Halang Rintang Mengerek Serapan Gas Murah ke Industri

Perlu ada keberpihakan pemerintah pada industri-industri yang lahap penggunaan gas karena menjadi faktor krusial dalam proses produksi.

Reni Lestari

20 Jan 2022 - 14.00
A-
A+
Halang Rintang Mengerek Serapan Gas Murah ke Industri

Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN

Bisnis, JAKARTA — Realisasi serapan gas harga khusus bagi sebagian sektor industri terpantau masih sangat rendah. Suplai dari PGN yang masih belum merata ditengarai masih menjadi penyebab utamanya. 

Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serapan gas industri dengan harga tertentu sebesar US$6 per MMBTU sepanjang 2021 hanya mencapai 81,08 persen secara agregat dari total alokasi 1.241 BBTUD. 

Di antara tujuh sektor penerima harga gas bumi tertentu, serapan di industri baja tercatat yang paling rendah yakni hanya 57,33 persen dari total alokasi 76,34 BBTUD. Toh, angka serapan itu naik dari 2020 sebesar 76,8 persen dari total alokasi 1.199,8 BBTUD. 

Lain sisi, industri sarung tangan karet mengalami serapan terbesar yaitu 93,49 persen, menyusul berturut-turut industri pupuk, petrokimia, kaca, keramik, oleokimia, dan baja.

Besaran alokasi sebelumnya tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No.89/2020 tentang Pengguna dan Harga GaBumi Tertentu di Bidang Industri yang mulai berlaku April 2020.

Dalam kaitan itu, sejumlah industri menyatakan serapan harga gas bumi tertentu belum merata dan upaya penyesuaian terus dilakukan.

Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono, misalnya, mengatakan ada sekitar 30 hingga 40 persen gas industri dengan penyesuaian harga yang belum disalurkan dari total alokasi di industri petrokimia. 

Hal itu terutama terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur.

"Sekitar 30—40 persen [belum teralokasi]. Di Jawa Barat ada 25 perusahaan, Jawa Timur ada 10," katanya kepada Bisnisbaru-baru ini. 

Di luar tujuh industri yang telah mendapat alokasi, Kementerian Perindustrian telah mengusulkan 10 sektor tambahan penerima harga gas bumi tertentu.

Sektor industri memang mencatatkan porsi tertinggi pada pemanfaatan gas untuk domestik, yakni sebesar 27,69 persen. Adapun, porsi pemanfaatan gas untuk domestik pada 2021 sebesar 66 persen dibandingkan dengan porsi ekspor 34 persen dengan total realisasi penyaluran 5.684 BBTUD.

Di lain sisi, Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan serapan ke produsen di area Jawa Timur masih menghadapi kendala suplai dari PGN sehingga pemanfaatannya belum bisa optimal.

Menurut catatannya, serapan harga gas bumi tertentu kepada para anggota Asaki lebih tinggi dari laporan Kementerian ESDM.

"Penyerapan gas di tahun 2021 sudah  mendekati 85 persen dari alokasi Kepmen ESDM No.134/2021," ujarnya. 

Selain itu, pada awal tahun ini, industri keramik di Jawa Timur dikenai kuota maksimal penggunaan gas sebesar 50 persen pada 2 pekan pertama Januari 2022, dan 2 pekan selanjutnya dinaikkan menjadi 75 persen.

Hal itu ditengarai karena terjadi ketidakseimbangan suplai dan permintaan serta mundurnya jadwal gas on stream dari pemasok baru. Selama periode tersebut, industri yang melebihi kuota pemakaian akan dikenakan penalti.

Edy berharap ketersediaan pasokan gas dapat ditingkatkan sehingga akan ikut mengerek serapan harga gas bumi tertentu di industri keramik pada tahun ini.

Namun demikian, diakuinya bahwa penetapan harga gas bumi tertentu berhasil mengerek tingkat utilitas industri menjadi 75 persen pada 2021. Hal itu menghadirkan investasi baru untuk peningkatan kapasitas produksi.

Pada tahun ini, tingkat utilitas diproyeksi dapat mencapai 85 persen. Adapun, total kapasitas produksi industri keramik lokal bakal terkerek menjadi 586 juta m2 dari tahun lalu 551 juta m2.

Adapun, total nilai investasi untuk ekspansi kapasitas produksi tahun ini diperkirakan sekitar Rp3 triliun dengan penyerapan sekira 3.000 tenaga kerja baru.

"Harga gas US$6 per MMBTU telah memberikan multiplier effect sekaligus sebagai economic driver di mana mulai bergairah dan bergulirnya investasi baru industri keramik nasional," kata Edy.


PASOKAN KE TIMUR

Di tempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan membenarkan volume pasokan gas kepada perusahaan di Jawa bagian timur lebih rendah dari alokasi di Keputusan Menteri ESDM No. 134/2021.

Guna mengatasi kekurangan pasokan tersebut, perusahaan-perusahaan membeli gas dengan harga sekitar US$9 per MMBTU.

"Pelaku industri memilih memaksimalkan utilitas meski beli sebagian gas dengan harga lebih mahal. Ini untuk menjaga momentum permintaan yang menguat," kata Yustinus.

Langkah membeli gas dengan harga lebih mahal itu tidak terjadi pada anggota asosiasi di Jawa bagian Barat karena mendapat pasokan sesuai alokasi Kepmen ESDM No. 134/2021.

Yustinus melanjutkan pilihan tersebut ditempuh karena menjaga kepastian pengiriman produk yang tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat harga sesuai kesepakatan menjadi kunci utama bertahan untuk jangka menengah dan panjang.

Dari perspektif ekonom, stabilitas pasokan gas untuk industri dinilai lebih penting daripada penetapan harga yang lebih murah.

Peneliti di Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan perlu ada keberpihakan pemerintah pada industri-industri yang lahap penggunaan gas karena menjadi faktor krusial dalam proses produksi.

"Menurut saya yang lebih penting konsistensi pasokannya, harus ada terus. Jangan harganya US$6 tetapi kadang langka kadang ada," kata Heri.

Sejauh ini harga gas bumi tertentu sebesar US$6 per MMBTU dinikmati oleh tujuh sektor industri, antara lain pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Kementerian Perindustrian mengusulkan 10 sektor industri tambahan tetapi penerapannya masih dalam pembahasan.

Sementara itu, kebijakan ini disebut-sebut memangkas penerimaan negara dari sektor hulu migas. Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan Handoko mengatakan penerimaan negara berkurang US$1 miliar hingga US$1,2 miliar.

Terkait dengan hal itu, Heri mengatakan pemerintah pasti memiliki hitung-hitungan antara pemasukan yang terpangkas dan multiplier effect yang dihasilkan.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.