Pengentasan Backlog Hunian Berpacu dengan Waktu & Keluarga Baru

Hingga 78 tahun Indonesia merdeka, permasalahan kepemilikan hunian atau backlog keterhunian masih menghantui. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka backlog perumahan yang mencapai 12,71 juta hunian. Pemerintah sendiri menargetkan permasalahan backlog tuntas pada 2045 mendatang.

Redaksi

5 Okt 2023 - 00.32
A-
A+
Pengentasan Backlog Hunian Berpacu dengan Waktu & Keluarga Baru

Rumah subsidi. /dok Bisnis

Bisnis, JAKARTABacklog menjadi masih menjadi masalah menghantui hingga saat. Adapun berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS, angka backlog hunian mencapai 12,71 juta pada 2021. Terlebih angka backlog setiap tahunnya mengalami penambahan mencapai 700.000 hingga 800.000 kepala keluarga baru.

Untuk diketahui, backlog adalah kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Backlog dihitung berdasarkan kebutuhan satu unit rumah untuk satu rumah tangga atau kepala keluarga (KK).

Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menekan angka backlog perumahan mulai dari program Sejuta Rumah, skema pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Bantuan Stimulant Perumahan Swadaya (BSPS), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), rumah susun (rusun) & rumah khusus (rusus) melalui Kementerian PUPR, dan lain sebagainya. 


Baca Juga: Imbas Harga Rumah Subsidi Naik, Alokasi Kuota FLPP Berkurang


Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit mengatakan sektor perumahan khususnya perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) selama ini masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kondisi ini terlihat masih banyaknya masyarakat yang belum memiliki atau belum bertempat tinggal di hunian yang layak dan berkualitas.

“Artinya, sektor perumahan berjalan di tempat, bahkan berjalan mundur. Permasalahan backlog saat ini masih belum teratasi. Bahkan, jumlahnya semakin meningkat. Karena itu kita berharap pemerintah yang akan datang agar lebih memperhatikan hunian rakyat, terutama bagi milenial dan MBR,” ujarnya, Rabu (4/10/2023). 

Terlebih, pemerintah menargetkan dapat mengentaskan permasalahan kepemilikan hunian atau zero backlog pada Indonesia Emas tahun 2045 mendatang. Untuk mencapai target tahun 2045 ini tentu perlu terobosan. Jika tidak, tahun 2045, pada saat Indonesia Emas, 100 tahun Indonesia merdeka, jumlah backlog diperkirakan dapat mencapai 25 juta unit atau 25 juta kepala keluarga tidak memiliki rumah.

Menurutnya, untuk mencapai target backlog tersebut, pemerintah harus memiliki strategi yang jitu. Pasalnya, program sejuta rumah (PSR) yang telah dilakukan Kementerian PUPR sejak 2015 dengan membangun sebanyak 1 juta hunian setiap tahunnya belum mampu mengentaskan angka backlog. Adapun mulai dari 2015 hingga Juli tahun 2023, realiasi capaian angka PSR mencapai 7,98 juta unit.

“Pertanyaannya, mengapa dari 2014 sampai 2023, angka backlog tidak berkurang dan seperti jalan di tempat? Kalau klaim Kementerian PUPR benar, harusnya sekarang sudah berkurang 9 juta sejak 2014. Pemerintah perlu strategi jitu,” katanya. 

Panangian menilai untuk mencapai target zero backlog di tahun 2045, selama 21 pemerintah harus membangun 1,3 juta unit rumah setiap tahunnya. Hal itu berdasarkan perhitungan jumlah angka backlog saat ini ditambah dengan penambahan keluarga baru setiap tahunnya yang mencapai 700.000 hingga 800.000 unit. 

“Yang dibangun sekarang berapa? Hanya 200.000 unit sampai 220.000 unit. Data itu kita tahu dari Bank BTN karena selama ini kan tetap BTN yang menjadi mayoritas untuk men-support KPR FLPP. Capaian itu tidak jauh beda dari capaian pembangunan rumah di zaman Pak Harto, sebelum beliau jatuh yakni 190.000 per tahun,” ucapnya.

Di sisi lain, realisasi kredit pemilikan rumah (KPR) saat ini mencapai Rp662 triliun atau hanya 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Biasanya, sebuah negara yang maju itu selalu dibandingkan rasio KPR terhadap PDB. Malaysia memiliki rasio KPR terhadap PDB sebesar 34 persen, Singapura mencapai 42 persen, dan Vietnam lebih dari 5 persen. 

Dia berharap pemerintah dapat menaikkan alokasi anggaran subsidi perumahan yang saat ini senilai Rp20 triliun menjadi Rp50 triliun per tahun. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan rumah tapak, rumah susun milik, dan rumah di perdesaan. 

“Anggaran subsidi perumahan kita lebih rendah dibandingkan pendidikan yang mencapai Rp570 triliun. Jadi untuk perumahan tidak sampai 3 persen. Bandingkan dengan negara-negara yang sudah maju, atau yang dekat bandingkan dengan Malaysia yang anggaran perumahannya sudah mendekati 10 persen. Ini butuh peningkatan anggaran dari APBN,” tutur Panangian. 

Baca Juga: Mimpi Memerdekakan Indonesia dari Masalah Backlog Perumahan

 



Butuh Bantuan

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto mengatakan penyediaan perumahan rakyat membutuhkan kolaborasi antar sejumlah pihak. Menurutnya, kolaborasi ini sangat penitng karena permasalahan perumahan tidak hanya bisa diselesaikan dengan peran pemerintah saja tetapi juga diperlukan komitmen bersama dalam berkolaborasi dengan sejumlah pihak. 

“Intinya adalah kolaborasi, kolaborasi adalah kunci. Masalah penyediaan perumahan tidak bisa diselesaikan dengan hanya mengandalkan peran pemerintah pusat. Butuh aksi dari pemerintah daerah, swasta, dunia usaha, pendidikan dan lembaga terkait lainnya. Upaya kolaborasi antar-stakeholder perumahan agar bahu-membahu menyediakan rumah yang layak, berkelanjutan, dan terjangkau untuk semua,” ujarnya. 

Pihaknya tak menampik terdapat tantangan dalam penyediaan perumahan di Indonesia terutama backlog masih sedemikian besar. Namun demikian, Pemerintah bukan mendorong kepemilikan atau mengatasi backlog tetapi seluruh masyarakat dapat tinggal di hunian yang layak.

Iwan juga berencana mengkaji ulang angka jumlah backlog perumahan di Indonesia. Hal ini seiring data susenas Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 tercatat sebanyak 12,7 juta rumah tangga belum memiliki rumah. 

Selama ini tidak terdapat rincian data angka backlog seperti nama, lokasi tempat tinggal, dan usia. 

“Itu secepatnya konsolidasi, yang penting buka datanya dulu, metodologi datanya seperti apa, akurasi datanya gimana. Kalau 12,7 saya sebenarnya ingin tahu itu by name by address-nya di mana itu kepemilikannya. Kami ingin memastikan,” tuturnya. 

Dia menilai kemungkinan besar angka kesenjangan kepemilikan rumah tersebut tidak mencapai 12,7 juta. Untuk itu, pihaknya berkomitmen untuk memperdalam metodologi yang digunakan dalam pengumpulan data backlog perumahan tersebut.

Terlebih lagi, lanjutnya, saat ini banyak generasi milenial yang memang belum berencana untuk menggenggam status kepemilikan rumah karena berbagai alasan. Salah satunya, yakni dari budaya kerja yang berubah-ubah yang mengharuskan pindah tempat tinggal secara berkala.

Oleh karena itu, diperlukan konsolidasi untuk segera melakukan proses validasi data guna mendukung upaya realisasi pengadaan rumah berjalan optimal.

Saya juga belum tahu berapa lama [proses validasi data backlog akan berlangsung], tapi kita secepatnya akan konsolidasi, yang penting harus buka datanya dulu metodologi datanya seperti apa kemudian akurasi datanya bagaimana,” katanya.

Menurut Iwan, proses menekan backlog perumahan dinilai bukanlah pekerjaan mudah. Pasalnya, Kementerian PUPR mencatat bahwa saat ini terdapat penambahan 700.000 hingga 800.000 keluarga baru setiap tahunnya.  

Baca Juga: Menakar Efektivitas Sewindu Program Sejuta Rumah Atasi Backlog

 



Harga Rumah Tinggi

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono Basuki Hadimuljono tak menampik terdapat tantangan besar untuk mengatasi backlog kepemilikan rumah karena pertumbuhan keluarga baru yang tinggi. Namun demikian, pemerintah menghadapi tantangan besar untuk mengatasi backlog kepemilikan rumah karena pertumbuhan keluarga baru yang tinggi.

“Kami juga telah memberikan dukungan fasilitas pembiayaan perumahan melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan lainnya,” ucapnya.

Pihaknya terus berupaya menekan angka backlog hunian mencapai 12,7 juta unit. Salah satunya dengan bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Terlebih, salah satu visi Indonesia pada 2045 yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui hunian layak dan menekan angka backlog yang ada.

“Saya kalau itu sih [siasat mengurangi backlog menunggu Bappenas saja. Karena kalau sampai 2045 itu perencanaannya makro, jadi itu nanti kita ikuti strategi yang disiapkan dari Bappenas,” tuturnya. 

Menurutnya, salah satu yang mendorong terjadinya backlog yakni karena harga rumah yang terlalu tinggi. Di sisi lain, kemampuan beli masyarakat bergantung pada pertumbuhan ekonomi. Apabila pertumbuhan ekonomi bagus, masyarakat pasti membutuhkan hunian. Namun, harga rumah kini semakin tidak terjangkau, sehingga perlu ditunjang oleh subsidi pembiayaan perumahan.

“Anak-anak (generasi muda) sekarang tidak bisa beli rumah, walaupun sudah bekerja, karena (harga) tidak terjangkau,” katanya.

Dengan tren pertumbuhan ekonomi, Basuki menilai pemberian insentif bebas PPN masih bisa ditingkatkan untuk kategori rumah seharga maksimal Rp300 juta. Pihaknya akan membicarakan insentif tersebut dengan kementerian keuangan.

“Nanti akan saya bicarakan dengan Menteri Keuangan,” ujar Basuki.  

Baca Juga: Kala Jokowi Minta Pengembang Turut Bantu Atasi Backlog Hunian

(Alifian Asmaaysi & Yanita Petriella)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Yanita Petriella

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.