Tak Hanya Restrukturisasi, Pemerintah Buka Opsi Baru untuk GIAA

Pemerintah bahkan mempertimbangkan untuk tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas GIAA.

Rinaldi Mohammad Azka & Lorenzo Anugrah Mahardhika

10 Nov 2021 - 18.54
A-
A+
Tak Hanya Restrukturisasi, Pemerintah Buka Opsi Baru untuk GIAA

Pesawat Garuda Indonesia membawa 1,2 Juta vaksin Covid-19. Biro Pers Sekretariat Presiden - Lukas.

Bisnis, JAKARTA - Kementerian BUMN terus mencari akal untuk menyelamatkan maskapai nasional, PT Garuda Indonesia Tbk. Selain opsi restrukturisasi keuangannya, pemerintah juga membuka peluang masuknya investor baru di emiten dengan kode GIAA tersebut. 

Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, mengungkapkan pemerintah membuka opsi adanya pemegang saham baru ketika restukturisasi berhasil dan kewajiban turun. Bahkan pihaknya mempertimbangkan pemerintah tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas.

"Dukungan dan pendapat dari DPR apakah boleh melakukan dilusi bahkan pemerintah menjadi tidak mayoritas lagi di Garuda ke depan," terang pria yang biasa disapa Tiko dalam paparan Rapat Dengar Pendapat di Komisi VI DPR, dikutip Rabu (10/11/2021).

Selain membuka peluang investor baru masuk, Kementerian BUMN bakal meminta kembali pencairan dana Investasi Pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN). Garuda memiliki dana tersisa di rekening Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebesar Rp7,5 triliun.

 

 

Dana tersebut berasal dari komitmen pemerintah melalui IP-PEN sebesar Rp8,5 triliun untuk Garuda Indonesia pada 2020. Namun, pencairan baru dilakukan sebesar Rp1 triliun melalui Obligasi Wajib Konversi (OWK).

Sisa dananya sebesar Rp 7,5 triliun tidak bisa cair karena kondisi Garuda Indonesia tidak memungkinkan untuk memenuhi parameter dan skema pencairan berikutnya. "Kami sedang negosiasi kembali dengan kementerian keuangan mungkin Rp7,5 triliun atau setara US$527 juta ini kami negosiasi ulang parameter dan skemanya, karena kalau pakai parameter dan skema 2020 kemarin sudah tidak ada yang ketemu," urai Tiko.

Rencananya, Kementerian BUMN ingin mengalokasikan US$ 90 juta dari dana US$ 527 juta tersebut untuk pendanaan interim dalam bentuk senior secured loan dengan jaminan 120 persen dari nilai pinjaman kepada Kemenkeu. Kartiko menyebut dana US$ 90 juta tersebut harapannya bisa digunakan di awal proses hukum. 

"Karena para kreditur, di awal proses hukum, ingin ada semacam token [penyuntikan dana] dari pemerintah untuk menunjukkan pemerintah berkomitmen," katanya.

Sisa dana sebesar US$437 juta rencananya dapat dicairkan sebagai kebutuhan penyelesaian restrukturisasi. Sehingga utang GIAA dapat menurun dan biaya leasing baru dapat dipangkas, serta pemerintah bisa menambah modal.

"Kami butuh tokennya untuk menjaga Garuda dapat tetap terbang dengan cash flow yang cukup selama proses negosiasi 4-6 bulan ini," paparnya.

 

 

Di sisi lain, proses restrukturisasi utang GIAA terus berjalan setelah proposal diajukan kepada vendor-vendor dan perusahaan penyewa pesawat (lessor). Menurut Tiko, GIAA masih berdiskusi dengan para kreditur dan lessor.

Dari 32 lessor yang tengah berdiskusi dengan GIAA, lanjutnya, sekitar 70 persen diantaranya berpotensi menyetujui kesepakatan restrukturisasi. Itu karena pesawat-pesawat yang telah disewakan kepada GIAA kini mulai digunakan lagi seperti seri Boeing 737 atau Airbus A320.

“Sisa 20 persennya memang akan cukup sulit, seperti Bombardier dan lessor Boeing 777 karena kita sudah tidak terbang ke luar negeri lagi. Ini perlu ada sweetener dalam kesepakatannya atau perlu dibawa juga ke ranah hukumnya,” jelasnya.

Dia melanjutkan kejelasan pembahasan restrukturisasi dengan para lessor tersebut kemungkinan didapatkan dalam 2 hingga 3 bulan ke depan. Sementara itu, diskusi dengan vendor-vendor dan perbankan dalam negeri, seperti Pertamina dan Angkasa Pura, berjalan dengan baik.

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, sebelumnya menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan dalam restrukturisasi. Upaya tersebut bakal diajukan namun ada peluang tidak diterima oleh vendor dan lessor.

Upaya pertama yaitu pemotongan utang. Kedua, perseroan hanya membayar pungutan biaya hak penggunaan (BPH) dari lessor dengan nilai minimum yang rendah selama satu dua tahun masa recovery dari pandemi atau tingkat pergerakan belum normal. Ketiga, apabila pandemi selesai dalam dua tahun, pihaknya akan membayar BPH sesuai dengan harga pasar.

"Ini tiga poinnya, kalau tidak menerima silakan. Kami sudah mengajukan proposal secara verbal dan berbicara dengan advisor dan lessor,: ujarnya.

Di luar tiga upaya restrukturisasi itu, Irfan menyebut perseroan bakal mengurangi jumlah pesawat lebih kecil. Upaya tersebut dilakukan agar Garuda Indonesia bisa menjadi perusahaan yang berpengalaman dan menguntungkan.

Selama ini, lanjutnya, maskapai dengan jenis layanan minimum tersebut secara berlebihan terbang ke rute yang tidak jelas keuntungannya. GIAA pun berencana memangkas jumlah rute yang diterbangi maskapai dari 237 rute menjadi hanya 140 rute. 

 

Selama masa pembatasan penerbangan, perusahaan memaksimalkan utilisasi pesawat dengan mengoperasikan 20 persen armadanya sebagai angkutan kargo. - Citilink

 

Peralihan ke Anak Usaha 

Dengan jumlah pesawat yang lebih kecil, Garuda Indonesia pun selektif melayani rute-rute perjalanan di masa depan. Sementara itu, rute-rute yang ditinggalkan induk usahanya bakal diisi oleh anak usaha GIAA, Citilink.

Kartika pun menyebut Citilink akan dominan mengisi rute-rute khusus untuk maskapai penerbangan bertarif rendah atau low cost carrier (LCC) yang tadinya dimiliki oleh Garuda Indonesia. Sementara itu, GIAA akan fokus pada rute-rute penerbangan utama dengan potensi penerimaan yang tinggi.

“Kedepannya nanti Citilink bisa lebih besar dan fokus ke LCC. Sedangkan, GIAA akan fokus ke rute-rute yang gemuk seperti Jakarta – Surabaya atau Jakarta – Denpasar,” jelasnya.

Strategi tersebut harus dijalankan perseroan karena perusahaan terus menanggung kerugian akibat beroperasinya sejumlah maskapai di rute-rute yang tidak mendorong pendapatan. Pendapatan yang diperoleh maskapai dari rute-rute tertentu ini tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan.

Selain itu, maskapai dengan jenis layanan penuh tersebut menilai ada dua jenis pesawat yakni Bombardier CRJ dan ATR yang membuat rugi. Ada juga rute-rute dengan jumlah penumpang minim masih dapat dibuka karena memiliki volume kargo yang mencukupi.

Tak hanya dalam negeri, perusahaan telah mengurangi secara masif penerbangan untuk rute internasional. Pada awal 2020, perusahaan memangkas rute penerbangan ke Amsterdam, London, dan Nagoya. Sejalan dengan pengurangan rute, perusahaan pun meminimalkan frekuensi ke rute-rute tertentu, salah satunya Jakarta-Yogyakarta.

 

 

Di sisi lain, Kartika membantah bahwa pemerintah menyiapkan maskapai PT Pelita Air Service untuk menggantikan Garuda Indonesia.

Pelita Air hanya akan disiapkan apabila proses restrukturisasi utang GIAA gagal. “Itu [Pelita Air] hanya sekoci cadangan jika proses in court-nya GIAA gagal,” katanya.

Ia melanjutkan, Pelita Air telah memulai pemesanan sejumlah unit pesawat. Salah satunya adalah jenis Airbus A320. Meski demikian, Kartika enggan memaparkan rencana operasional maskapai yang dimiliki oleh PT Pertamina (Persero) tersebut.

Dikutip dari website resminya, pendirian Pelita Air berawal dari kebutuhan Pertamina untuk mendukung kegiatan eksplorasi, eksploitasi, kargo, serta transportasi migas dan/atau personel. Awalnya pada 1963, Pertamina membuat departemen layanan udara yang disebut Pertamina Air Service. Pada 1970 atau 7 tahun setelahnya, Pertamina menutup departemen layanan udara dan sebagai gantinya mendirikan PT Pelita Air Service (PAS), anak perusahaan otonom untuk menyediakan operasi penerbangan berkelanjutan.

Maskapai ini kemudian diberi misi melakukan operasi penerbangan untuk melayani dan mengkoordinasikan operasi penerbangan secara ekonomis dalam industri migas di Indonesia melalui penerbangan charter dan kegiatan terkait. Termasuk kegiatan transmigrasi, pemadam kebakaran, pengungsi, palang merah, tumpahan minyak, foto udara, transportasi kargo.

Selanjutnya, layanan Pelita Air diperluas ke penerbangan untuk VVIP, lepas pantai, evakuasi medis, operasi seismik, survei geologi, helirig, pilot helikopter untuk disewa, dukungan dan pelatihan. Selama beberapa dekade, Pelita Air melayani jasa penerbangan bagi beberapa perusahaan migas di Indonesia, baik perusahaan asing maupun domestik.

Pada 2000 sampai 2005, Pelita Air pernah mencoba berbisnis penerbangan reguler untuk banyak rute. Namun, agar lebih fokus pada bisnis utamanya, Pelita Air memutuskan untuk berkonsentrasi pada charter penerbangan udara.

Penerbangan reguler ditutup pada 2005. Pelita Air Service memiliki anak usaha di bidang pemeliharaan dan perbaikan pesawat, yakni PT IndoPelita Aircraft Services. Selain itu, Pelita Air juga memiliki lapangan terbang secara eksklusif di Pondok Cabe, Jakarta Selatan, yang terdiri dari hanggar, gudang dan landasan pacu sepanjang 2.000 meter.

Pelita Air Service mengoperasikan beberapa armada antara lain pesawat rotary wing dan fixed wing untuk melewati seluruh medan Indonesia. Di antaranya, ATR 42-500, ATR 72-500, CASA 212-200, AT 802, Bell 412 EP, Bolkow NBO-105, Sikorsky S76 C++, Sikorsky S76-A, Bell 430. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Febrina Ratna Iskana

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.