Tak Kunjung Rampung, Apa Kabar Nasib Vaksin Merah Putih?

Biaya yang diperlukan untuk membangun infrastruktur penunjang pengembangan Vaksin Merah Putih ditaksir mencapai Rp50 miliar hinga Rp100 miliar per fasilitas.

22 Agt 2021 - 19.42
A-
A+
Tak Kunjung Rampung, Apa Kabar Nasib Vaksin Merah Putih?

Peneliti beraktivitas di ruang riset Vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/8/2020). Vaksin COVID-19 buatan Indonesia yang diberi nama Vaksin Merah Putih tersebut pada awalnya ditargetkan selesai pada pertengahan tahun 2021./ANTARA FOTO-Dhemas Reviyanto

Bisnis, JAKARTA — Penuntasan pengembangan serta produksi 400 juta dosis Vaksin Merah Putih (VMP) terancam kembali mundur dari target, seiring dengan belum rampungnya fasilitas BSL-3 untuk menguji keamanan vaksin Covid-19 buatan lokal tersebut.

Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman memperkirakan pengadaan fasilitas BSL-3 baru rampung akhir 2021.

Adapun, biaya yang diperlukan untuk membangun infrastruktur penunjang pengembangan vaksin tersebut ditaksir mencapai Rp50 miliar hinga Rp100 miliar per fasilitas.

Nominal tersebut belum termasuk biaya sertifikasi senilai Rp1 miliar per fasilitas setiap tahunnya.

Sekadar catatan, BSL-3 atau animal biosafety level 3 adalah fasilitas laboratorium yang digunakan untuk melakukan uji coba terhadap spesies berjenis primata.

BSL-3 merupakan infrastruktur penunjang yang diperlukan dalam pengembangan vaksin Covid-19, termasuk VMP.

Sebelumnya, Badan Ristek dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkirakan fasilitas tersebut baru bisa dituntaskan pada kuartal I/2022.

Namun, Kepala LBM Eijkman Profesor Amin Soebandrio mengatakan BSL-3 untuk pengembangan VMP yang menggunakan sistem modular, memungkinkan untuk siap dalam kurun 3—4 bulan. Dengan catatan, proses administrasi bisa berlangsung cepat.

"BSL-3 direncanakan selesai akhir tahun ini. Kalau proses administrasinya bisa cepat, dalam waktu 3—4 bulan bisa disiapkan," ujar Amin kepada Bisnis, Minggu (22/8/2021).

Peneliti beraktivitas di ruang riset Vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/8/2020)./ANTARA FOTO-Dhemas Reviyanto

Uji klinis VMP terhadap hewan primata pun, sambungnya, bisa dimulai akhir tahun ini. 

Dengan demikian, pada Juli atau Agustus 2022 VMP diharapkan sudah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Amin mengungkapkan proses administrasi pembuatan BSL-3 masih dilakukan dengan Kementerian Keuangan, bersamaan dengan proses konsultasi dengan badan pemberi sertifikasi yang berlokasi di Singapura.

Sebenarnya, kata Amin, Indonesia sudah memiliki fasilitas BSL-3 untuk uji coba terhadap primata di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Namun, saat ini kondisi fasilitas tersebut sudah tidak memenuhi syarat karena sudah lama tidak digunakan, padahal BSL-3 merupakan infrastruktur uji coba pengembangan vaksin yang harus digunakan secara terus-menerus.

Adapun, fasilitas BSL-3 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Cibinong yang sedang dibuat di bawah pengawasan BRIN dikatakan memiliki kapasitas uji coba terhadap sekitar 20—30 ekor primata.

Amin berharap uji praklinis bisa rampung akhir tahun ini, sehingga uji klinis VMP bisa segera dilanjutkan.

"Perlu waktu sekitar 3 kali 6 bulan untuk uji klinis. Namun, dalam situasi kali ini dimungkinan untuk dilakukan secara paralel, sehingga waktu yang diperlukan hanya sekitar 8 bulan," ujarnya.

Dengan perhitungan tersebut, Amin meyakini pada rentang Juli—Agustus 2022 BPOM sudah memberikan izin penggunaan darurat terhadap VMP sehingga bisa digunakan pada semester II/2022 untuk kebutuhan dalam negeri.

PROGRES PENGEMBANGAN

Terkait dengan pengembangan VMP sendiri, Eijkman menyebut progresnya saat ini telah melalui pengawasan secara menyeluruh.

Pengawasan dilakukan dari proses pembibitan sampai dengan sertifikasi infrastruktur pengembangan yang saat ini sedang diupayakan.

Amin menjelaskan melalui proses pembibitan, uji praklinis, dan bersiap melakukan uji coba klinis; LBM Eijkman bersama dengan pemerintah sedang menyusun perencanaan pembuatan badan sertifikasi untuk BSL-3.

"Kami dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) sudah menyusun rencana pembentukan badan sertifikasi untuk vaksin buatan dalam negeri," ujar Amin.

Saat ini, biaya yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendapatkan sertifikasi tersebut senilai Rp1 miliar per tahun.

Di tempat terpisah, Juru Bicara Kementerian Kesehatan untuk penanganan Covid-19 Siti Nadia Tarmidzi menyebut pemerintah masih menunggu rampungnya uji klinis fase ketiga serta informasi mengenai kapasitas produksi VMP.

"Kami tunggu selesai uji kliinis tahap III dan juga kapasitas produksinya berapa banyak. Kami berharap pada 2022 VMP sudah bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujarnya saat dihubungi, Minggu (22/8/2021).

Sebelumnya, pemerintah menargetkan Vaksin Merah Putih bisa mulai digunakan pada awal 2022, asalkan tahap uji klinis berjalan sesuai dengan prosedur dan izin edar dari BPOM diperoleh sebelum kuartal I/2022.

Dalam perkembangannya, sejumlah instansi terlibat dalam produksi VMP termasuk LBM Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Indonesia (UI), Institute Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Gadjah Mada (UGM), PT Kalbe Farma Tbk., Biotis, dan Tempo Scan.

Sentra vaksinasi di Jawa Barat./Istimewa

KATALIS PERDAGANGAN

Dari tinjauan industri, perkembangan VMP digadang-gadang mampu menjadi salah satu katalis positif bagi pergerakan neraca dagang Indonesia ke depan.

Ekonom Senior Indef Aviliani mengatakan kehadiran vaksin buatan dalam negeri tersebut diyakini bakan menekan impor dari sisi produk kesehatan.

"Tidak adanya impor vaksin dengan hadirnya Vaksin Merah Putih akan berpengaruh bagi perekonomian Tanah Air. Sebab, impor bisa ditekan sehingga efeknya positif terhadap neraca dagang RI ke depan," ujarnya.

Menimbang pengaruh yang diperkirakan cukup signifikan terhadap perekonomian, Aviliani berharap pemerintah ke depannya bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan lain dari dunia kesehatan sehingga ketika terjadi pandemi Indonesia tidak lagi terbebani biaya impor vaksin.

Pemerintah, sambungnya, harus melakukan riset dari jauh-jauh hari terkait dengan kemungkinan-kemungkinan semacam pandemi Covid-19 dan mengambil langkah cepat, baik untuk pengembangan vaksin ataupun obat-obatan.

"Jangan ketika sudah ada musibah baru dibikin pabriknya. Jadi, harus ada planning juga agar pengeluaran negara tidak terbebani dengan adanya keharusan mengimpor," sambungnya.

Sebagaimana diketahui, sejumlah produk nonmigas memperlihatkan kenaikan impor yang besar pada Juli, meskipun impor secara total mengalami penurunan pada bulan tersebut. Vaksin menjadi salah satu penyumbang kenaikan terbesar.

BPS mencatat produk farmasi dalam kelompok kode HS 30 mengalami kenaikan terbesar, yakni bertambah US$185,5 juta secara month to month (mtm). Kenaikan terbesar berasal dari pemasukan vaksin.

Untuk impor nonmigas yang mengalami peningkatan adalah pada HS 30 yaitu produk farmasi, bertambah US$185,5 juta. Kalau dilihat lebih detail, peningkatan terbesar ini karena peningkatan impor vaksin sebesar US$150 juta.

Jika melihat dari negara asal, Margo menjelaskan bahwa China, Jepang, dan Spanyol menjadi pemasok utama. China menjadi kontributor terbesar, meski belum diperinci berapa nilainya.

Merujuk data BPS, impor produk farmasi kelompok kode HS 30 pada Juni 2021 mencapai US$278,74 juta. Artinya, nilai impor pada Juli mencapai nilai sekitar US$464,24 juta. Jadi, dari US$185,5 juta ini, senilai US$150 juta adalah impor vaksin.

Reporter : Rahmad Fauzan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.