JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mendesak negara-negara maju untuk segera memenuhi janji mereka dalam rangka menyediakan pendanaan untuk penanganan perubahan iklim sebesar US$100 miliar kepada negara-negara berkembang.
“Indonesia mendesak negara-negara maju untuk memenuhi janji mereka untuk menyediakan pendanaan untuk penanganan perubahan iklim sebesar US$100 miliar kepada negara-negara berkembang,” katanya pada pembukaan The 8th G20 Parliamentary Speakers’ Summit di Gedung Nusantara II DPR, mengutip siaran pers, Kamis (6/10/2022).
Airlangga mengungkapkan bahwa Indonesia sendiri mementingkan keseimbangan pertumbuhan ekonomi namun tetap memerhatikan aspek lingkungan.
Indonesia juga telah melakukan transisi energi dengan berbagai upaya, mulai dari co-firing PLTU dengan blue ammonia, carbon capture, dan storage serta model finansial untuk untuk PLTU yang tidak efisien.
Upaya tersebut juga dikaitkan dengan target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Di lain sisi, Airlangga juga menekankan pentingnya kerjasama antarnegara dalam menghadapi krisis global yang tengah terjadi saat ini.
Menurut dia, persoalan ini harus diatasi bersama-sama dengan semangat solidaritas agar tidak menimbulkan ego yang akan mempersulit negara-negara di dunia untuk bertahan menghadapi krisis global.
Baca juga: Melimpahnya Sektor yang Berpeluang Raih Pembiayaan Berkelanjutan
“Kita berkumpul di sini hari ini karena dunia telah berubah dengan cepat. Kita menyebutnya sebagai perfect storm' yaitu krisis multidimensi yang cepat seperti, tantangan keamanan, ekonomi, dan lingkungan ini telah menunda upaya kita untuk mempercepat pemulihan,” pungkasnya.
Butuh Biaya Rp3.779 Triliun
Pemerintah menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) mencapai 29 persen dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ignatius Wahyu Marjaka menjelaskan bahwa komitmen Indonesia dituangkan dalam agenda masing-masing sektor yang memiliki konsekuensi pembiayaan besar.
“Kami sudah memiliki momentum yang baik untuk membahas harga karbon, ini bukan langkah yang mudah. Kami membutuhkan dukungan dari banyak pemangku kepentingan di Indonesia,” paparnya dalam acara International Seminar on Carbon Trade 2022, Selasa (27/9/2022).
Baca juga: Tantangan Berat Pendanaan Menuju Transisi Energi Hijau
Berdasarkan data Roadmap NDC Mitigasi Indonesia yang diterbitkan oleh KLHK pada 2020, persyaratan finansial untuk NDC hingga 2030 mencapai total Rp3.779,63 triliun.
Rinciannya adalah sektor kehutanan senilai Rp93,28 triliun, sektor energi dan transportasi Rp3.500 triliun, industrial process and product use (IPPU) Rp920 miliar, limbah Rp181,4 triliun, dan agrikultur Rp4,04 triliun.
Lebih lanjut, pemerintah akan menerapkan financing scheme berupa mekanisme carbon pricing dan non-carbon pricing.
Untuk mekanisme carbon pricing, pemerintah menargetkan carbon trading dengan emission trading system (ETS) dan offset mechanism, sedangkan untuk non-market menggunakan skema seperti pajak karbon.
Sementara untuk mekanisme non-carbon pricing berasal dari anggaran pemerintah, pinjaman, dan skema lainnya.
Hingga saat ini, regulasi carbon pricing masih didiskusikan di kementerian terkait, yaitu mengenai implementasi NDC dan berbagai metode terkait kalkulasi serta mekanisme pajak karbon.
Pada 2022, pemerintah telah menerapkan regulasi terkait implementasi pajak karbon untuk subsektor pembangkit listrik dan pembangkit listrik tenaga batu bara. Pada 2025 mendatang rencananya carbon pricing akan diimplementasikan sepenuhnya. (Ni Luh Anggela dan Dewi Fadhilah Soemanagara)