Mencari Jalan Keluar Pengentasan Angka Backlog 12,7 Juta Rumah

Untuk mengentaskan angka backlog yang mencapai 12,7 juta ini diperlukan solusi dari hulu ke hilir. Sebab jika tidak maka akan terjadi bom waktu angka backlog.

Redaksi

18 Okt 2023 - 19.44
A-
A+
Mencari Jalan Keluar Pengentasan Angka Backlog 12,7 Juta Rumah

Ilustrasi rumah subsidi. /dok Bisnis

Bisnis, JAKARTA – Persoalan backlog atau kurangnya pasokan hunian hingga saat ini belum dapat terselesaikan. Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2021, angka backlog hunian mencapai 12,7 juta hunian. Angka backlog perumahan di Indonesia diperkirakan akan terus bertambah. Hal tersebut terakumulasi oleh tingginya angka kelahiran, besarnya demografi penduduk Indonesia, dan probabilitas penduduk yang tinggal di perkotaan yang akan mencapai 66,6 persen di tahun 2035.

Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan terus membengkaknya angka backlog perumahan disebabkan berbagai faktor. Salah satunya, pembangunan perumahan selama ini masih menghadapi banyak kendala. Hal ini merujuk data backlog yang tidak banyak perubahan dalam satu dekade terakhir dimana berdasarkan data BPS pada 2010 angka backlog hunian mencapai 13,5 juta unit namun di 2020 angka backlog masih berada di level 12,7 juta. Hal ini menujukkan penurunan angka backlog relatif kecil. 

“Faktanya, angka backlog memang tidak banyak berkurang karena sektor perumahan menghadapi banyak hambatan sehingga sulit untuk bertumbuh,” ujarnya dikutip Rabu (18/10/2023). 

Joko menuturkan salah satu tantangan yang dihadapi pengembang yakni terkait perizinan dalam pembangunan perumahan. Hal itu dikarenakan perizinan yang dilakukan pengembang tidak berada di satu instansi tetapi juga melibatkan banyak kementerian dan instansi. Adapun perizinan sektor perumahan terdapat di 5 hingga 6 kementerian yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Dalam Negeri. 

Baca Juga: Merengkuh Asa Kemandirian Pembiayaan Perumahan dan Zero Backlog

Hambatan lainnya yakni adanya inkonsistensi disharmoni tata ruang. Hal ini karena kebijakan lahan sawah dilindungi (LSD) oleh Kementerian ATR/BPN pada lahan perumahan yang sudah memiliki ijin dan bahkan terbangun sesuai dengan rencana tata ruang. 

Dia menilai seharusnya rencana tata ruang menjadi single reference dalam penetapan kawasan perumahan dan permukiman sehingga tidak lagi ditemukan tumpang tindih aturan. 

Joko menambahkan penyebab lain backlog tidak turun karena anggaran perumahan yang sangat terbatas. Saat ini anggaran untuk perumahan tidak sampai 10 persen dari total anggaran Kementerian PUPR pada 2023 mencapai Rp154,36 triliun. Kondisi ini menunjukkan sektor perumahan belum terkelola dan terakomodir secara baik dan belum menjadi program prioritas.

Hal ini juga berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk anggaran subsidi bahan bakar minyak mencapai Rp71,4 triliun atau 2,2 juta liter per hari. Besarnya anggaran tersebut karena banyak masyarakat yang lokasi tempat tinggal jauh dari tempat kerja. 

“Anggaran sebesar itu dipakai pemerintah untuk mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) karena macet yang parah di jalan raya terutama di Jabodetabek,” katanya.

Menurutnya, permasalahan angka backlog ini akan sulit diselesaikan jika tidak ditangani secara tepat. Diharapkan pemerintah dapat menguatkan data statistik untuk mendukung implementasi kebijakan perumahan. Pentingnya big data perumahan sebagai basis data sisi supply dan juga kebutuhan data riil backlog perumahan untuk melihat sisi demand perumahan. 

Untuk dapat menuntaskan backlog perumahan yang angkanya telah mencapai 12,7 juta unit dibutuhkan ruang-ruang yang besar terutama di perkotaan untuk mengantisipasi tingginya urbanisasi. Oleh karena itu, kebutuhan lahan untuk perumahan di perkotaan yang semakin meningkat sangat membutuhkan penataan ruang yang konsisten sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih aturan.

Saat ini pasokan lahan untuk ketersediaan pembangunan perumahan sangat terbatas. Hal ini karena belum terdapat mekanisme dalam pengaturan harga lahan sehingga lahan di perkotaan semakin tidak feasible secara ekonomi untuk dibangun perumahan.

Terlebih, biaya terbesar bahan baku perumahan berasal dari tanah yang kenaikannya tidak terkendali sehingga butuh intervensi kebijakan pertanahan baik dari Kementerian/Lembaga maupun Badan Bank Tanah. Diharapkan keberadaan lembaga Bank Tanah dapat membantu penyediaan lahan bagi sektor perumahan. Oleh karena itu, diperlukan adanya intervensi tata ruang dalam bentuk zona khusus perumahan terjangkau.

Joko berharap komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi backlog perumahan. Terlebih, sektor properti termasuk di dalamnya perumahan memberi kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 14 persen 16 persen, kontribusi terhadap APBN sebesar 9 persen, dan pemasukan asli daerah (PAD) sebesar 30 persen hingga 50 persen.

Besaran angka kontribusi sektor real estat Indonesia ini terbilang kecil jika dibandingkan dengan China yang mencapai 30 persen dan Singapura serta Malaysia yang sudah mencapai lebih dari 20 persen dari PDB.

Sektor properti di Indonesia juga berkaitan erat dengan sekitar 185 industri lainnya di sektor riil yang memiliki daya ungkit bagi perekonomian nasional. Sebagai bisnis padat karya, sektor properti juga menyerap banyak tenaga kerja yaitu sekitar 10 juta hingga 12 juta orang dari berbagai sektor. 

“Industri properti harus menjadi sebuah faktor (pengungkit). Kami memilih satu paradigma baru yang kami sebut Propertinomics,” ucapnya.

Sebagai asosiasi pengembang properti terbesar di Tanah Air, lanjutnya, REI ingin sektor properti berkontribusi terhadap APBN, PDB, PAD dan penyerapan lapangan kerja itu dapat meningkat lagi sehingga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal itu diyakini dapat tercapai terlebih realisasi investasi properti selalu masuk 4 besar penyumbang investasi nasional, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Hitungan sederhana saja, kalau 7.000 anggota REI masing-masing investasi sekitar Rp10 miliar saja, maka nilai investasinya sudah Rp70 triliun. Nah, multiplier effect dari investasi inilah yang ingin kami dorong,” tutur Joko. 

Baca Juga: Pengentasan Backlog Hunian Berpacu Waktu dan Keluarga Baru


Kepala Badan Kajian Strategis DPP REI Ignesjz Kemalawarta menambahkan sinergi antar lembaga kementerian negara selama ini belum optimal. Kondisi itu menyebabkan lemahnya penangganan berbagai kendala di sektor perumahan. Salah satunya, perumahan yang tidak menjadi subsektor PUPR sesuai PP No. 5 tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko. Hal ini tidak dikenal KBLI 68111 Real Estat dalam perizinan berusaha.

Adapun Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) menjadi dasar bagi pemerintah dalam pemberian izin berusaha berbasis risiko sebagai turunan dan amanat dari UU Cipta Kerja.

“Perumahan justru tidak menjadi subjek PUPR. Tetapi yang lain seperti pembangunan jalan, bendungan, dan konstruksi ada,” ujarnya.

Di samping itu, keberlanjutan program antar periode pejabat juga menjadi penghambat capaian sektor perumahan. Selama ini juga terdapat kecendrungan kebijakan yang berubah setelah periode pejabat berakhir sehingga menganggu kontiniuitas program perumahan, baik di pusat maupun daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuhan RPJMN dan aturan turunannya seperti rencana strategis, RPJMD, dan lain-lain sebagai sebagai masterplan yang menjadi acuan pimpinan lembaga pusat dan daerah.

“RPJMN dan aturan turunannya seperti Renstra, RPJMD dan lain-lain sebagai masterplan yang menjadi acuan pimpinan lembaga pusat dan daerah,” kata Ignesjz. 

Baca Juga: Asa Tapera di Tengah Mimpi Masyarakat Punya Rumah Pertama 


Terpisah, Wakil Kepala Divisi Pengelolaan Tanah Badan Bank Tanah Piter Simpony mengatakan badan khusus yang dibentuk pemerintah pusat untuk mengelola tanah negara ini berkontribusi dalam hal penyediaan lahan. Pihaknya telah berkontribusi dalam penyediaan lahan untuk permukiman masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) atau menengah ke bawah di Indonesia

Sejauh ini Badan Bank Tanah memiliki total aset kurang lebih seluas 12.122 hektare lahan yang tersebar di 17 kabupaten turut 13 provinsi. 

Dari jumlah itu, badan khusus yang dibentuk Pemerintah Pusat ini telah ikut dalam penyediaan lahan untuk permukiman MBR atau menengah ke bawah dengan total seluas 402 hektare. 

Penyediaan lahan untuk permukiman MBR itu tersebar di 6 kabupaten/kota di 5 provinsi yakni Kabupaten Asahan di Sumatera Utara (Sumut) sekitar 30 hektare lahan, Kota Tanjung Balai di Sumut sekitar 10 hektare, Kabupaten Purwakarta di Jawa Barat sekitar 10 hektare. 

Kemudian, Kabupaten Jember di Jawa Timur sekitar 2 hektare, Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur sekitar 300 hektare, dan Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah sekitar 50 hektare. Khusus penyediaan lahan untuk permukiman MBR di Penajam Paser Utara dan Poso itu sudah termasuk pula program reforma agraria permukiman.

“Salah satunya, kami turut serta dalam pembangunan perumahan MBR di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (Jateng). Penyediaan lahan untuk perumahan MBR di Cigedog dan Jatirokeh, Brebes, dengan total luas 0,66 hektare,” ucapnya. 

Adapun di dalam proyek perumahan MBR ini, Badan Bank Tanah berkolaborasi dengan Perumnas, BP Tapera, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF, serta PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN. (Alifian Asmaaysi & Yanita Petriella)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Yanita Petriella

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.