Mengukur Realitas Janji Program Prabowo–Gibran Bangun 3 Juta Rumah Setiap Tahun

Pemerintah mendatang diharapkan dapat membuat kriteria jelas masyarakat yang berhak menjadi sasaran program 3 juta rumah setiap tahunnya.

Yanita Petriella

25 Mar 2024 - 01.09
A-
A+
Mengukur Realitas Janji Program Prabowo–Gibran Bangun 3 Juta Rumah Setiap Tahun

Ilustrasi rumah subsidi. /dok Bisnis

Bisnis, JAKARTA – Pasangan Presiden – Wakil Presiden terpilih periode 2024 – 2029 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjanjikan program pembangunan 3 juta rumah per tahun. Sebaran pembangunan 3 juta tersebut meliputi di daerah desa sebanyak 1 juta rumah, perkotaan 1 juta rumah, dan pesisir 1 juta rumah pesisir. 

Program 3 juta rumah milik pasangan Prabowo–Gibran cenderung ambisius. Pasalnya, selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya dicanangkan pembangunan sebanyak 1 juta rumah setiap tahunnya. 

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan target sebanyak 3 juta hunian setiap tahunnya ini terbilang bombastis.

Namun demikian, REI menyatakan kesanggupannya dalam keterlibatan dalam pembangunan 3 juta unit rumah yakni dengan berkontribusi membangun 1 juta unit hingga 1,5 juta unit hunian di perkotaan. Adapun bentuk hunian tersebut bisa berupa hunian vertikal maupun rumah tapak baik di kota satelit maupun di pusat kota Jakarta.

Selama ini, REI pernah memasok rumah bersubsidi hingga 300.000 unit per tahun dan rumah komersial sebanyak 250.000 unit per tahun.

“Kalau 1 juta hingga 1,5 juta di perkotaan, kami REI bisa sanggup dan itu memungkinkan dibangun, tetapi kalau 1 juta di perdesaan dan 1 juta di pesisir harus program pemerintah atau penugasan ke pengembang,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (25/3/2024). 

Kendati demikian, Joko berharap pemerintah dapat memberikan kemudahan perizinan, kejelasan skema pembiayaan, dan pemberian insentif untuk pembangunan hunian di kawasan perkotaan dalam rangka mensukseskan program 3 juta hunian per tahun. 

Selain itu, diperlukan modifikasi dan pendekatan baru dalam pembangunan hunian vertikal dan tapak di perkotaan seperti luas tanah, bangunan, dan cara merealisasikan. 

“Di Jakarta, lahan hunian yang terjangkau berukuran 30 meter persegi tapi untuk ukuran 60 meter persegi sangat sulit direalisasikan karena tanah mahal. Jadi perlu relaksasi,” katanya.

Menurutnya, agar program pembangunan 3 juta unit rumah setiap tahunnya dapat berhasil, pemerintah harus memiliki data yang valid terkait kebutuhan hunian setiap daerah. Pemerintah mendatang diharapkan dapat membuat kriteria jelas masyarakat yang berhak menjadi sasaran program 3 juta rumah. 

“Kriteria masyarakat yang bisa dapat rumah di perdesaan dan pesisir juga datanya masih susah. Jadi ini perlu kejelasan program 3 juta mendatang siapa yang mengerjakan termasuk waktu, lokasi, dan biaya seperti apa,” ucapnya.

Pemerintah baru mendatang diharapkan memiliki komitmen kuat dalam penyelesaian masalah backlog atau kebutuhan hunian yang saat ini mencapai 12,7 juta rumah. 

Joko menilai penyelesaian permasalahan angka backlog rumah tidak dapat dilakukan dengan cara yang biasa yang sudah terbukti tidak efektif. Pasalnya, merujuk data BPS pada 2010, angka backlog berada di level 13,5 juta hunian dan pada 2020 angka backlog berada di level 12,7 juta unit. Hal ini menujukkan tidak adanya perubahan signifikan dalam 1 dekade.

Apalagi pertumbuhan kebutuhan rumah mencapai 700.000 hingga 800.000 unit per tahun. Pada 2035 juga diproyeksikan jumlah penduduk Indonesia mencapai 304 juta dan sebesar 66% berada di perkotaan sehingga permasalahan hunian ini menjadi sangat kompleks.

Sementara saat ini kemampuan pengembang membangun hanya sekitar 450.000 hingga 500.000 unit rumah per tahun dengan rincian 250.000 rumah bersubsidi dan 200.000 rumah komersial atau non-subsidi.

Situasi tersebut membutuhkan penanganan yang tepat sehingga jumlah penduduk yang tidak memiliki rumah tidak terus membengkak.

“Saat ini jumlah penduduk Indonesia yang tidak punya rumah sudah sekitar 20% dan berpotensi terus bertambah. Karena itu, REI menyarankan agar sektor perumahan ini betul-betul diurus, bahkan dijadikan sebagai program strategis pemerintah,” tuturnya. 

Selain itu, Joko berharap penyaluran hunian dengan skema pembiayaan KPR fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) mendatang dapat ditingkatkan menjadi untuk 500.000 unit dari yang selama ini hanya berkisar 220.000 unit. Pasalnya, hal ini sebagai upaya agar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa memiliki rumah. 

Menurutnya, diperlukan penambahan likuiditas untuk dapat membiayai hunian MBR. Penambahan likuiditas tersebut dapat dilakukan dengan sekuritisasi aset KPR bersubsidi. Sekuritisasi aset melalui instrumen efek beragun aset (EBA) KPR merupakan cara perbankan untuk mencairkan portofolio KPR yang dimiliki sebagai sumber pendanaan sehingga arus kas menjadi lebih terjaga dan bisa menjadi sumber dana buat aktivitas pembiayaan KPR baru.

“Sekuritisasi KPR bersubsidi menjadi penting, karena pendanaan KPR subsidi yang bersumber dari APBN alokasinya selama ini sangat terbatas,” ujar Joko. 

Baca Juga: Mencari Solusi Penyediaan Hunian Terjangkau di Perkotaan


Kaji Skema MBR dan MBT

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Nixon L.P. Napitupulu menuturkan Bank BTN bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Keuangan tengah membahas strategi pembiayaan KPR subsidi dalam lima tahun mendatang yang nantinya akan diwariskan kepada pemerintahan yang baru. Bank BTN tengah mencarikan pola pembiayaan hunian yang bisa lebih murah untuk APBN selama 5 tahun hingga 10 tahun mendatang. 

“Memang ada pemikiran, pertama skema bukan FLPP tapi cara bayar seperti simpelnya subsidi selisih bunga tapi ini kan direct ke APBN. Kami ngakalin pakai dana abadi ini keluar bunga, enggak akan lebih besar dari FLPP selama 5 tahun,” katanya

Sejumlah skema pembiayaan KPR subsidi tengah dikaji itu dapat meningkatkan 50% hingga 200% jumlah unit rumah yang dibiayai dari kuota FLPP saat ini. Adapun saat ini, kemampuan pembiayaan rumah dengan skema FLPP paling besar sebanyak 280.000 unit. 

Terlebih, jika nantinya Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 2 Prabowo Subianto menang dan resmi dilantik, maka akan ada 3 juta rumah komitmen dibangun setiap tahunnya yang terdiri 1 juta unit perkotaan, 1 juta unit perdesaan, dan 1 juta unit pesisir nelayan. 

Kemudian, untuk skema pembiayaan pemilikan rumah untuk desil 3 hingga desil 6 dimana rentang penghasilannya sekitar Rp3 juta hingga Rp8 juta diberikan pembatasan masa subsidi. 

Selama ini, pemberian subsidi bunga KPR FLPP selama 20 tahun. BTN mengusulkan untuk memperpendek tenor subsidi menjadi hanya cukup 10 tahun. Hal ini merujuk MBR yang mengambil KPR subsidi dapat melunasi rumah tersebut selama 9 hingga 10 tahun pertama. Oleh karena itu, masa subsidi bunga perlu diperpendek menjadi 10 tahun dari sebelumnya mencapai 20 tahun. 

“Jadi bunga subsidi yang diberikan hanya 10 tahun untuk KPR subsidi, 10 tahun selanjutnya diberikan bunga normal komersial. Karena 10 tahun kedua, income MBR ini naik sehingga memang banyak yang sudah lunas di 10 tahun pertama,” ucapnya. 

Nixon menilai dengan memperpendek masa tenor subsidi bunga KPR MBR hanya 10 tahun, maka akan mendorong penetrasi lebih cepat lagi sehingga banyak yang memiliki rumah. 

Dia juga mengusulkan agar pemberian KPR subsidi ini tidak berdasarkan desil penghasilan namun merujuk pada harga rumah. 

Selama ini, jika merujuk desil penghasilan, maka masyarakat yang memiliki gaji Rp8,1 juta tidak dapat membeli rumah subsidi. Oleh karena itu, ke depannya diharapkan KPR subsidi dapat diberikan dengan mengacu pada harga rumah. Menurutnya, masyarakat yang memiliki penghasilan sedikit tidak akan membeli rumah yang mahal. 

“Jangan karena penghasilan tetapi dari harga rumah. Ini lebih sesuai dan cocok marketnya. Kami minta dibuka KPR subsidi bisa disekuritisasi. Aturan sekarang enggak mungkin. Likuiditasnya enggak harus dana mahal. KPR dijual, sekuritisasi surat berharga investor muncul. Ini pasti gede nantinya yang bisa dibiayain bisa capai 600.000 unit setahun, dari saat ini yang maksimal hanya 280.000 unit,” tutur Nixon.

Selanjutnya, untuk penghasilan desil 7 dan 8 dengan penghasilan Rp8 juta hingga Rp15 juta, pemerintah dapat memberikan subsidi terhadap pajak penghasilan nilai (PPN), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan premi asuransi untuk rumah dengan harga Rp240 juta hingga Rp500 juta. Selama ini, kalangan MBT sangat sulit memiliki rumah karena biaya administrasi yang besar di awal karena sangat memberatkan. 

“Ini masih diexercise lagi oleh kemenkeu. Kami akan dorong terus yang dapet kemudahan enggak cuman MBR tapi juga MBT. Dengan gaji Rp8 juta – Rp15 juta hidup di Perkotaan, dengan penghasilan itu tidak mungkin bisa beli rumah di kota saat ini,” ujarnya. 

Dia menghitung jika mengakumulasi biaya BPHTB, PPN, balik nama, dan premi asuransi, maka akan mengurangi beban sebesar 20% dari harga rumah. Dia mencontohkan untuk harga rumah Rp500 juta jika diberikan pengurangan biaya BPHTB, PPN, balik nama dan premi asuransi, maka harga rumah berkurang 20% atau menjadi Rp400 juta. Hal ini tentu berdampak terhadap berkurangnya angsuran rumah MBT setiap bulannya. 

“Kalau diberikan subsidi untuk MBT itu lebih murah, tenor kita bikin lebih panjang 30 tahun, kemudian juga kenaikannya seiring income dari milenial. Dengan ini serapan KPR milenial akan naik. Selama ini, mereka males mikir biaya di depan gede, angsuran enggak masuk. Kami bikin cicilan lebih panjang dan angsuran yang disubsidi sehingga MBT bisa punya rumah,” terang Nixon.

Baca Juga: Kala Pemerintah Terus Kaji Skema Flat 35 Atasi Tantangan Urbanisasi Perkotaan

 

Perkuat Data Kebutuhan

Terpisah, Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip berpendapat janji program Prabowo membangunn 3 juta rumah setiap tahunnya ini memiliki kendala dalam ketersediaan lahan dengan harga yang terjangkau. 

Selain itu, ketersediaan dana murah yang match dengan karakteristik pembiayaan perumahan juga menjadi hambatan tersendiri bagi upaya penyediaan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat.

“Ada keterbatasan jumlah pengembang yang memiliki kualifikasi untuk menjadi mitra bisnis bagi pemerintah dan bank penyedia kredit,” katanya. 

Sunarsip mengusulkan agar dikembangkan berbagai kebijakan dan inovasi yang lebih inklusif bagi pelaku usaha di sektor perumahan dan properti untuk mengatasi berbagai tantangan dan hambatan bagi upaya penyediaan perumahan dan bisnis di sektor properti.

Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna berpendapat rencana pembangunan perumahan 3 juta rumah oleh pemerintahan baru dinilai terlalu fantastis apabila melihat realisasi milik Presiden Joko Widodo dalam Program Sejuta Rumah yang ternyata tidak sesuai dengan target.

“Kita harus belajar dari kebijakan-kebijakan rumah sebelumnya. Target sejuta rumah ternyata hanya terjangkau 200.000 rumah.Kalau mau bangun 3 juta rumah harus jelas konsep dan lokasinya,” ucapnya

Dia berharap pemerintah juga mempermudah perizinan dan penyediaan lahan untuk membangun program perumahan. Selama ini kendala pembangunan hunian terletak pada tanah yang terbatas di perkotaan. Dia meminta pemerintahan mendatang dapat realistis memberikan target pembangunan perumahan demi terselesaikannya angka backlog hunian. 

Hingga saat ini berdasarkan data yang dimiliki Kementerian PUPR, capaian Program Sejuta Rumah dari tahun 2015 hingga 2023 telah mencapai angka 9.206.379 unit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Asteria Desi Kartikasari
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.