Kekerasan Seksual, Jangan Halangi Permendikbudristek 30/2021

Tingginya kasus kekerasan seksual di kampus perguruan tinggi menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan bukanlah ruang yang aman dari kekerasan seksual.

Redaksi

13 Nov 2021 - 07.36
A-
A+
Kekerasan Seksual,  Jangan Halangi Permendikbudristek 30/2021

Ilustrasi

Bisnis, JAKARTA - Dalam 5 tahun terakhir terdapat 51 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Kehadiran Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mestinya didukung semua pihak. Jangan dibikin macet dalam perdabatan frasa.

Data menunjukkan bahwa 27 persen dari 51 kasus di lingkungan pendidikan terjadi di dalam kampus atau perguruan tinggi.

Angka tersebut dipercaya bukan angka sebenarnya, karena banyak korban atau saksi yang enggan melaporkan kejadian kekerasan seksual tersebut.

Hal itu menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan bukanlah ruang yang aman dari kekerasan seksual.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menjadi oase di tengah kondisi dunia kampus yang sudah darurat kekerasan seksual tersebut.

Ilustrasi/Istimewa

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam menuturkan beleid yang terbit pada 31 Agustus 2021 itu adalah respons atas keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus.

“Ini merupakan upaya pemerintah untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi,” kata Nizam saat dihubungi Bisnis pada Kamis (11/11/2021).

Permendikbudristek 30 /2021, kata Nizam, mengatur secara terrinci langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.

Permendikbud tersebut juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika.

Kalangan perguruan tinggi pun menyambut positif langkah Mendikbud Nadiem Makarim tersebut. Lebih dari 45 akademikus yang berasal dari berbagai kampus menyatakan dukungan terhadap Permendikbudristek PPKS.

"Terbitnya Permendikbudristek 30 merupakan momentum yang penting untuk menyediakan pedoman hukum untuk mengatasi kekerasan seksual, bersama-sama dengan norma-norma lain yang sudah tumbuh di universitas," ujar Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun mewakili para akademisi tersebut dalam keterangannya, Rabu (11/11/2021).

Relasi Kuasa dan Pandangan Konservatif

Dhia menyebut, kekerasan seksual adalah implikasi logis dari relasi kuasa yang timpang termasuk dalam relasi gender di perguruan tinggi. Mereka yang ada pada posisi dominan dalam relasi kuasa dinilai memiliki privilege untuk memanipulasi, menakut-nakuti dan akhirnya menaklukkan korban.

Kekerasan seksual merusak martabat korban dan merontokkan fungsi universitas sebagai tempat pencarian kebenaran. "Aturan dan kode etik mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual selain penting untuk melindungi korban, juga penting untuk membangun kultur akademik yang sehat, berperadaban, setara, dan adil," Dhia.

Penolakan sebagian pihak terhadap aturan anyar ini, ujar Dhia, menggambarkan adanya pandangan konservatif yang kaku, sehingga tidak mampu memahami batas antara norma kesusilaan dengan kekerasan (yang antara lain ditandai dengan persetujuan) dan menolak untuk melihat data kekerasan seksual di kampus yang tinggi.

"Penundaan terhadap upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual hanya akan melanggengkan relasi kuasa purba yang tidak adil. Kami mendorong semua pihak terkait untuk segera melaksanakan Permendikbudristek ini untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus,"ujarnya. D

Diketahui, beberapa ormas Islam dan anggota anggota Dewan menolak Permendikbudristek 30/2021. Mereka menyoroti kalimat di dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa 'tanpa persetujuan korban' sehingga mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent).

Dengan adanya frasa tersebut Permendikbudristek 30 dinilai mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.

“Konteks relasi seksual yang tidak Islami (di luar pernikahan) apa pun bentuknya itu tidak kemudian begitu ada persetujuan korban menjadi benar. Tetap gak benar. Itu faktor materiil terpenting kenapa kami dengan diskusi yang intensif menolak Permen ini,” ujar Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sayuti dalam keterangan persnya secara virtual, Selasa (10/11/2021).

Ilustrasi/Istimewa

Sementara itu, Kalis Mardiasih, aktivis Jaringan Masyarakat Sipil untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menuturkan Permendikbudristek 30 /2021justru sangat mengandung nilai-nilai ke-Islaman.

“Islam menolak kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Islam sangat membenci segala hal yang merendahkan martabat kemanusiaan,” tegas Kalis saat dihubungi Bisnis, Kamis (11/11/2021).

Menurutnya, semestinya seluruh pihak termasuk ormas Islam mendukung, karena dokumen ini berisi tiga komponen utama, yaitu pencegahan kasus, penanganan kasus, dan pemulihan korban. Kalis menilai frasa ‘tanpa persetujuan korban’ sesungguhnya adalah upaya untuk merebut asumsi bahwa korban berkontribusi terhadap peristiwa atau korban setuju pada peristiwa traumatis (kekerasan seksual)  tersebut.

“Frase ‘tanpa persetujuan korban’ ingin menegaskan bahwa hanya dari korbanlah keterangan setuju atau tidak setuju itu,” tutur penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan itu.

“Kata ‘tidak’ dari perempuan selalu dianggap omong kosong. Frase ‘tanpa persetujuan korban’ adalah perlawanan kepada asumsi-asumsi yang tidak melihat perempuan sebagai manusia yang tak mengizinkan ruang tidak aman atas tubuhnya,” lanjutnya.

Kalis mencontohkan logika hukum pidana sangat mengenal istilah persetujuan atau tanpa persetujuan. Seseorang yang yang tidak setuju barang miliknya diambil, itu namanya pencurian.

“Logika-logika tersebut telah diterima sejak lama dan berpihak kepada korban yang mengalami kerugian, kenapa logika tersebut sulit diperjuangkan untuk korban kekerasan seksual?” tanya Kalis.

Langkah Progresif

SETARA Institut menilai Permendikbudristek No. 30  langkah progresif Kemendikbudristek.

“SETARA Institute mengapresiasi langkah Menteri Nadiem yang secara tegas menunjukkan kepeduliannya pada upaya penghapusan kekerasan seksual yang sangat memprihatinkan di lingkungan pendidikan,” jelas  Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute dalam keterangannya tertulisnya, Kamis (11/11/2021).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Rabu (10-3-2021)./Twitter @Kemdikbud_RI

"SETARA Institute juga mengapresiasi Menteri Yaqut yang mendukung dan akan menerapkan Permen PPKS tersebut di lingkungan PTKN," tambahnya.

Dalam konteks serupa, SETARA Institute mendesak DPR RI untuk segera memproses pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) menjadi undang-undang. Publik tentu dapat melihat bahwa draft UU PKS masih stagnan di DPR.

“Mestinya DPR memiliki keberpihakan politik yang progresif terhadap perempuan dan korban kekerasan seksual sebagaimana ditunjukkan dalam Permen PPKS. Permen PPKS seharusnya melecut DPR untuk segera mengesahkan RUU PKS menjadi undang-undang,” tegas Insiyah.

Jadi kita tunggu, apakh DPR akan segera membuat UU untuk memberi daya dukung pada implementasi Permendikbud tentang kekerasan seksual atau justru sebaliknya.

Bersamaan dengan itu, kita juga akan melihat adakah perbaikan atas poin-poin yang dinilai masih kurang dalam pencegahan kekerasan seksual di Tanah Air. (Indra Gunawan, Nancy Junita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.