Jalan Terjal Menarik Modal Asing

Berbagai insentif pajak yang ditawarkan untuk menarik PMA perlu dikawal dan difokuskan pada sektor industri yang mampu mendorong ekspor dan menciptakan lapangan kerja.

25 Mei 2021 - 08.35
A-
A+
Jalan Terjal Menarik Modal Asing

Presiden Joko Widodo (tiga kanan) didampingi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia (tiga kiri), Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir (kiri), Bupati Batang Wihaji (empat kiri) dan jajaran menteri lainnya berbincang saat peninjauan Kawasan Industri Terpadu Batang dan Relokasi Investasi Asing ke Indonesia di Kedawung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020). /ANTARA

Investasi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi setelah konsumsi. Dari sumber pertumbuhan investasi tersebut, penanaman modal asing (PMA) mutlak perlu diperhatikan Kementerian Investasi yang beberapa waktu lalu dibentuk Presiden Jokowi.

Jika tidak, target pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 4,5%—5,3% diyakini sulit tercapai. Apalagi banyak jalan terjal yang dihadapi Kementerian Investasi.

Pertama, terkait dengan kemampuan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 pada tingkat nasional telah menurunkan pertumbuhan masuknya PMA sebesar minus 9,2% (BKPM, 2020).

Sedangkan pada tingkat global, pandemi menurunkan arus masuk PMA sebesar 30%—40% (UNCTAD, 2020). Artinya, upaya menarik PMA masuk ke Indonesia menjadi semakin berat dan kompetitif vis a vis negara lain.

Kedua, pemerintah memiliki keterbatasan modal untuk berinvestasi. BKPM (2020) memperkirakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6% pada 2021 dibutuhkan dana investasi Rp5.817,3 triliun—Rp5.912,1 triliun. Kemampuan modal pemerintah terhitung hanya 5%—7,1%, sedangkan 84,7%—90,1% diharapkan dipenuhi dari sektor swasta dan sebesar 4,9%—8,1% dari sumber BUMN.

Ketiga, masih tingginya indeks restriksi masuknya PMA ke Indonesia (FDI Restrictiveness Index) sebesar 0,32 (OECD, 2020). Indeks ini hanya lebih baik dibandingkan dengan Filipina (0,37) tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan negara Asean lainnya seperti Thailand (0,27), Malaysia (0,25), Laos (0,19), Brunei Darussalam (0,15), Vietnam (0,13), Myanmar (0,11), Singapura (0,06) dan Kamboja (0,05).

Keempat, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia juga masih tinggi. Pada 2020 menurut BKPM tercatat sebesar 6,8, lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam (3,7), Filipina (4,1), dan Malaysia (5,4). Ini artinya produktivitas modal di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara di atas. Kelima, terkait dengan skor kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EODB).

Skor EODB Indonesia pada 2020 berada di urutan 73 dari 190 negara, jauh lebih buruk dibandingkan dengan Singapura (2), Malaysia (12), Thailand (21), Brunei Darussalam (66), dan Vietnam (70). Dari 10 aspek skor EODB, Indonesia hanya memiliki skor kemudahan berbisnis yang relatif baik, yaitu dalam melakukan kontrak bisnis dan registrasi bisnis properti (Bank Dunia, 2020).

Jalan terjal lainnya terkait dengan produktivitas SDM, hambatan peraturan daerah, inefisiensi birokrasi, korupsi, mafia pertanahan, tingginya biaya logistik, terbatasnya infrastruktur, termasuk pasokan listrik, akses pasar dan digitalisasi.

Berbagai kebijakan dan program telah dirumuskan, antara lain berupa kebijakan menyangkut infrastruktur, pengembangan SDM, insentif fiskal, moneter dan nonfiskal maupun melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Bahkan pemerintah telah pula memiliki rencana induk Making Indonesia 4.0. (MI 4.0) dengan 10 program yang difokuskan pada 7 sektor manufaktur sejak 2018. Namun kebijakan tersebut belum cukup.

Oleh karena itu, beberapa kebijakan dan program komplementer berikut diperlukan. Pertama, Kementerian Investasi harus mengawal dan mempromosikan secara intensif, terukur dan sistimatis kebijakan dan program yang telah ditetapkan di atas. Jangan sampai, misalnya, kebijakan dan program MI 4.0 hanya diketahui oleh 7% pelaku bisnis saja (Aswichayono dan Rafitrandi, 2020).

Kedua, berbagai insentif pajak (seperti tax holiday, tax allowance, import duty exemption, green lane facility, dan super deductible tax sebesar 300%) yang ditawarkan untuk menarik PMA perlu dikawal dan difokuskan pada sektor industri yang mampu mendorong ekspor dan menciptakan lapangan kerja.

Ketiga, kebijakan dan program pengembangan SDM melalui job training dan pendidikan serta latihan vokasi harus dikerjasamakan dengan negara-negara yang salaam ini telah memiliki dominasi PMA (seperti Singapura, China, Hong Kong, Jepang, dan Korea Selatan) dan juga dengan negara potensial untuk memasukkan investasinya (Australia, Belanda dan Amerika Serikat) ke Indonesia.

Keempat, membentuk ekosistem investasi yang kondusif. Satuan tugas khusus (Satgassus) yang fokus pada langkah ini perlu dibentuk bersama dengan para pihak terkait. Kelima, ketersediaan data yang memadai dan akurat juga tidak boleh dilupakan untuk memonitor, mengevaluasi dan merevisi kebijakan dan program yang telah ditetapkan.

Akhirnya, keterlibatan UMKM atau industri kecil menengah (IKM) dalam kegiatan ekspor melalui kerja sama dengan PMA perlu terus ditingkatkan. Hal ini, misalnya, dapat dipacu dengan pembentukan kerja sama ekonomi konkrit dan terukur antara PMA dan usaha besar nasional dengan UMKM dan IKM yang saling mendukung dalam pengembangan ekspor dan akses masuk ke negara tujuan ekspor potensial lainnya. Semoga.

(Carunia Mulya Firdausy, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tarumanagara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.