Mencari Dalang Sulitnya Pembiayaan Transisi Energi di Indonesia

Pembiayaan transisi energi di Indonesia dinilai cukup menantang. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong mitra bisnis dan lembaga keuangan untuk mendukung pembiayaan transisi energi di dalam negeri.

Rayful Mudassir

14 Okt 2022 - 17.18
A-
A+
Mencari Dalang Sulitnya Pembiayaan Transisi Energi di Indonesia

Bisnis, JAKARTA — Pembiayaan transisi energi masih menjadi tantangan di Indonesia. Bantuan pembiayaan diperlukan untuk merealisasikan cita-cita tersebut.


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebutkan bahwa ongkos transisi energi yang diperlukan Indonesia mencapai US$1 triliun atau setara Rp15.000 triliun untuk investasi pada energi baru dan terbarukan pada 2060. 


Besarnya dana yang dibutuhkan untuk merealisasikan rencana itu mendorong Kementerian ESDM mengajak mitra bisnis dan lembaga keuangan untuk berkolaborasi dalam mendukung pembiayaan transisi energi RI.


Baca Juga: Resah dan Gelisah Mengejar Target Lifting di Tengah Tuntutan EBT


Biaya transisi energi itu berpotensi meningkatkan seiring diterapkannya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang dimulai tahun ini.


"Pembiayaan transisi energi makin meningkat karena kami akan menerapkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara yang membutuhkan biaya besar untuk membayar kembali pinjaman dan bunga kepada pengembang," kata Arifin saat diskusi "a Just Energy Transition and Financing" yang diselenggarakan United Nations Development Programme (UNDP) di Grand Hyatt Hotel, Jakarta, Kamis (13/10/2022).


Pemerintah bakal menyetop operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang telah mencapai masa kontrak 30 tahun guna mendukung program energi bersih.


Pada tahun ini pemerintah bakal menyetop operasional 3 PLTU batu bara yang telah beroperasi selama lebih 30 tahun. Total ada 33 PLTU dengan kapasitas 16,8 GW yang telah beroperasi selama tiga dekade.




Ihwal upaya penghentian pembangkit listrik berbasis batu bara menuju energi bersih, pemerintah disebut telah menyiapkan antisipasi berupa perlindungan sosial. Sebab, penghentian pembangkit listrik berbasis batu bara bakal menggeser kebutuhan angkatan kerja pada industri tersebut.


"Kami juga membutuhkan dana tambahan untuk memberikan pelatihan kepada pekerja sektor pertambangan agar dapat beralih ke energi bersih dan terbarukan," kata Arifin.


Baca Juga: Ketar-Ketir Industri Domestik Dibayangi Pasokan Ketat Batu Bara


Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021 - 2030, porsi listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi baru terbarukan akan mencapai hingga 51,6 persen atau setara dengan 20,9 gigawatt (GW). 


Adapun porsi pembangkit listrik berbasis fosil mencapai 19,7 GW. Dengan porsi pembangkit berbahan bakar batu bara mencapai 13,9 GW. Sebagai pembuka, pemerintah berencana mempensiunkan tiga PLTU. Proses tersebut masih dalam kajian dan negosiasi. 




"ADB [Asian Development Bank] yang kerja sama untuk energy transition mechanism, tapi ya nanti kita lihat berapa, studinya sudah diselesaikan nah tinggal sekarang, tinggal negosiasinya," ungkapnya.


Investasi Jumbo


PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional. 


Strategi itu diperkirakan menelan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun, kurs Rp14.890 per US$. Kendati begitul program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. 


Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Selasa (2/2/2021)./ANTARA FOTO-Ahmad Subaidi


Center for Global Sustainability University of Maryland memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara dengan Rp475,4 triliun.


Ditambah lagi, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara dengan Rp17.772 triliun hingga 2050 mendatang.


“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly.




Masih Sulit


Sinthya menuturkan, pendanaan internasional dan perbankan untuk akselerasi penghentian operasi PLTU di Indonesia relatif sulit dilakukan saat ini. Menurut dia, pemberi pinjaman masih berhati-hati untuk ikut mendanai program pensiun dini PLTU lantaran sentimen pembiayaan hijau saat ini.


Misalkan, dia mencontohkan, perseroan sempat melakukan penjajakan kerja sama untuk pendanaan penghentian operasi PLTU pada sejumlah bank dan pihak swasta di Jepang dan Korea Selatan belum lama ini. 


Akan tetapi, pihak swasta dan perbankan di dua negara itu masih mengkaji kembali potensi pendanaan pada program PLN tersebut.


“Karena ini akan bicara memindahkan portofolio batu bara di PLN ke balance mereka. Seperti apa mekanisme dari perlakuan atas karbonnya ini sehingga transisi energi ini ada,” kata Sinthya. (Nyoman Ary Wahyudi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rayful Mudassir

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.