Wacana Kenaikan Harga Energi di Tengah Pemulihan Manufaktur

Pemerintah dinilai perlu berhati-hati memutuskan kebijakan kenaikan harga energi pada tahun ini, khususnya di tengah kondisi industri manufaktur yang masih dalam masa pemulihan.

Reni Lestari

10 Jan 2022 - 18.00
A-
A+
Wacana Kenaikan Harga Energi di Tengah Pemulihan Manufaktur

Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT. Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA — Wacana kenaikan harga energi pada tahun ini mulai menimbulkan kekhawatiran di lingkungan dunia usaha. Jika itu terjadi, kenaikan harga energi tersebut akan menjadi ‘kado tahun baru’ yang sesungguhnya tidak pernah diimpikan oleh pelaku industri manufaktur Tanah Air.

Pemerintah diketahui berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada 13 golongan pengguna. Berdasarkan rencana penyesuaian TDL oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kenaikan pada golongan I-3 atau penggunaan listrik di atas 200 kVS dan I-4 dengan penggunaan daya di atas 30.000 kVA diproyeksikan masing-masing 15,97%—20,78%.

Selain itu, ada pula wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) premium dan pertalite yang disinyalir akan mengerek biaya logistik.

Dari sisi permintaan, masyarakat juga dihadapkan pada kenaikan harga liquefied petroleum gas (LPG) nonsubsidi sebesar Rp1.600 hingga Rp2.600 per kilogram.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan pemerintah perlu berhati-hati memutuskan kebijakan kenaikan harga energi pada tahun ini, khususnya di tengah kondisi industri manufaktur yang masih dalam masa pemulihan.

Wakil Ketua Umum Kadin Shinta W. Kamdani mengatakan kenaikan harga energi akan mengerek biaya produksi pada semua produk yang dikonsumsi masyarakat.



Jika itu terjadi, dia memperkirakan inflasi akan lebih tinggi dari tahun lalu pada kisaran 4% hingga 5%, tergantung seberapa besar kenaikan harga yang dipatok oleh pemerintah.

"Kami harap pemerintah prudent memutuskan kenaikan harga energi di tahun ini. Pelaku usaha melihat saat ini sama sekali bukan momen yang tepat untuk menaikkan harga energi," kata Shinta saat dihubungi, Senin (10/1/2022).

Menurut Shinta, jika hal ini terjadi, konsumsi masyarakat akan melambat drastis dalam jangka pendek sampai menengah, bahkan sampai 2—3 tahun setelahnya.

Dia menekankan bahwa dalam kondisi pandemi yang belum sepenuhnya reda, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan laju permintaan pasar. Selama masih ada pandemi, imbuhnya, produktivitas masih akan terus tertahan, sehingga penciptaan lapangan kerja juga tidak bisa digenjot maksimal untuk segera meningkatkan daya beli yang bisa mengimbangi dampak kenaikan biaya produksi.

Sebaliknya, menurut Shinta, pemerintah perlu fokus pada pemberian dukungan melalui perbaikan efisiensi biaya usaha pokok di industri manufaktur. Tanpa dukungan di sisi efisiensi, industri nasional tidak bisa meningkatkan kinerja dengan maksimal karena beban operasional yang lebih tinggi atau karena penurunan permintaan pasar akibat inflasi.

Dorongan untuk pemberian dukungan itu sejalan dengan langkah pemerintah menaikkan target pertumbuhan pada tahun ini menjadi 4,5%—5%, dari proyeksi tahun lalu 4%—4,5%.

"Kami harap hal ini bisa dilakukan dengan reformasi-reformasi struktural terhadap iklim usaha agar biaya usaha lain bisa lebih efisien daripada saat ini untuk membantu mendongkrak kinerja perusahaan," ujarnya.

Senada, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai wacana kenaikan harga energi bersifat kontraproduktif dengan arah pemulihan industri, bahkan berpeluang mempengaruhi ketercapaian target pertumbuhan industri pada 2022 sebesar 4,5%—5%.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, mengatakan kenaikan harga energi merupakan satu dari tiga faktor yang membebani pertumbuhan industri pada tahun ini. Dengan adanya tekanan harga energi, industri masih memerlukan insentif, meskipun pemerintah perlu selektif dalam penyelenggaraannya.

"Harus lebih selektif untuk memberikan insentif, karena saat ini bukan lagi kepada pemberian insentif arah pemulihannya. Kita berharap adanya turning point, industri memberikan penerimaan bagi begara," kata Andry kepada Bisnis, Senin (10/1/2021).


Menurutnya, selama 2 tahun ini kas negara sudah cukup terkuras untuk memberikan insentif bagi industri, sehingga upaya dukungan selanjutnya perlu ditimbang dengan matang.

Selain harga energi, lanjut Andry, pertumbuhan industri juga terbebani ketidakpastian pandemi. Vaksin booster yang saat ini tengah digodok pengadaannya diharapkan dapat dengan cepat terdistribusi sehingga memperkecil risiko gangguan pandemi pada aktivitas industri.  

Hal lain yang juga berisiko menahan pertumbuhan manufaktur yakni penurunan daya saing karena akumulasi kenaikan biaya produksi yang indikasinya sudah terlihat sepanjang tahun lalu.

"Tentu kalau industri berorientasi ekspor, juga jadi salah satu problem karena tidak kompetitif, bahwa harga yang dihasilkan oleh industri akan meningkat. Ini perlu diantisipasi oleh pemerintah," katanya.

Di sisi lain, Sekjen Asosiasi Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan bahwa mahalnya harga energi mendorong pelaku usaha melakukan inovasi di sektor produksi, seperti mengganti alat permesinan dengan yang lebih efisien.

“Dari sisi pengusaha, kami yang sudah mengantongi sertifikat Proper [dari Kementerian LHK], juga setiap tahun dituntut untuk mengurangi pengeluaran energi yang dikonsumsi dengan mengganti bagian-bagian baru yang lebih hemat energi,” katanya kepada Bisnis, Senin (10/1/2022).

Hal itu, lanjut Fajar, seiring pula dengan peralihan konsumsi ke energi terbarukan. Dia menggarisbawahi harga energi yang dihasilkan panel surya telah mendekati biaya listrik dari PLN, meskipun baru bisa menggantikan sekitar 20%—30%.

Selain itu, penggunaan sumber energi terbarukan lain juga harus disesuaikan dengan kondisi geografis dan sumber daya masing-masing daerah.

Fajar mengatakan, sumber energi terbarukan yang berpeluang digunakan secara masif oleh industri saat ini adalah biomassa.

“Biomassa kan banyak sekali kita punya, mulai dari sisa padi, jagung, sawit, karet, tebu. Karena itu riset-risetnya sudah mulai harus diperbanyak,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.