Menimbang Potensi Pemulihan Emiten Sektor Properti di 2022

Sektor properti masih menjadi sektor dengan sentimen terlemah di pasar modal sepanjang 2021. Namun, tertinggalnya pemulihan saham-saham di sektor ini justru membuka ruang yang lebih lebar lagi pertumbuhan harganya di masa depan.

Annisa Kurniasari Saumi & Mutiara Nabila

12 Des 2021 - 18.29
A-
A+
Menimbang Potensi Pemulihan Emiten Sektor Properti di 2022

Ilustrasi investasi properti dan real estat/Freepik

Bisnis, JAKARTA — Kendati dibanjiri banyak insentif, sektor properti masih menjadi sektor dengan kinerja bisnis yang lemah. Namun, sektor ini berpotensi untuk berkinerja lebih menanjak tahun depan jika proses pemulihan ekonomi berjalan dengan lancar.

Lemahnya sentimen di sektor properti tahun ini terkonfirmasi dalam indeks sektor ini di pasar modal, yakni IDX Sector Property & Real Estate. Meskipun IHSG sudah menguat hingga 11,27 persen year-to-date (YtD) hingga Jumat (10/12) pekan lalu, indeks properti ini justru masih turun 15,38 persen YtD.

Dengan pelemahan sedalam itu menjadikan indeks sektor ini sebagai indeks sektoral dengan kinerja terburuk tahun ini.

Padahal, sektor ini menerima cukup banyak insentif tahun ini, mulai dari penurunan suku bunga, pelonggaran uang muka kredit pemilikan rumah (KPR), insentif pajak, hingga pelonggaran batas minimum pemberian kredit (BMPK) dan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk penyaluran kredit oleh perbankan.

Dengan pelemahan yang sudah cukup dalam ini menjadikan ruang bagi kenaikan kinerja saham-saham properti menjadi cukup lebar, sebab sektor ini menjadi yang paling tertinggal di saat sektor-sektor lain sudah pulih.

BRI Danareksa Sekuritas mempertahankan rekomendasi overweight terhadap sektor saham properti. BRI Danareksa Sekuritas masih melihat outlook marketing sales yang positif, yang diharapkan tumbuh 13 persen di 2022.

Analis BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano mengatakan bahwa rekomendasi BRI Danareksa Sekuritas didukung oleh suku bunga rendah, LTV yang tinggi atau uang muka KPR yang rendah, dan permintaan tinggi untuk properti residensial.

"Pilihan utama kami di sektor ini adalah PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE). Risikonya, menurut pandangan kami adalah kenaikan rate [suku bunga] yang cepat, kenaikan biaya bahan bangunan, dan pengetatan peraturan," kata Stefano dalam risetnya, dikutip Minggu (12/12).

Stefano memperkirakan, likuiditas masih tetap tinggi pada 2022, didukung oleh suku bunga rendah. Kendati suku bunga BI 7-DRRR naik tahun depan, BRI Danareksa meyakini pengaruhnya akan minim dan terjadi secara bertahap terhadap likuiditas.

Pihaknya juga mencatat perbedaan suku bunga antara KPR dan deposito masih besar, sehingga memungkinkan ruang untuk KPR yang lebih murah.

"Kami memperkirakan penjualan unit residensial akan tetap tinggi pada tahun 2022, meskipun lebih rendah dari pada 2021," ujarnya.

Menurutnya, rumah tapak akan terus mendominasi penjualan pemasaran, dengan kenaikan yang juga terjadi di segmen high-rise karena masyarakat akan kembali bekerja dari kantor.

"Preferensi kami untuk pengembang rumah tapak masih tidak berubah. Preferensi kami juga fokus pada pengembang properti area Jabodetabek," ucapnya.

Adapun BRI Danareksa Sekuritas memiliki rekomendasi buy di target price (TP) Rp1.450 untuk BSDE, Rp1.300 untuk SMRA, Rp1.600 untuk CTRA, Rp230 untuk ASRI, dan hold di Rp520 untuk PWON.

Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia, Edward Tanuwijaya, mengatakan agregat penjualan selama sembilan bulan 2021 telah meningkat pada tingkat yang sama dengan marketing sales antara tahun 2016 dan 2020.

"Lebih banyak proyek yang diluncurkan pada kuartal IV/2021, menunjukkan pertumbuhan penjualan secara kuartalan," kata Edward dalam risetnya.

Menurutnya, saat ini pengembang properti seperti BSDE, PT Ciputra Development Tbk. (CTRA), dan PT Summarecon Agung Tbk. (SMRA), siap untuk memberikan, bahkan melebihi ekspektasi marketing sales tahun penuh 2021 yang diproyeksikan.

Pasalnya, marketing sales emiten-emiten properti tersebut hingga sembilan bulan 2021 telah mencapai 79-86 persen dari perkiraan tahun penuh 2021 Korea Investment Sekuritas Indonesia.

Edward juga menyebut, perpanjangan insentif pemerintah dalam bentuk penghapusan atau pengurangan PPN untuk transaksi properti pasar primer, berpotensi mendorong penjualan pemasaran pengembang properti melampaui asumsi pertumbuhan konservatif 3-8 persen secara year-on -year (YoY).

Suku bunga yang mencapai titik rendah sepanjang masa, menurutnya juga mendukung untuk peningkatan permintaan properti. Selain itu, suku bunga deposito yang turun, mulai membuat investasi properti kembali menjadi alternatif investasi.

Korea Investment & Sekuritas Indonesia pun mempertahankan rekomendasi overweight di sektor saham properti. Pemulihan penjualan marketing sales yang luar biasa membuka jalan bagi fundamental yang lebih baik untuk saham properti.

"BSDE tetap menjadi pilihan utama kami di sektor ini, diikuti oleh SMRA dan CTRA berdasarkan potensi kenaikannya," ucap Edward.

Korea Investment & Sekuritas Indonesia pun merekomendasikan buy untuk saham BSDE dengan target price Rp1.550, CTRA di harga Rp1.325, dan SMRA di harga Rp1.110.

TAHUN PEMULIHAN

Pengamat properti Panangian Simanungkalit mengatakan bahwa pada 2022 akan terjadi pemulihan di sektor properti karena ekonomi bertumbuh lebih tinggi.

“Walaupun kuartal IV/2021 belum diumumkan, tetapi diperkirakan [pertumbuhan ekonomi] 4,5 persen. Jadi, kalau ditotal rata-rata sekitar 4 persen, keadaan sekarang harusnya lebih baik dari 2019 setelah resesi,” ujarnya kepada Bisnis.

Panangian mengatakan properti mengikuti ekonomi. Jika ada perbaikan pertumbuhan ekonomi tahun depan seperti perkiraan ekonomi Bank Indonesia yang sebesar 5,5 persen, berarti akan ada peningkatan hampir 40 persen jika dibandingkan dengan capaian 4 persen tahun ini.

Dengan adanya pemulihan ekonomi secara keseluruhan, sektor properti bisa tumbuh 15 persen dibandingkan 2021. Ini adalah kabar baik untuk properti karena bersifat jangka panjang. Sebab, tren penurunan properti umumnya berlangsung lama, tetapi ketika naik akan terus naik.

“Primadona tetap didominasi oleh perumahan, itu pun bukan apartemen tapi rumah tapak. Segmen harga yang masih dominan 2022 karena pemulihan baru terjadi itu di atas Rp160 juta, yang nonsubsidi di bawah Rp1 miliar. Itu memenuhi 70 persen permintaan dari pasar,” ujarnya,

Menurutnya, perusahaan yang punya produk rumah tapak bisa mencatat kinerja yang lebih baik tahun depan, dengan harga di kisaran harga Rp160 juta - Rp1 miliar.

“Artinya ada segmen di bawah Rp500 juta di atas Rp160 juta, kemudian ada segmen di atas Rp500 juta di bawah Rp1 miliar. Sementara itu, yang 30 persen ada di atas Rp1 miliar dan di bawah Rp2 miliar. Di atas 2 miliar belum terlalu hidup tahun depan, banyak pengusaha yang masih kosolidasi, belum melihat investasi properti,” imbuhnya.

Kemudian, apartemen juga lebih baik dari tahun ini. Namun, karena pangsa pasar apartemen tidak terlalu banyak, permintaannya juga tak akan tumbuh signifikan.

“Contoh perumahan tahun depan permintaannya diperkirakan di atas 50.000 – 75.000 unit, untuk segmen Rp160 juta - Rp1 miliar. Tapi kalau apartemen mungkin hanya 10 persen di 5.000 – 7.000 unit,” kata Panangian.

Adapun, terkait insentif PPN, Panangian menilai pengaruhnya relatif minim terhadap permintaan properti. “Karena hanya diberikan kepada unit yang sudah jadi dan biasanya harganya di atas Rp1 miliar. Jadi, jumlahnya nggak banyak, cuma 30 persen dari total permintaan,” ujarnya

Menurutnya, kebijakan Bank Indonesia seperti membuat program uang muka atau DP 0 persen, itu yang lebih signifikan mendorong orang mengambil KPR. Sementara itu, suku bunga juga akan terus ditekan.

Panangian mengatakan tahun depan pasar properti masih harus menghadapi hambatan dari ketidakpastian efek dari Omicron. Selain itu, pasar juga masih terombang-ambing oleh kemungkinan Federal Reserve AS menaikkan suku bunga.

“Itu yang membuat kekhawatiran bagi investor, kalaupun terjadi selama BI menahan BI Ratenya 3,5 itu tidak masalah. Kalau naik ke 3,75 juga masih tidak masalah. Suasana properti sudah lebih kondusif sekarang, pemulihannya tidak akan tertunda hanya karena kenaikan suku bunga,” katanya.

Namun, adanya kenaikan suku bunga dan ketidakpastian tentu akan sedikit banyak berpengaruh menekan permintaan.

“Misalnya maksimal demand jadi 75.000 tahun depan kalau tidak ada faktor penekannya, tapi kalau ada juga bukan berarti tidak tumbuh dari 2021. Pemulihan ini the show must go on, tidak ada yang menahan, kurvanya sudah menukik ke atas. Perusahaannya emitennya siap naik lagi, dan sudah kelihatan saham-saham properti sudah mulai naik seperti, BSDE, CTRA, SMRA, PWON juga,” jelasnya.

Dari sisi investasi, Panangian menilai kenaikan harga komoditas juga akan berpengaruh pada minat asing membeli saham properti

“Asing melihat kalau harga komoditas booming, biasanya properti akan ikut booming, itu yang terjadi ada 2010 – 2013. Jadi, orang merasa properti akan booming, mereka siap-siap beli-beli saham properti sekarang, siap-siap tahun depan cuan,” ujarnya.

Terlebih, efek dari Covid-19 kepada kinerja beberapa pengembang besar sudah tak terlihat. Beberapa pengembang seperti Ciputra, BSD, Pakuwon, dan Summarecon sudah tumbuh positif pada kuartal III/2021.

Terkait sahamnya, pada penutupan perdagangan terakhir pada Jumat (10/12), saham SMRA naik 15 poin atau 1,70 persen ke Rp895. Kemudian, saham BSDE naik 5 poin atau 0,48 persen ke Rp1.045. Sementara itu, saham CTRA turun 5 poin atau 0,47 persen ke Rp1.055.

Tim Analis Samuel Sekuritas Indonesia merekomendasikan beli saham BSDE dengan target harga Rp1.350, saham SMRA dengan target harga Rp1.200, dan CTRA dengan target harga Rp1.3690.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.