Anomali Tarif PBB Naik di Tengah Guyuran Insentif PPN Properti

Kenaikan tarif PBB akan memberatkan masyarakat dalam membeli properti residensial. Adapun merujuk beleid UU HKPD, tarif tertinggi PBB meningkat sebesar 66,67% dari 0,3% menjadi 0,5%.

Yanita Petriella

26 Jan 2024 - 00.43
A-
A+
Anomali Tarif PBB Naik di Tengah Guyuran Insentif PPN Properti

Ilustrasi properti di Jakarta

Bisnis, JAKARTA – Pemerintah diminta keseriusan dan komitmen dalam mendorong pertumbuhan bisnis properti. 

Hal ini menyusul pengesahan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) pada 5 Januari 2024. 

Meski ditujukan untuk mengharmonisasi pengelolaan desentralisasi fiskal pusat dan daerah, namun beleid UU HKPD dinilai akan menambah beban ekonomi masyarakat yang sedang dalam proses pemulihan pasca pandemi Covid-19.

Merujuk pasal 41 ayat (1) UU HKPD berbunyi tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di pedesaan dan perkotaan (P2) ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5%. Sebelumnya, dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%.

Kemudian dalam pasal 192 UU HKPD dijelaskan bahwa peraturan pelaksanaan dari UU tersebut ditetapkan paling lama dua tahun sejak UU mulai berlaku. 

Adapun besaran tarif PBB tiap wilayah akan berbeda. Besaran pajak selanjutnya akan ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah. PBB adalah pajak terhadap lahan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. 

Salah satu daerah yang telah menetapkan peraturan pelaksanaan adalah DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana dalam pasal 34 ayat (1), PBB DKI Jakarta ditetapkan sebesar 0,5%.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan beberapa poin kebijakan yang termuat di dalam UU HKPD akan semakin membebani masyarakat, pelaku usaha dan juga berpotensi menurunkan minat investasi baru terutama di sektor properti. 

“Kami berbicara atas pertimbangan kepentingan umum yang luas bahwa saat ini perekonomian masyarakat dan aktivitas di sektor properti belum pulih sepenuhnya setelah pandemi lalu,” ujarnya, Kamis (25/1/2024). 

Menurutnya, kenaikan tarif PBB ini akan memberatkan masyarakat dalam membeli properti residensial. 

Adapun merujuk beleid UU HKPD, tarif tertinggi PBB meningkat sebesar 66,67% dari 0,3% menjadi 0,5%.

Kenaikan tarif ini tentu membuat banyak masyarakat khususnya di kelompok tertentu seperti masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masyarakat berpenghasilan tidak tetap, pensiunan dan orang lanjut usia di perkotaan kesulitan untuk membayar PBB. 

Kenaikan PBB tersebut tidak hanya berdampak negatif terhadap sektor properti tetapi juga memberikan beban tambahan bagi masyarakat. 

Hal ini karena kenaikan PBB juga memberikan beban lebih terhadap konsumen atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang secara tidak langsung akan memberikan beban kepada masyarakat yang memiliki rumah. 

Selain itu, kenaikan tarif ini akan membuat masyarakat keberatan dalam membayar besaran PBB setiap tahunnya sehingga akhirnya terpaksa menjual rumah atau tanahnya dan pindah ke pinggiran kota. 

Terlebih, tarif PBB baru tersebut belum membedakan antara tarif untuk perseorangan (non-bisnis) dan bisnis. Bagi dunia usaha, besaran kenaikan pajak sebesar 66,67% tersebut sulit ditolerir. 

“Tanah tersebut dibeli dengan dana sendiri untuk dikembangkan dan kemudian diserahkan kepada pemilik rumah dan pemerintah daerah terkait fasos/fasum,” kata Joko.

Di sisi lain, mayoritas pengembang saat ini masih kesulitan untuk menyelesaikan restrukturisasi utang di perbankan akibat dampak dari pandemi Covid-19. 

REI mengusulkan agar diterapkan kebijakan tarif PBB untuk pengembang yang mempertimbangkan antara lain luas lahan, periode pengembangan, serta pengembangan infrastruktur kawasan.

Besaran PBB untuk pengembang dengan kebijakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai jual objek pajak (NJOP) dikenakan sebesar 20% dan tarif 0,1% hanya untuk lahan yang belum dikembangkan dan diserahkan kepada pemiliknya. Namun, pemerintah daerah dapat menerapkan tarif normal untuk lahan yang sudah diserahkan. 

Adapun merujuk beleid disebutkan bahwa penyesuaian tarif PBB dilakukan 3 tahun sekali oleh pemerintah daerah. DPP NJOP dihitung berkisar 20% sampai dengan 100%. 

Sementara itu, penetapan NJOP ditetapkan berdasarkan rerata harga transaksi yang terjadi atau nilai NJOP sekitar jika di kawasan itu belum terjadi transaksi jual beli oleh penilai pajak sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 234 tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan nomor 186/pmk.02/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pakak Bumi dan Bangunan. 

Dia meyakini dengan kebijakan tersebut sektor properti mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian daerah termasuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan penyerapan tenaga kerja.

Baca Juga: Prospek Properti Residensial Tetap Berjaya & Tumbuh Positif 2024

 



Tunda UU HKPD

Joko mendesak pemerintah untuk menunda dan mengkaji ulang beleid UU HKPD tersebut. 

Selain ekonomi masyarakat yang masih sulit, penundaan kenaikan tarif kedua pajak tersebut juga didasari oleh kendala sumber daya manusia.

Menurutnya, tidak semua daerah bisa segera membuat peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah (Perkada) sebagai aturan teknis dari UU HKPD. Apalagi tahun ini tengah diadakan perhelatan pemilihan umum (Pemilu) sehingga kepala daerah dan DPRD dipastikan fokus untuk menyambut pesta demokrasi lima tahunan itu.

Pemerintah diharapkan melakukan sosialisasi aktif dengan daerah sehingga dapat berjalan secara sepaham. 

Selama ini, kerap kali terjadi ketidaksepahaman dengan pemerintah daerah yang berdampak pada lamanya penerbitan peraturan daerah sehingga menghambat laju pertumbuhan bisnis properti. 


Komitmen Pemerintah

Joko berharap pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk bisa menunjukkan komitmennya dalam mendorong sektor properti.

Dia menilai, diterbitkannya UU HKPD tersebut sangat kontradiktif dengan stimulus insentif properti melalui Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang diberikan sejak November 2023 hingga Desember 2024 yang bertujuan untuk membantu masyarakat membeli properti. 

Joko menuturkan menjelang akhir tahun lalu, Pemerintah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membeli properti, namun di satu sisi pajak yang harus dibayarkan cukup besar.

“Itu kan harus dibayar juga PBB dan BPHTB-nya akan menjadi komponen biaya, ini tekanan yang lebih besar terhadap akses membeli rumah, akses untuk transaksi, artinya UU HKPD tadi adalah disinsentif terhadap PPN DTP, jadi kontraproduktif,” terangnya. 

Joko juga menyoroti kebijakan ekonomi pemerintah di 2024 dimana dinilai masih belum jelas terutama dalam mendorong pertumbuhan properti. Padahal, kesinambungan program pemulihan ekonomi yang telah dicapai selama 2023 perlu terus dilanjutkan guna memenuhi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sekitar 5%. 

“Kami belum mendengar pernyataan menteri-menteri di bidang perekonomian mengenai apa saja stimulus dan insentif yang disiapkan pemerintah di 2024 untuk sektor properti. Justru disinsentif seperti kenaikan tarif PBB dan pajak hiburan yang dikeluarkan di awal tahun,” tuturnya. 

Dia menuturkan pernyataan resmi dari pemerintah mengenai stimulus dan insentif untuk dunia usaha di 2024 sangat ditunggu, karena diyakini akan menjadi sentimen positif untuk memacu semangat pelaku usaha bergerak meskipun di tahun politik. 

Terlebih periode 2018 hingga 2022, sektor properti yakni konstruksi dan real estate mampu menciptakan nilai tambah sebesar Rp2,349 triliun hingga Rp2,865 triliun per tahun atau setara dengan 14,6% sampai 16,3% terhadap produk domestik bruto (PDB). 

Sektor properti juga telah mampu menyerap 13,8 juta tenaga kerja per tahun atau sekitar 10,2 persen dari total lapangan kerja pada 2022. Sektor properti juga memiliki multiplier effect terhadap 185 sektor turunannya termasuk industri padat karya. 

“Para pemangku atau menteri yang khususnya berkaitan dengan ekonomi, Kementerian Keuangan, investasi, kemudian juga Menteri Koordinator Ekonomi rapatlah, kelihatan serius gitu lho ngurus negara ini. Ayo kembali fokus bekerja mengurusi ekonomi jangan terpaku pemilu. Lihatkan etos kerja dan keseriusan dukung dunia usaha,” ujarnya. 

Dia berharap pemerintah dapat mendorong investasi di sektor padat karya untuk mengurangi disparitas pendapatan masyarakat.

Selain itu, juga diharapkan terdapat kebijakan untuk meningkatkan daya beli agar bisa memberikan multiplier effect terhadap pendapatan masyarakat.

“Yang ketiga kebijakan yang kita harapkan adalah koordinasi dan konsolidasi itu yang dimunculkan di publik sehingga memunculkan ada growth, trust di masyarakat, pelaku usaha bahwa di 2024 ini kita masih tetap berusaha, kita tetap fokus pengendalian atau menumbuhkan ekonomi,” tuturnya. 


Properti Bertumbuh

Joko pun optimistis jika pemerintah menunda UU HKPB dan memberikan stimulus insentif, maka pertumbuhan sektor properti dapat mencapai 10% di sepanjang tahun lalu. 

Terlebih, gelaran perhelatan politik bakal mengakselerasi geliat industri properti karena akan ada peningkatan uang beredar mencapai Rp200 triliun selama Pemilu 2024.

Baca Juga: Menanti Pemulihan Pasar Apartemen di Tengah Guyuran Insentif PPN


Terpisah, Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat menuturkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 diperkirakan akan stabil dengan potensi terus tumbuh, meski tetap harus tetap waspada di tengah kondisi ekonomi dan geopolitik global saat ini. 

Risiko geopolitik dari kondisi global terus membayangi dan akan menimbulkan tantangan di area domestik. Kondisi ini berdampak pada pergerakan investor properti residensial yang cenderung wait and see hingga ada kepastian hasil penyelenggaraan pemilu. 

Pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 juga harus melalui berbagai tantangan, mulai dari peningkatan inflasi, peningkatan suku bunga dan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Namun demikian, sektor properti diprediksi akan tetap tangguh dan siap menghadapi tantangan ekonomi di tahun ini. 

Hal ini merupakan hasil survei yang dilakukan Knight Frank Indonesia pada akhir tahun 2023 untuk mendapatkan pandangan dari para pemangku kepentingan dalam menatap pertumbuhan sektor properti di tahun 2024.

“Para pemangku kepentingan memprediksi sektor properti di tahun ini tetap akan tumbuh. Bahkan 67% dari pemangku kepentingan yang disurvei optimis sektor properti mampu menjawab tantangan ekonomi di tahun 2024,” tuturnya. 

Di tengah tantangan tersebut pemerintah menyiapkan sejumlah strategi untuk menjaga pertumbuhan industri properti.

Salah satunya adalah pemberian insentif PPN DTP yang dirilis kembali akhir tahun lalu dan diharapkan mampu memberikan pesan dukungan untuk pertumbuhan properti yang positif.

“73% responden survei menilai insentif PPN DTP akan memberi dampak positif dalam pertumbuhan properti,” ujar Syarifah. 

Baca Juga: Menjaga Nadi Kehidupan Industri Properti Selama Tahun Pemilu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Asteria Desi Kartikasari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.