Sejarah Reog Ponorogo, Kritik untuk Penguasa yang Tak Mendengar

Jika dilihat Selintas, aspek magis menonjol dalam Reog Ponorogo. Namun,, di balik itu ternyata ada ekpresi perlawanan atau kritik terhadap penguasa yang tidak mendengar masukan rakyatnya.

Saeno

16 Des 2021 - 21.34
A-
A+
Sejarah Reog Ponorogo, Kritik untuk Penguasa yang Tak Mendengar

Penampilan salah satu peserta Festival Nasional Reog atau Reyog Ponorogo XXVI di Alun-Alun Kabupaten Ponorogo, Senin (26/8/2019)./Antara-Dewanto Samodro)

Bisnis, JAKARTA - Reog atau reyog Ponorogo menempati bagian khusus dalam khasanah budaya Indonesia. Jika dilihat Selintas, aspek magis menonjol dalam Reog Ponorogo. Namun,, di balik itu ternyata ada ekpresi perlawanan atau kritik terhadap penguasa yang tidak mendengar masukan rakyatnya.

Konon, suatu ketika Pemerintahan Prabu Brawijaya V dari Majapahit justru berada di bawah pengaruh atau didominasi Permaisuri Putri Campa. Kondisi itu membuat pujangga kerajaan bernama Suryongalam menjadi gerah dan tidak puas.

Saran dan nasihat untuk mengatasi keadaan kerajaan yang sedang kacau dari Sang Pujangga tidak diindahkan Sang Prabu. Kondisi itu membuat Suryongalam memilih mundur, dia meninggalkan Majapahit dan menyingkir ke Surukubeng.

Suryongalam mendirikan padepokan, dia berganti identitas dan bergelar Ki Ageng Kutu. Dari jauh, Suryongalam tetap memikirkan Sang Prabu dan kerajaan yang di ambang keruntuhan.

Sebagai rakyat sekaligus mantan pejabat kerajaan, Ki Ageng Kutu tetap ingin mengingatkan Prabu Brawijaya V agar ingat tanggung jawabnya sebagai raja. Untuk menyampaikan aspirasi dan pandangannya itu, 

Suryongalam memilih jalan kebudayaan untuk menyampaikan maksudnya. Dia menciptakan sebuah seni pertunjukan dengan konten atau isi berupa sindiran kepada Sang Raja.

Sang Raja digambarkan sebagai harimau, binatang paling perkasa di hutan-hutan Jawa. Sedangkan, Putri Campa yang cantik digambarkan sebagai burung merak, binatang paling indah di hutan.

Simbol Raja dan Permaisuri itu kemudian digabungkan menjadi Singo Barong, kepala harimau yang ditunggangi seekor burung merak, sebagai kritik atas dominasi Permaisuri dalam pemerintahan Prabu Brawijaya V..

Pasukan Majapahit yang semakin lemah di bawah pemerintahan Brawijaya V digambarkan sebagai pasukan berkuda dengan perilaku dan sifat feminin. Mereka dipersonifikasikan sebagai penari berkuda yang dimainkan seorang laki-laki gemulai mengenakan kebaya.

Aksi Penari Pujangganong dari kelompok reog Ki Onggo Pati, Desa Plunturan, Kabupaten Ponorogo dalam Gelar Reyog Desa Plunturan di Ponorogo, Minggu (25/8/2019)./Antara-Dewanto Samodro

Suryongalam sendiri digambarkan sebagai Pujangganong, alih Pujangga Anom,  yang merupakan jabatan Suryongalam di kerajaan.

Dalam pertunjukan reog, Pujangganong selalu menggoda Singo Barong yang tidak pernah terkalahkan.

Legenda Reog Ponorogo

Menelurusi sejarah dan asal usul Reog Ponorogo bukanlah perkara mudah. Meskipun memiliki latar belakang cerita, misalnya versi Suryongalam atau versi Prabu Kelonosewandono dari Bantarangin, cukup sulit untuk merekonstruksi asal-usul seni tradisi ini.

Menurut peneliti reog Rido Kurnianto sejarah reog Ponorogo yang dipahami masyarakat umumnya lebih cenderung bersifat legenda, Masyarakat memahaminya sebagai prosesi lamaran Prabu Kelonosewandono kepada Dewi Songgolangit dari Kediri.

"Sejarah reog Ponorogo berbasis fakta ilmiah, belum menemukan kepastian yang bisa dipertanggungjawabkan," kata Rido seperti ditulis Dewanto Samodro dari Antara, Kamis (29/8/2019).

Menurut penulis buku Seni Reyog Ponorogo itu, semua hasil penelitian tentang reog belum ada yang berhasil mengungkap sejarah secara ilmiah.

Penelitian-penelitian selalu terbentur pada permasalahan fakta dan data karena hanya bersumber dari informasi lisan dan beberapa tulisan dengan kesimpulan yang multitafsir.

Ada sejumlah prasasti dan situs, yang dianggap berkaitan dengan sejarah reog. Sebut saja misalnya situs Bantarangin di Kecamatan Somoroto, prasasti di Desa Kutu, Kecamatan Jetis, Ki Ageng Mirah di Desa Mirah, Kecamatan Sukorejo, dan Ki Onggolono di Desa Golan, Kecamatan Sukorejo 

Namun, Rido meyakini bahwa reog berkembang seiring dengan keberadaan masyarakat awal Ponorogo yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena keberadaan roh-roh di alam.

"Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme, bencana atau bala itu akibat kemarahan roh-roh yang ada di alam sehingga diperlukan upaya bersih-bersih dengan memanggil roh yang lebih kuat," katanya.

Karena itu, masyarakat Ponorogo memilih roh harimau, yang dianggap sebagai roh binatang hutan terkuat, dan roh burung merak, yang dianggap sebagai roh binatang hutan terindah.

Oleh para seniman di masa lalu, simbol roh harimau dan roh burung merak itu kemudian digambarkan sebagai kepala harimau yang disebut barongan dan dadak merak yang terus mengalami perkembangan menjadi topeng reog yang saat ini dikenal.

Salah satu penari Warok Putri dari kelompok reog Ki Onggo Pati, Desa Plunturan, Kabupaten Ponorogo dalam Gelar Reyog Desa Plunturan di Ponorogo, Minggu (25/8/2019)./Antara=Dewanto Samodro)

"Sebelumnya, reog dimainkan oleh dua orang seperti barongsai di China. Satu orang memainkan kepala dan dua kaki depan, satu orang bermain sebagai badan dan dua kaki belakang. Topengnya berupa kepala harimau dengan dadak merak kecil seperti mahkota," tuturnya.

Dari cerita legenda yang menjadi latar pertunjukan bisa disimpulkan bahwa reog mulai berkembang sejak era animisme dan dinamisme hingga bentuk saat ini yang mulai mendapat pengaruh dari agama Islam. Rido mengatakan bentuk pengaruh Islam dalam reog bisa dilihat pada manik-manik tasbih yang ada pada paruh burung merak.

Sejarah akulturasi reog dengan ajaran Islam bisa dirunut pada cerita Bathoro Katong, murid Ki Ageng Mirah, yang beragama Islam.

Bathoro Katong yang bernama asli Lembu Kanigoro merupakan putra kelima Prabu Brawijaya V, adik Raja Demak Raden Patah. Untuk mempermudah penerimaan masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu dan Buddha, Raden Patah memberi nama adiknya Bathoro Katong.

Bathoro Katong berasal dari kata "batara" yang berarti dewa dan "katon" yang berarti menampakan diri, sehingga berarti dewa yang mewujud atau menampakan diri dalam wujud manusia.

Reog menjadi salah satu media dakwah yang dilakukan Bathoro Katong. Manik tasbih yang ada pada paruh burung merak dimaksudkan agar manusia selalu berdzikir kepada Yang Maha Kuasa.

Warok dan Gemblak

Dalam seni Reog terdapat fenomena gemblak dan warok. Seperti ditulis wikipedia, gemblak adalah mantan tokoh seni Reog dan berkaitan erat dengan warok. Gemblak adalah seorang anak laki-laki rupawan yang tinggal bersama dengan komunitas warok dalam jangka waktu 2 tahun.

Gemblak dipinang menggunakan hewan ternak sapi atau sawah garapan. Mahar itu diberikan ke keluarga gemblak. Selanjutnya sang gemblak akan hidup bersama sang Warok, mengikuti kelompok pertunjukan keliling di banyak tempat untuk meramaikan pementasan Reog.

Sedangkan warok adalah sebutan untuk lelaki yang punya sifat kesatria, berbudi pekerti luhur, dan memiliki wibawa tinggi di kalangan masyarakat. Pada awalnya warok digambarkan sebagai sosok pengolah ilmu kanuragan yang demi pencapaian ilmu dan kesaktiannya, mereka melakoni "puasa perempuan" alias tidak berhubungan dengan wanita.

Warok dapat menikah dengan seorang wanita sebagai istri mereka, tetapi mereka mungkin tetap memiliki gemblak. Warok-Gemblakan digambarkan dalam wikipedia mirip dengan tradisi perjantanan di Yunani kuno.

Warok kaya yang mengontrak gemblak sering memanjakan gemblak dengan diberi masakan enak, diajak jalan-jalan, diberi perhiasan, dan tak segan-segan mengeluarkan uang untuk sekolah dan uang saku gemblak-nya.

Selama dikontrak, gemblak harus mengabdi kepada warok-nya dan taat pada setiap nasihatnya. Warok dan gemblak mempunyai hubungan melekat seperti ayah-anak pada soal pendidikan. Warok mengajari gemblak bagaimana hidup bijak dan santun, mengajari menari untuk pementasan Reog, dan menyekolahkannya. 

Kini praktik Warok-Gemblak ditentang pemuka agama setempat melalui perlawanan moral publik. Itu sebabnya, pagelaran Reog Ponorogo jarang menampilkan gemblak, anak laki-laki tampan sebagai penunggang kuda. Peran gemblakan diganti dengan Jathil, prajurit perempuan yang menunggangi kuda lumping. 

Prabu Kelonosewandono

Menurut Peneliti reog, Rido Kurnianto, warok sebagai suatu kesenian muncul dalam pertunjukan reog sebagai tari warok.

Penari warok biasanya digambarkan dengan riasan muka berwarna merah, berjenggot tebal, berpakaian serba hitam yang disebut "penadon" dengan ikat pinggang tali berwarna putih yang disebut "kolor" atau "usus-usus".

Salah satu penari warok dari kelompok reog Ki Onggo Pati, Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, saat Gelar Reyog Desa Plunturan di Ponorogo, Minggu (25/8/2019)./Antara-Dewanto Samodro

Warok adalah tokoh kanuragan sebelum era Islam yang merupakan figur rakyat tetapi memiliki kesaktian dan kewibawaan tinggi untuk mengatur masyarakat.

"Dalam pertunjukan reog garapan, tari warok menggambarkan olah kanuragan," katanya.

Tradisi warok adalah tradisi kehidupan dengan latar belakang ideologi kanuragan yang harus dilakoni. Salah satu yang harus dijalani adalah tidak berhubungan dengan perempuan, termasuk istrinya.

Dalam bukunya "Seni Reyog Ponorogo", mengutip makalah Ki Kasni Gunopati yang tidak dipublikasikan, Rido mengatakan "laku" para warok tersebut berkaitan erat dengan kisah Prabu Kelonosewandono dari Bantarangin.

Selama memerintah, Sang Prabu tidak didampingi seorang istri atau permaisuri. Hal itu karena pantangan yang dipesankan oleh Sunan Lawu, gurunya, untuk menjauhi perempuan agar ilmu kesaktian tetap terjaga.

Untuk mencegah kesenangan terhadap perempuan, Sang Prabu memelihara pemuda-pemuda belia berparas tampan untuk mendampingi dan menghiburnya. Meski begitu, Sang Prabu akhirnya tetap berhasrat untuk meminang Dewi Songgolangit dari Kediri yang salah satu persyaratannya adalah rombongan Bantarangin harus melalui jalan bawah tanah.

Dengan menggunakan cemeti bernama Pecut Samandiman pemberian Sunan Lawu, Prabu Kelonosewandono kemudian membuat jalan bawah tanah tersebut, yang berarti melanggar pesan Sang Guru bahwa cemeti tersebut hanya boleh digunakan dalam keadaan terdesak.

Suara Pecut Samandiman yang menggelegar didengar oleh Sunan Lawu yang kemudian mendatangi Prabu Kelonosewandono. Kepada Sang Murid, Sunan Lawu memberikan dua pilihan, tetap meminang Dewi Songgolangit tetapi tidak menjadi raja atau tetap menjadi raja tetapi dicintai oleh rakyatnya.

"Prabu Kelonosewandono kemudian memilih tetap menjadi raja," ujar Rido.
 
Salah satu penari Kelonosewandono dari kelompok reog Ki Onggo Pati, Desa Plunturan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, saat Gelar Reyog Desa Plunturan di Ponorogo, Minggu (25/8/2019)./Antara=Dewanto Samodro

"Laku" Prabu Kelonosewandono yang tidak menyentuh perempuan dan memelihara pemuda-pemuda belia untuk menghibur itu kemudian diikuti para warok sehingga memunculkan tradisi "gemblak". 

Menurut Rido, tugas seorang "gemblak" membantu mempersiapkan kebutuhan seorang warok, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalani "laku" untuk kanuragan.

Tradisi itulah yang kemudian menimbulkan stigma negatif akibat perilaku oknum warok terhadap "gemblak"-nya, seolah-olah warok memiliki penyimpangan seksual.

"Padahal, dalam praktiknya, 'gemblak' juga menjadi murid warok yang pada akhirnya menjadi media kaderisasi," kata Rido.

Masih relevankah tradisi warok pada saat ini?

Rido mengatakan pada era modern saat ini warok bisa diartikan sebagai orang-orang Ponorogo yang dihormati oleh masyarakat. Karena itu, seorang kepala desa, lurah, camat, bupati, dan tokoh masyarakat bisa dianggap sebagai warok Ponorogo saat ini.

Hal yang sama disampaikan Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Ponorogo Arim Kamandoko. Menurut dia, warok adalah seseorang yang dihormati dan tanpa cela.

"Setiap laki-laki Ponorogo itu adalah warok, tetapi dengan derajat yang berbeda-beda," tuturnya.

Kucumbu Tubuh Indahku 

Kehidupan gemblak menjadi inspirasi bagi hadirnya film Indonesia tahun 2019 yang disutradarai dan ditulis oleh Garin Nugroho. Film yang diproduseri Ifa Isfansyah ini mengisahkan penari Lengger yang menjadi gemblak seorang warok dalam tradisi klasik penari Reog.

Alur film ini diilhami dari pengalaman hidup Rianto, yang juga turut serta dalam film ini. Film ini diperankan oleh Muhammad Khan, Sujiwo Tejo, Teuku Rifnu Wikana, Randy Pangalila, dan Endah Laras.

Poster film Kucumbu Tubuh Indahku/imdb.com

Film ini pertama kali ditayangkan di Festival Film Internasional Venesia ke-75, kemudian ditayangkan di Festival Tiga Benua Nantes. Di Indonesia, film ini pertama kali ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada 13 Desember 2018.

Film ini baru ditayangkan di bioskop pada 18 April 2019 bersama dua film Indonesia lainnya selepas diundurkan dari jadwal semula yaitu Maret 2019. Selama penayangannya film ini tidak menemui kendala yang berarti. Namun, enam hari kemudian terdapat dua petisi di Change.org yang menentang penayangan film ini di bioskop karena dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia.

Buntutnya, film ini dilarang untuk ditayangkan di tujuh kota dan kabupaten dari lima provinsi; seperti Padang (Sumatra Barat), Palembang (Sumatra Selatan), Pekanbaru (Riau), Depok dan Garut (Jawa Barat), serta Pontianak dan Kubu Raya (Kalimantan Barat).

Garin Nugroho bersama sutradara lainnya beserta organisasi tempat mereka bernaung, Indonesian Film Directors Club, menyatakan keprihatinan mereka atas pemboikotan yang terjadi yang dianggap sebagai penghakiman massa.

Film ini berjaya memenangkan dua dari tujuh nominasi Festival Film Tempo 2018. Dalam Festival Film Indonesia 2019 film ini berhasil meraih delapan penghargaan dari dua belas nominasi — termasuk Film Terbaik, dan menempatkan Garin Nugroho sebagai Sutradara Terbaik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.