Swiss Terima CPO RI, Akankah Uni Eropa Mengikuti?

Penerimaan kelompok negara European Free Trade Association atau EFTA yang meliputi Islandia, Liechtenstein, Norwegia dan Swiss terhadap CPO dan produk turunannya asal Indonesia masih perlu dikaji lebih lanjut. 

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

8 Des 2021 - 14.48
A-
A+
Swiss Terima CPO RI, Akankah Uni Eropa Mengikuti?

Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis, JAKARTA — Keberterimaan produk berbasis minyak kelapa sawit asal Indonesia di pasar Swiss dinilai tidak akan menjamin akses komoditas tersebut ke seluruh negara anggota EFTA kendati Indonesia telah memiliki pakta kerja sama ekonomi komprehensif dengan blok tersebut.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan penerimaan kelompok negara European Free Trade Association (EFTA) yang meliputi Islandia, Liechtenstein, Norwegia dan Swiss terhadap turunan crude palm oil (CPO) Indonesia masih perlu dikaji lebih lanjut. 

“EFTA menerima CPO kita sepertinya belum definitif ya, itu kan baru statement dari [Kementerian Perdagangan]. Kita harus melihat formalnya seperti apa, apakah menerima dengan precondition [bersyarat] atau yang lain,” kata Fithra, Rabu (8/12/2021). 

(BACA JUGA: Manipulasi Impor Baja Gerogoti Upaya Penghiliran Mineral)

Fithra mengatakan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation Uni Eropa yang menghentikan impor CPO cenderung ditujukan untuk memproteksi produk dalam negeri yang sejenis. 

“Mereka sebenarnya melakukan perlindungan terhadap produk dalam negerinya seperti minyak biji bunga matahari dan yang lainnya, sementara CPO kita terbilang lebih murah dibandingkan dengan produk-produk mereka. Mereka lebih nontarif barrier,” kata dia. 

(BACA JUGA: Langkah Maju CPOPC Wujudkan Industri Sawit Berkelanjutan)

Dengan demikian, kata dia, pernyataan Kemendag ihwal penerimaan CPO Indonesia dari negara kelompok EFTA itu memiliki signifikansinya di sidang kedua (second substantive meeting) sengketa DS 593 terhadap Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) akhir tahun ini.

“Kalau pernyataan ini bisa dijadikan pegangan, ada dua kasus yang berbeda dari sisi kontrol dan perlakuan. Kalau ada perbedaan padahal standarnya sama berarti Uni Eropa diskriminatif,” kata dia. 

Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga sebelumnya menyatakan empat anggota EFTA menerima komoditas kelapa sawit Indonesia yang saat ini tengah mengalami diskriminasi dari Uni Eropa. 

“Di EFTA itu salah satunya ada Swiss. Kami memberikan pesan yang jelas kepada publik Eropa di mana salah satu produk kita kelapa sawit didiskriminasikan oleh Uni Eropa. Kebetulan saya ketua delegasi yang menuntut Uni Eropa di WTO,” tegasnya, Selasa (7/12/2021). 

Jerry mengatakan negara kelompok EFTA itu terkenal kritis ihwal isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, Uni Eropa mesti mesti meninjau ulang kebijakan diskriminatif yang diterapkan pada komoditas CPO asal Indonesia. 

“Uni Eropa harus melihat itu. EFTA pasar yang critical, salah satunya Swiss, justru menerima [CPO] kita dan menyambut baik kerja sama melalui Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement [CEPA]. Ini bukan soal komersial bisnis regional saja, tetapi juga politik soal signifikansi Indonesia di mata dunia,” tuturnya. 

Untuk diketahui, Indonesia bersama Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss telah mengimplementasikan IE-CEPA sejak Senin (1/11/2021). 

Data yang dihimpun Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa perdagangan Indonesia dengan EFTA masih didominasi Swiss.

Sekitar 96 ekspor Indonesia ke EFTA yang setara dengan US$1,07 miliar selama Januari sampai Agustus 2021 masuk ke Swiss. Sementara itu, 71 persen impor Indonesia dari EFTA juga berasal dari Swiss, nilainya mencapai US$358,9 juta. 

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket belum lama ini turut mengatakan Komisi Uni Eropa sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada Juni 2021.

Peninjauan ulang tersebut dengan melakukan penelitian ilmiah yang ekstensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal. 

Vincent meyakinkan bahwa dampak terdapak industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah. 

RED II merupakan hasil amandemen dari kebijakan sebelumnya memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung.

Amandemen ini mengecualikan sawit karena dianggap beresiko tinggi menyebabkan deforestasi. Padahal penelitian Union of Conservation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan.

“Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel. Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030,” ujar Vincent.

Perundingan terus berlangsung, baik antarnegara maupun tingkat kawasan. Indonesia maupun Uni Eropa mendorong kerja sama yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral serta mengharapkan adanya standar yang adil untuk semua minyak nabati. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.