Bisnis, JAKARTA — Siapa yang memiliki kandungan logam dalam cadangan yang cukup komersial saat ini bakal “menguasai dunia” pada pertengahan tahun ini. Sama seperti minyak bumi beberapa dekade yang lalu, negara mana yang memilikinya menjadi kaya raya setelahnya.
Bedanya saat ini penggunaan minyak bumi dan energi fosil lainnya perlahan-lahan mulai ditinggalkan dan dunia beralih ke energi ramah lingkungan, sedangkan mineral logam mulai naik daun karena menjadi bahan baku untuk memproduksi baterai untuk kendaraan listrik.
Maka, berduyun-duyunlah investor yang berlimpah uang memburu komoditas tambang tersebut ke sumbernya, terutama dari China yang bahkan menggarap bisnis dari hulu ke hilir. Indonesia salah satu dari 10 negara di dunia yang memiliki cadangan dan produksi mineral logam terbesar.
"Mengapa Indonesia menjadi daya tarik investasi pertambangan? Menurut United States Geological Survey, cadangan nikel kita adalah nomor satu dunia, 23 persen cadangan nikel dunia ada di perut bumi Indonesia. Untuk produksi nikel juga Indonesia nomor 1. Kemudian ada bauksit yang menempati nomor 6 pada jumlah cadangan dan produksi dunia," ujarnya seperti dikutip dari laman Kementerian ESDM, Kamis (25/11/2021).
Selain itu, cadangan tembaga Indonesia menempati posisi 7 dan produksinya ada di posisi 12 dunia. Komoditas emas berada di posisi 5 pada potensi dan 6 pada produksi.
Produksi timah Indonesia mencapai 17% dari cadangan dunia atau berada pada posisi dua, begitu pula dengan produksinya.
Di samping komoditas-komoditas tersebut, Arifin juga mengungkapkan bahwa masih ada logam tanah jarang dan litium yang potensinya sangat besar, tetapi belum dapat diproduksi karena Indonesia belum memiliki teknologi untuk memisahkan dan memurnikan.
Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia memperkirakan permintaan terhadap sumber daya mineral logam akan mengalami peningkatan seiring dengan dorongan dunia terhadap pengembangan energi baru terbarukan.
- Ketua Umum Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia (Prometindo) Bouman T. Situmorang mengatakan bahwa kebutuhan dasar mineral logam akan meningkat hingga 2050. Salah satunya disebabkan oleh menurunnya penggunaan kendaraan konvensional pada 2040 dan masifnya produksi kendaraan listrik.
Peralihan penggunaan kendaraan rendah emisi tersebut turut mendongkrak kebutuhan logam, terutama tembaga dan nikel sebagai bahan baku baterai.
Sebagai perbandingan, kendaraan berbahan bakar fosil umumnya membutuhkan mineral logam sekitar 23 kilogram. Sementara itu, kendaraan listrik memerlukan bahan baku logam lebih besar, yakni 89 kilogram per unit.
“Peningkatan tajam untuk mobil listrik itu akan menambah demand pada logam,” katanya saat Bisnis Indonesia Business Challenges, Kamis (16/12/2021).
Lebih lanjut, kebijakan dunia pada pengembangan energi baru terbarukan dinilai turut mengerek permintaan logam. Pasalnya, sejumlah pembangkit listrik memerlukan bahan baku logam dalam jumlah signifikan. Kondisi itu membuat permintaan terhadap sumber daya tersebut meroket.
Bouman memproyeksikan kebutuhan logam besi akan meningkat dari 100 juta ton menjadi 350 juta ton pada 2050. Kemudian, kebutuhan tembaga naik dari 15 juta ton menjadi 45 juta ton.
“Kebutuhan logam dengan penerapan energi baru terbarukan itu akan meningkat tajam di seluruh dunia,” tuturnya.