Ekspor Indonesia ke Swiss Terus Meningkat, Waspadai Rantai Pasok

Kemacetan rantai pasok yang terjadi saat ini berpotensi mempengaruhi arus perdagangan Indonesia ke Swiss. Hal itu dapat mempengaruhi harga barang dan terlambatnya pengiriman sehingga memunculkan kekhawatiran adanya pengalihan jalur produsen.

Saeno

26 Nov 2021 - 15.48
A-
A+
Ekspor Indonesia ke Swiss Terus Meningkat, Waspadai Rantai Pasok

Dubes RI untuk Swiss dan Liechtenstein berfoto bersama Ketua Kadin Indonesia Arsjad Rasjid dan Ketua Kadin Indonesia Komitee Swiss dan Liechtenstein Francis Wanandi saat kunjungan kerja ke Swiss dalam rangka implementasi Indonesia-EFTA CEPA dan kerja sama pendidikan vokasi dan inovasi antara Swiss - Indonesia (5-12 November 2021)./KBRI Bern

Bisnis, BERN - Kinerja perdagangan antara Indonesia dan Swiss mencatatkan surplus yang terus meningkat.  Selama periode Januari-September 2021, surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap Swiss mencapai US$ 1,13 miliar atau Rp. 16,10 triliun. Di sisi lain, gangguan rantai pasok berpotensi membuat Swiss beralih ke negara lain.

Berdasarkan keterangan resmi KBRI Bern yang diterima Kamis (25/11/2021) total nilai ekspor periode Januari-September 2021 mencapai US$ 1,41 miliar atau Rp.19,99 triliun. Sementara itu, impor pada periode tersebut mencapai US$ 273,89 juta atau Rp. 3,89 triliun.

Swiss Federal Customs Administration/FCA mencatat bahwa nilai ekspor Indonesia ke Swiss pada triwulan III (Juli-September 2021) mencapai US$ 432,72 juta dan impor Indonesia dari Swiss sebesar US$ 86, 94 juta. Sebelumnya, pada triwulan II (April-Juni 2021), nilai ekspor Indonesia ke Swiss mencapai US$711,94 juta dan impor Indonesia dari Swiss sebesar US$ 90,88 juta.

Surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap Swiss terutama dipengaruhi oleh kontribusi dari ekspor 10 komoditas yakni logam mulia, perhiasan/permata (HS 71), alas kaki (HS 64), produk tekstil bukan rajutan (HS 62), produk tekstil rajutan (HS 61), perlengkapan elektrik (HS 85), furniture (HS 94), kopi (HS 0901), mesin turbin/suku cadang (HS 84), minyak atsiri (HS 3301.29), dan kimia organik (HS 29).

Surplus tersebut diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan pertumbuhan ekonomi Swiss yang cukup kuat pada tahun 2021 ini.

Swiss State Secretariat for Economic Affairs SECO memperkirakan  ekonomi Swiss akan tumbuh sebesar 3.2 persen pada tahun 2021, dan diprediksi akan tumbuh sebesar 3.6 persen pada 2022. Namun, Swiss Economic Institute ETH Zurich, KOF, memprediksi bahwa ekonomi Swiss baru akan sepenuhnya normal pada tahun 2023. Tingkat inflasi dan masalah global supply chain diprediksi berpotensi memperlambat ekonomi Swiss.

KOF juga melaporkan bahwa inflasi di Swiss naik sebesar +0.5 persen dalam beberapa bulan terakhir, dan diperkirakan akan naik sebesar +0.8 persen pada tahun 2022 dan +0.4 persen di tahun 2023.

Pendorong utama kenaikan inflasi di Swiss tersebut adalah anjloknya harga perjalanan udara, paket liburan dan akomodasi hotel akibat pandemi, serta adanya kenaikan harga pada sektor energi.

Supply chain bottlenecks yang terjadi saat ini berpotensi mempengaruhi arus perdagangan kita ke Swiss, utamanya dapat mempengaruhi harga barang dan terlambatnya pengiriman sehingga memunculkan kekhawatiran adanya pengalihan jalur produsen. Terutama yang perlu diantisipasi adalah produk HS 84, yakni produk mesin turbin dan suku cadang, dan perlengkapan elektronik (HS 85),“ ujar Dubes RI untuk Swiss dan Liechtenstein Muliaman Hadad.

Produk Mesin Turbin dan suku cadang (HS 84) pada triwulan III/2021 naik sebesar 10 persen dibanding triwulan II/2021. Demikian juga dengan produk perlengkapan elektronik (HS 85) dan tekstil rajutan (HS 61) masing-masing naik sebesar 9.8 persen dan 6.4 persen.

Hasil survei yang dilakukan asosiasi pengusaha terbesar Swiss Economiesuisse melaporkan bahwa empat dari lima perusahaan telah terkena dampak keterlambatan pasokan raw material dan beberapa suku cadang seperti baja, aluminium dan kayu, semi konduktor, plastik dan produk kimia tertentu.

Survei tersebut dilakukan pada 237 perusahaan, dan sekitar 50 persen akan mencari alternatif untuk kesediaan produknya dengan mencari pemasok baru di negara lain.

“Indonesia perlu mengantisipasi dan mengambil langkah-langkah agar barang tidak terhambat dan memastikan importir Swiss tetap membeli dari Indonesia, terutama setelah berlakunya Indonesia-EFTA CEPA sejak 1 November 2021, “ tambah Muliaman Hadad.

Di bawah payung Indonesia-EFTA CEPA, beberapa contoh komoditas yang akan mendapatkan pengurangan tarif masuk EFTA (Swiss, Liechtenstein, Iceland, dan Norwegia) antara lain produk fishery, palm oil, emas, alas kaki, kopi, tekstil, perlengkapan elektronik, machinery, bicyle, tyre, dan furnitur.

Pada periode Januari-September 2021, berdasarkan data BKPM, Swiss masih menempati urutan ke-2 negara dari benua Eropa dan ke-9 dari semua negara yang berinvestasi di Indonesia.

Jumlah proyek telah mencapai 287 dengan nilai US$ 571,34 juta pada periode Januari-September 2021, demikian menurut keterangan resmi KBRI Bern.

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.