Free

Pertarungan Emas-Bitcoin Jadi Aset Aman Pilihan Makin Sengit

Pertarungan antara emas dan Bitcoin sebagai aset aman pilihan investor makin sengit. Berikut uraiannya.

Duwi Setiya Ariyant*
8 Jun 2021 - 18.41
A-
A+
Pertarungan Emas-Bitcoin Jadi Aset Aman Pilihan Makin Sengit

Pertarungan antara emas dan Bitcoin sebagai aset aman pilihan investor makin sengit. (Bloomberg)

Bisnis, JAKARTA— Pertarungan antara emas dan Bitcoin sebagai aset aman pilihan investor makin sengit di tengah tingginya kekhawatiran investor terhadap inflasi di Amerika Serikat.

Pada Selasa (8/6/2021), Bloomberg mencatat bahwa emas mendapatkan cuan karena investor menantikan laporan inflasi Amerika Serikat pada pekan ini. Laporan inflasi bisa menjadi penanda apakah bank sentral Amerika Serikat mengurangi pembelian obligasi pemerintah.

Pergerakan emas pada Selasa bertahan setelah sempat naik 1,5 persen dalam dua hari terakhir sebagai respons investor terhadap pernyataan Menteri Keuangan Janet Yellen yang menyebut bahwa suku bunga yang lebih tinggi bisa memberikan dampak positif bagi Amerika Serikat begitu juga bank sentral yang sangat bergantung pada dolar.

Adapun, harga emas Comex terkoreksi tipis 0,21 persen ke US$1.894 per troy ounce untuk kontrak Agustus 2021. Tren yang sama terjadi pada emas di pasar spot yang terkoreksi 0,39 persen ke US$1.891 per troy ounce.

Dalam beberapa hari ke depan, sentimen lain patut diwaspadai karena menentukan arah pergerakan harga logam mulia itu. Pada Kamis (10/6/2021), bank sentral Eropa bakal menetapkan kebijakan moneternya dan Amerika Serikat bakal merilis laporan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI).

“Bila pasar keuangan telah berada di fase stagnan bisia berarti bahwa harga emas tetap reli dalam beberapa bulan ke depan,” ujar analis pasar senior di Oanda Corp., Edward Moya.

Menurutnya, pasar tetap menaruh permintaan yang tinggi terhadap aset aman seperti emas kendati rilis inflasi menunjukkan realisasi yang lebih baik dari ekspektasi. Dia menilai perpektif tentang penerapan tarif global dan inflasi terus menebal sehingga membuat investor kembali melirik aset aman.

Kontras dengan kinerja emas, Bitcoin terkoreksi hampir 6 persen di sesi perdagangan di Asia yakni US$33.000 di Hong Kong, waktu setempat kendati secara tahun berjalan, aset berkapitalisasi pasar terbesar itu masih naik 14 persen.

Sayangnya, penyebab melemahnya Bitcoin terkait dengan kekhawatiran investor terhadap kerentanan serangan siber belum terkonfirmasi.

Berdasarkan data coinmarketcap pukul 17:37 WIB, harga Bitcoin terkoreksi 10,25 persen dalam perdagangan harian dan terkoreksi 9,76 persen dalam perdagangan sepekan ke level US$32.847.

Di tengah koreksi harga Bitcoin, laman S&P Global mencatat bahwa masih ada kelompok investor yang mempertanyakan masa depan Bitcoin sehingga belum bisa menjadi pilihan aset yang memberikan kepercayaan yang cukup solid.

Managing Director JP Morgan & Chase Co., Nikolaos Panigirtzoglou mengatakan bahwa investor institusi menarik dananya dari mata uang kripto karena belum mampu mendapatkan gambaran masa depan yang jelas terkait aset digital itu.

Tercatat penurunan volume transaksi pada Mei sebesar 34 persen dibandingkan dengan kondisi pada Januari 2021. Hal itu tercatat pada Bursa Berjangka CME Group Bitcoin.

Para pelaku pasar menilai penurunan harga dan volume transaksi menunjukkan mata uang kripto masih belum mampu menandingi emas.

“Bitcoin, kontrasnya, lebih menyerupai sebuah eksperimen moneter menggunakan teknologi baru—blockchain yang suatu saat atau bisa saja tak akan mampu menjadi barang penyimpan nilai. Harga saat ini belum bisa menunjukkan kepastiannya,” ujar Konsultan di Macro Hive, John Butler.

Sementara itu, menurut laporan yang dirilis oleh Essaye of The Sevens, Bitcoin dan emas bisa menjadi aset yang atraktif bagi tipe investor yang sama. Kendati demikian, masih ada tantangan yang menghalangi Bitcoin yakni regulasi yang mendukung kepastian penggunaannya sebagai mata uang alternatif sehingga bisa diterima lebih banyak kelompok investor.

“Bitcoin perlu menjadi lebih likuid dan memiliki cukup investor sehingga volatilitasnya berkurang,” katanya.

Meskipun sepak terjang emas telah dikenal dalam hitungan beberapa abad lalu, mata uang kripto tetaplah menjadi rival yang setimpal dalam hal penggunaannya di dunia nyata.

“Jaringan Bitcoin bekerja setiap saat, mudah melewati batas wilayah, instan dan menolak pembatasan. Dampaknya, Bitcoin menjadi lebih mudah digunakan sebagai instrumen penyimpan nilai di berbagai wilayah dan sangat likuid,” ujar analis senior AB Bernstein, Hershita Rawat.

Di tengah anggapan bahwa larinya investor Bitcoin akibat menariknya prospek harga emas, Kepala Riset Komoditas Global Goldman Sachs, Jeff Currie menilai bahwa mata uang kripto merupakan aset alternatif bagi tembaga, bukan emas bila alasannya untuk melindungi dari inflasi.

Seperti diketahui, risiko inflasi membayangi saat ekonomi mulai pulih dari dampak krisis pandemi Covid-19. Sebelumnya, indeks belanja personal periode April di Amerika Serikat mencapai 3,1 perse, melampaui ekspektasi.

Selama ini emas dan mata uang kripto dianggap mampu melindungi aset dari kenaikan harga. Namun, ternyata dia menilai terdapat aset lain yang cocok menjadi alternatif mata uang kripto.

“Anda lihat korelasi antara Bitcoin dan tembaga atau perhitungan ruang risiko dan Bitcoin, dan kita mendapatkan data historis perdagangan Bitcoin dalam 10 tahun. Itu aset berisiko tinggi sesungguhnya,” ujarnya seperti dikutip dari CNBC.

Dia menilai bahwa Bitcoin dan tembaga berperan sebagai aset berisiko tinggi yang melindungi dari inflasi, berbeda dengan emas yang berisiko rendah.

Harga tembaga di tahun ini mencapai rekor tertingginya pada medio Mei dan menderita koreksi dalam pada akhir Mei, menanti momen untuk melonjak. Goldman Sachs menyarankan agar komoditas menjadi aset pilihan pelindung inflasi yang bisa mereduksi potensi kerugian.

PERBANDINGAN

World Gold Council dalam laporan terbarunya menyebut bahwa emas dan mata uang kripto memiliki karakter yang berbeda. Emas dianggap sebagai aset yang sudah teruji sehingga tak bisa diposisikan setara dengan mata uang kripto.

Waktu telah menunjukkan daya tahan emas, melewati inflasi yang dinamis, sifatnya pun sangat likuid dan genggaman yang pas di masa sulit selain pasar yang juga telah teruji.

Hal itu menunjukkan perbedaan signifikan dengan mata uang kripto. World Gold Council menilai pasar mata uang kripto masih dalam tahap pengembangan dan likuiditasnya terbatas.

“Kami yakin perilaku harga mata uang kripto didorong oleh ekspektasi return tinggi dari momentum dan rendahnya suku bunga acuan,” katanya.

Setidaknya terdapat empat faktor yang mempengaruhi harga emas. Pertama, ekspansi ekonomi yang sangat mendukung bagi pasar perhiasan, teknologi dan tabungan jangka panjang.

Kedua, risiko dan ketidakpastian. Kondisi dengan risiko dan ketidakpastian tinggi menjadi pendorong bagi daya tarik emas dibandingkan dengan aset lainnya. Emas dianggap sebagai aset aman saat kondisi sulit.

Ketiga, biaya peluang atau opportunity cost. Suku bunga acuan dan kekuatan nilai tukar mempengaruhi perilaku investor terhadap emas. Keempat, momentum. Keluarnya dana asing, posisi dan tren harga bisa memperkuat maupun memperlemah kinerja emas.

“Ini bisa dipergunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap kinerja emas Gold Valuation Framework (GVF) kami,” katanya.

Investor pun bisa menggunakan Qaurum, alat kuantitatif berbasis situs yang didukung oleh GVF. Melalui GVF, investor bisa menghitung performa secara hipotesis menggunakan berbagai variabel yang bisa disesuaikan termasuk skenario ekonomi makro yang disediakan Oxford Economics.

Dengan sejumlah peranti tersebut, World Gold Council menilai posisi emas yak tergantikan oleh mata uang kripto. Berdasarkan survei pada 2019, emas dan mata uang kripto memiliki peran berbeda.

“Investor melihat bitcoin sebagai instrumen yang spekulatif emas sebagai instrumen yang melindungi kekayaan,” katanya.

Lebih lanjut, terkait dengan perkembangann mata uang kripto, perkembangan regulasi bisa saja mendorong aset tersebut untuk menggeser emas. Setidaknya 340.000 bitcoin dari total 18 juta telah digunakan dalam transaksi harian. Hal itu menunjukkan porsi kurang dari 2 persen.

Sementara itu, di kalangan sesama mata uang, dolar AS transaksinya telah menembus US$6 triliun secara rata-rata harian pada 2019. Angka tersebut mewakili 40 persen dari total dolar yang beredar.

Regulasi penggunaan mata uang kripto dianggap akan makin terdorong bila mempertimbangkan dua hal yang perlindungan konsumen dan efikasi kebijakan. Sebagai contoh, tingkat efektivitas kebijakan moneter membutuhkan kemampuan bank sentral untuk mengatur pasokan uang.

Terlepas dari itu, regulasi terkait dengan aset digital tengah menjadi perhatian berbagai bank sentral yang tentunya menjadi katalis bagi perkembangan mata uang kripto.

“Terdapat perhatian yang berkembang terkait dengan pengembangan mata uang nasional versi digital yang akan diatur oleh bank sentral digital,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Duwi Setiya Ariyant*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.