Menuju Keadilan Dalam Perdagangan Internasional

Terkontraksinya perdagangan internasional selama periode pandemi covid-19 harus menjadi momentum untuk merumuskan kembali perdagangan internasional yang lebih kokoh dan adil secara global.

Catur Panggih Pamungkas

1 Apr 2022 - 22.55
A-
A+
Menuju Keadilan Dalam Perdagangan Internasional

Keadilan perdagangan internasional tampaknya masih menjadi isu yang relevan hingga kini. Banyak pakar ekonomi menyebutkan sistem perdagangan internasional sangatlah tidak adil karena lebih merugikan negara berkembang. 

Sebut saja peraih nobel ekonomi, Josep Stiglitz yang mengomentari tentang perjanjian free trade. Secara ringkasnya, negara – negara maju mendorong negara berkembang untuk mengeliminasi hambatan – hambatan perdagangan (barrier to entry) sementara negara maju tetap mempertahakannya

G20 sebagai forum intenasional dengan anggota negara yang merepresentasikan 75% perdagangan global tentunya sangat relevan membahas isu perdagangan internasional. Terkontraksinya perdagangan internasional selama periode pandemi covid-19 harus menjadi momentum untuk merumuskan kembali perdagangan internasional yang lebih kokoh dan adil secara global.

Indonesia yang didaulat menjadi tuan rumah perhelatan G20 bisa menjadi pioneer untuk menyuarakan hal tersebut dalam ajang presidensi G20 tahun ini. Jargon “Recover Together Recover Stronger” sudah semestinya dapat dimaknai sebagai sebuah keadilan dalam pertumbuhan ekonomi secara global. Pertumbuhan haruslah terpadu sehingga meminimalisir zero sum game dimana negara berkembang selalu menjadi korbannya.

Secara spesifik isu penting dalam menuju keadilan dalam perdagangan internasional adalah ketergantungan penggunaan mata uang tertentu sebagai alat pembayaran perdagangan intenasional. Tentu ada resiko likuiditas devisa didalamnya. Setelah tahun 1971 pasca Nixon shock resiko tersebut semakin tinggi.

Penggunaan Emas sebagai Alat Tukar

Nixon shock menjadi salah satu tonggak sejarah perubahan sistem moneter yang terjadi pada tahun 1971. Hal ini sekaligus menandai berakhirnya sistem Bretton woods. Sebelumnya, mata uang negara – negara di dunia didasarkan atas dolar amerika dimana pencetakan dolar itu sendiri harus dibackup oleh sejumlah emas. 

Nixon Shock mendelegitimasi itu semua sehingga dolar tidak lagi dibackup dengan emas. Implikasinya, nilai tukar mata uang negara – negara menjadi sangat fluktuatif. Tidak lama setelah Nixon shock, pasar valuta asing pun beroperasi. Uang tidak lagi menjadi sekedar alat tukar atau alat bayar namun uang itu sendiri menjadi komoditas yang diperjualbelikan.

Perkembangan berikutnya, sistem free floating exchange rate banyak diadopsi oleh negara – negara di dunia. Namun tentunya penerapan sistem ini menghasilkan dampak yang berbeda antara negara berkembang dengan negara maju. 

Negara berkembang biasanya sangat ekspansif dalam melakukan program pembangunan guna mengejar ketertinggalan sehingga membutuhkan mobilitas modal yang besar dari luar negeri sehingga memicu permintaan mata uang asing yang selanjutnya menyebabkan terdepresiasinya mata uang lokal. Belum lagi aktivitas – aktivitas destruktif spekulatif yang memicu resiko depresiasi mata uang lokal.

Dengan sistem free floating ini semakin menegaskan perdagangan internasional tidak lagi ditentukan berdasarkan kesetaraan nilai suatu komoditas tetapi terdistorsi dengan adanya nilai tukar mata uang. 

Negara – negara dengan nilai tukar mata uang yang relatif tinggi akan semakin diuntungkan sebaliknya negara dengan nilai mata uang yang rendah semakin dirugikan. Sebaliknya memilih alternatif lain dari sistem nilai tukar yaitu fixed exchange rate juga membutuhkan likuiditas devisa yang sangat besar untuk menjaga kestabilan mata uang.

Secara mendalam, nilai tukar mata uang tidak berdiri sendiri sebagai distorsi dalam perdagangan bebas, namun pada satu sisi, perkembangan sistem moneter dunia yang menjadikan uang sebagai fiat money dan bahkan menuju digital money menjadi faktor awal yang cukup penting. 

Uang fiat setidaknya kehilangan satu fungsinya yaitu sebagai standar harga. Diungkapkan demikian, karena justru uang yang ditetapkan sebagai standar harga semakin kehilangan nilai karena keniscayaan inflasi yang semakin tinggi serta fluktuasi nilai tukar dengan mata uang asing dalam konteks internasional. 

Ibarat suatu penggaris untuk mengukur benda, dengan benda yang tetap, penggaris tersebut yang justru bertambah panjang atau pendek. Begitulah dengan uang hari ini, setiap hari nilainya turun terhadap barang dalam kondisi cateris paribus.

Ketiadaan nilai intrinsik dari fiat money inilah yang semakin hari terdepresiasi nilainya terhadap barang jasa. Belum lagi ditunjang dengan sistem kredit perbankan yang memicu money creation pada titik tertentu akan menyebabkan terjadinya inflasi.

Guna memberikan keuntungan bilateral, alat tukar seharusnya yang berbasis komoditas. Tentunya dengan melihat sejarah, emas akan menjadi pilihan paling masuk akal. Emas terbukti sangat stabil dan bahkan pada era fiat money, emas masih digunakan sebagai cadangan kekayaan suatu negara. Nilainya pun dimanapun akan sama karena melekat pada intrinsik bendanya bukan pada sekedar kepercayaan. 

Dalam beberapa forum kenegaraan, beberapa kepala negara juga ingin menginisiasi penggunaan emas ini sebagai alat tukar perdagangan internasional karena dirasa stabil dan mengurangi penggunaan mata uang tertentu

Penerapan Sistem Barter

Barter sering kali diidentikkan dengan sistem pertukaran yang paling tradisional. Namun demikian barter justru secara natural menggambarkan kebutuhan masyarakat secara riil. Barter meminimalisis dampak over supply atau over capacity. Misal terjadi over supply pangan yang menyebabkan turunnya harga pangan maka dengan barter hal tersebut dapat direduksi. 

Pada dasarnya barter itu sendiri menggambarkan jual beli merupakan pertukaran antara barang dengan barang lainnya atau pertukaran antara barang dengan jasa atau manfaat.

Tidak seperti pembayaran dengan uang, dalam barter tidak ada standar pertukaran yang tetap. Bisa jadi hari ini 100 ton beras ditukar dengan 100 kilo liter minyak sawit, keesokannya 100 ton beras ditukar dengan 90 kilo liter minyak sawit. Asas utamanya adalah kerelaan satu sama lain dan asas kesetaraan. Dalam literatur klasik islam disebutkan sebagai prinsip antarodhinminkum dan mitslan bi mitslin.

Adapun pengalaman barter sebenarnya pernah dilakukan secara bilateral antara Indonesia dengan Thailand. Kejadiannya berlangsung pada tahun 1996 dimana pada saat itu, pesawat buatan Indonesia CN235 sejumlah 2 unit ditukar dengan beras ketan 110.000 ton. 

Meskipun banyak kritikan dari para tokoh namun sejatinya barter yang dilakukan tersebut membawa satu keuntungan yaitu tidak perlu menggunakan dolar amerika sebagai alat pembayaran dan sekaligus bebas pajak dan bea impor sehingga seluruh komoditas bisa digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan domestik. 

Kejadian tersebut sebenarnya terinspirasi dari India yang membeli bus Damri dari Indonesia namun tidak ingin dibayar dengan dolar Amerika dan lebih memilih ditukar dengan beras dari Indonesia. Saat itu pula Indonesia sedang mengalami surplus produksi beras

Dengan barter, tidak perlu khawatir terkait cadangan devisa karena tidak melibatkan mata uang asing dalam perdagangan khususnya impor. Dengan demikian, barter dapat memperluas rantai nilai global tanpa harus menerima resiko fluktuasi kurs mata uang yang selanjutnya bertransmisi pada inflasi dalam negeri.

Dukungan Teknologi Blockchain

Barter maupun penggunaan emas sebagai alat tukar bukan hanya memiliki kelebihan, namun tetap ada kelemahan – kelemahan didalamnya. Pertama, informasi terkait kebutuhan barang yang akan dipertukarkan dan kedua adalah perpindahan aset emas sebagai alat tukar yang kurang fleksibel. Dalam revolusi industri 4.0, penggunaan alat tukar berbasis emas atau sistem barter dalam perdagangan internasional dapat semakin disempurnakan dengan teknologi blockchain

Dengan adanya smart contract dalam blockchain memungkinkan ketiadaan campur tangan pihak ketiga dalam melakukan perdagangan internasional. Tentu model ini akan sangat kompatibel dengan sistem barter. Dengan meniadakan keterlibatan pihak ketiga berarti akan semakin mengurangi biaya transaksi. 

Namun dalam kasus penggunaan emas sebagai alat tukar perdagangan, dengan blockchain dapat melibatkan pihak ketiga sebagai intermediary atau penyimpan deposit emas dari berbagai negara yang terlibat dalam jaringan blockchain. Tugas dari pihak ketiga tersebut adalah memindahkan deposit emas dari akun suatu negara ke negara lain yang telibat kontrak perdagangan setelah terjadi kesepakatan jual beli. 

Perbedaannya dengan pihak ketiga yang saat ini berlaku dalam perdagangan internasional, dalam blockchain ini semua transaksi terekam dan masing – masing negara yang tergabung dalam jaringan blockchain ini akan memiliki data dan informasi transaksi yang sama sehingga pihak ketiga tidak akan dapat menggunakan aset pihak lain tanpa ada persetujuan terlebih dahulu.


(Penulis adalah Analis Keuangan Pusat dan Daerah Kementerian Keuangan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Tim Redaksi

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.