam Negeri sedang mencari terobosan agar pemda ikut bersama membantu pembiayaan rumah bersubsidi. Ini tak bisa dilakukan Kementerian PUPR sendiri, harus dilakukan oleh semua stakeholder perumahan,” terangnya. 

Baca Juga: Menanti Realisasi Janji Manis Harga Baru Rumah Subsidi Awal 2023

Dihubungi terpisah, Peneliti Bidang Arsitektur Perumahan Arief Sabaruddin menuturkan selama ini, bantuan pembiayaan pemerintah diterima 88 persen oleh MBR yang bekerja di sektor formal dan 12 persen yang bekerja di sektor informal. Angka 12 persen itu pun masih menyisakan catatan, kelompok pekerja informal tersebut merupakan pegawai harian di instansi pemerintah yang memiliki bukti slip gaji. 

Berdasarkan data ketenagakerjaan, jumlah orang  yang bekerja di sektor informal mencapai 60 persen lebih dari angkatan kerja. Dengan demikian, akumulasi penambahan jumlah backlog berasal dari kelompok masyarakat yang bekerja di sektor informal.
   
Menurutnya, untuk mengurangi backlog dibutuhkan kebijakan perumahan yang efektif mampu memfasilitasi penyediaan perumahan untuk kelompok pekerja informal. Skema dengan sistem kepemilikan bagi mereka tidak memungkinkan dilakukan melalui mekanisme perbankan. Karena itu perlu ada terobosan lembaga keuangan non-bank untuk memfasilitasi MBR yang bekerja di sektor informal. Diperlukan penguatan lembaga keuangan non-bank, seperti koperasi. Dukungan pemerintah dalam penguatan lembaga-lembaga seperti koperasi itu sangat diperlukan.
   
“Diperlukan penguatan lembaga keuangan non-bank, seperti koperasi. Dukungan pemerintah dalam penguatan lembaga-lembaga seperti koperasi itu sangat diperlukan,” katanya. 
   
Dalam menghadapi jumlah MBR berpenghasilan di bawah Rp8 juta per bulan atau sebanyak 70 persen dari penduduk Indonesia, kebijakan perumahan yang efektif dapat berjalan bila proporsi penyediaan perumahan dilakukan secara proporsional antara penyediaan perumahan milik (private housing), sewa (public housing), dan hibah (social housing). 

Dia menilai melihat tahun 2022 di mana jumlah rumah susun yang dibangun Kementerian PUPR mencapai 5.141 unit, tidak seluruhnya diperuntukkan buat unit rusun sewa. Di sisi lain skema FLPP, BP2BT, dan Tapera menargetkan masing-masing 200.000 unit rumah FLPP, 22.586 unit BP2BT, dan 109.000 unit Tapera khusus untuk apartur sipil negara (ASN). Sementara program BSPS dengan target di tahun 2022 mencapai 103.000 unit yang merupakan skema bantuan hibah dari target-target program bantuan perumahan di atas.

“Ini menunjukkan bahwa skema masih didominasi oleh sistem penyediaan untuk private housing, yaitu kepemilikan. Hal ini yang menyebabkan backlog terus bertambah, karena secara kemampuan kelompok yang saat ini ditangani dengan skema kepemilikan punya kemampuan ekonomi dan fiskal yang dapat dilepas mengikuti mekanisme pasar. Sementara kelompok masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal dengan mekanisme sewa masih sangat kecil terlayani. Kelompok masyarakat yang tidak memiliki kemampuan ekonomi maupun kemampuan finansial, peran pemerintah untuk mereka harus lebih besar,” terangnya. 

Untuk itu kebijakan perumahan efektif ke depan, lanjut Arief, harus mendudukkan kembali peran pemerintah dalam penyediaan perumahan. Peran pemerintah sebagai enabler lebih diarahkan pada private housing, yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi dan kemampuan finansial. 

“Peran pemerintah sebagai provider lebih diarahkan pada public housing, yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi tapi tidak memiliki kemampuan finansial. Bagi masyarakat miskin dan sangat miskin pemerintah menghadirkan rumah sebagai layanan dengan menyediakan rumah-rumah sosial, tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Yanita Petriella
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.