“Omong Kosong” Penurunan Emisi Karbon Selama Pandemi

Presidensi G20 sudah di tangan kita. Transisi energi berkelanjutan yang menjadi salah satu focus pemerintah harus menjadikan Indonesia sebagai pionir di antara negara-negara G20 terkait dengan penanganan perubahan iklim.

Defrianus Randi Nogo

1 Apr 2022 - 23.12
A-
A+
“Omong Kosong” Penurunan Emisi Karbon Selama Pandemi

Pada periode awal pandemi, ketika aktivitas sosial dan industri tiba-tiba terhenti karena kebijakan pembatasan kegiatan di beberapa negara, muncul sejumlah temuan tentang penurunan emisi karbon di atmosfer. 

Ada keyakinan, jika pandemi tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir, penurunan ini akan terus berlanjut hingga berdampak pada target penurunan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan. Meski begitu, diskusi kita tentang ekonomi hijau akhirnya sampai pada kesimpulan tentang betapa “tidak praktis”-nya mengharapkan solusi peningkatan emisi karbon pada kebijakan lockdown. 

Alasannya jelas, dunia didesak untuk menciptakan mekanisme pengurangan emisi tanpa dampak sosial dan ekonomi, sambil terus mempromosikan kesehatan sebagai isu penting di tengah wabah global ini. Untuk Indonesia, kita menunggu jawaban atas desakan ini melalui komitmen Presidensi G20 yang mengusung transisi energi berkelanjutan, di samping arsitektur kesehatan global dan tranformasi ekonomi digital, sebagai fokus agendanya.

 

Sekadar "Omong Kosong"

Tim Global Carbon Project pada tahun 2020 menemukan bahwa emisi karbon pada tahun tersebut turun 2,4 miliar ton (KOMPAS.Com/03/2020). Para peneliti mengklaim capaian ini merupakan yang terbesar dibandingkan angka penurunan sebelumnya, yakni pada tahun 2009 akibat resesi ekonomi global sebesar 500 juta ton, serta pada akhir perang dunia kedua sebesar 1 miliar ton. 

Sementara itu, penelitian Piers Foster, profesor perubahan iklim dan Direktur Pusat Internasional Priestley untuk Iklim di Universitas Leeds, bersama tim menunjukkan bahwa lockdown sebenarnya hanya sedikit berdampak pada pemanasan di musim semi 2020 (BBC 23/03/2021). 

Menurut mereka, ketika industri terhenti, polusi udara memang turun, tetapi di saat bersamaan kemampuan aerosol untuk mendinginkan planet dengan cara memantulkan sinar matahari menjauh dari bumi juga ikut turun. 

Aerosol sendiri merupakan partikel kecil yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Terhadap suhu global, dampaknya pun tidak begitu berarti (peningkatan hanya 0,03C), kendati masih lebih besar dari efek lain terkait lockdown di ozon, CO2, atau penerbangan. 

Ini menjadi semacam peringatan global bahwa kita tidak perlu larut dalam euforia sementara terkait temuan penurunan emisi karbon selama pandemi. Apa yang terungkap dari kajian para peneliti tersebut seharusnya menjadi dorongan untuk kebijakan dan aksi iklim jangka panjang dan berkelanjutan.

Indonesia sendiri, merujuk pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto (Bisnis.com, 27/09/2021) mengalami penurunan hingga 59 juta ton gas CO2 sepanjang 2020. Menurutnya, pengurangan emisi ini merupakan akibat pembatasan mobilitas masyarakat, kegiatan sektor industri serta komersial yang terjadi selama pandemi covid-19. 

Senada dengan Siswanto, pengawasan kualitas udara secara real time – kolaborasi Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim IPB dengan National Institute for Environmental Studies, Jepang – mencatat penurunan kadar nitrogen dioksida sebesar 7,2% antara April dan Mei 2020 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019 (Rossita, Kompas.com, 24/06/2020). 

Meski begitu, harus diingat bahwa Indonesia masih rentan kebakaran. Terdapat potensi peningkatan emisi karbondioksida di tengah aksi pembangunan hijau yang sedang diupayakan pemerintah. Satelit Terra/Aqua MODIS milik badan antariksa AS NASA yang memiliki tingkat ketepatan hingga lebih dari 80%, misalnya, menemukan 155 titik api di Indonesia pada bulan April, serta 66 titik pada bulan Mei 2020. 

Lalu, laporan Greenpeace Asia Tenggara juga mengungkapkan bahwa antara 2015-2019 telah terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 4,4 juta hectare.

Selain kebakaran (atau pembakaran), laju deforestasi tiada henti juga dapat diakibatkan oleh aktivitas penebangan yang semakin masif. Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan, angka penebangan hutan selama 2013 hingga 2017 mencapai 1,74 hektare per tahun. Angka ini meningkat jika dibandingkan periode sebelumnya, 2009-2013, dengan hanya 1,1 juta hectare per tahun. 

Temuan-temuan tersebut memberi keyakinan tentang resiko peningkatan emisi CO2 yang menanti di depan mata. Lalu, apa yang mesti kita katakan terhadap penurunan 59 juta ton emisi karbon sebagaimana diungkapkan Siswanto? Ini tidak lain adalah kesadaran bersama tentang aksi iklim skala nasional yang lebih serius. 

Jika tidak, apa yang secara global dianggap sebagai sisi positif pandemi, yakni berupa tren penurunan emisi karbon, pada akhirnya hanya tinggal sebagai “omong kosong” kolektif tentang perubahan iklim. Perlu langkah serius yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi hijau, isu kesehatan, dan kesetaraan ke dalam cita-cita nasional kita sebagai bangsa.

 

Apa yang Mesti Dilakukan?

Sebenarnya, garis besar langkah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon telah dituangkan dalam RPJMN 2024-2025. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan, ini merupakan RPJMN hijau pertama di Indonesia yang secara eksplisit mengintegrasikan aspek lingkungan hidup dan perubahan iklim secara spesifik menjadi salah satu program prioritas nasional (Bisnis.com 27/09/2021). 

Selain itu, sebagai bentuk komitmen untuk melaksanakan hasil Persetujuan Paris (2015), Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Aturan ini ditujukan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution, dengan pengaturan mekanisme perdagangan karbon sebagai amunisi utamanya. 

Perdagangan karbon yang dimaksud merupakan sebuah mekanisme berbasis pasar (market based) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui jual beli kredit karbon (carbon credit) di mana pembeli menghasilkan emisi karbon melebihi batas yang ditetapkan. 

Di Indonesia, perdagangan karbon diperkirakan bisa mencapai US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.290 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) per tahun. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir, menyebutkan, nilai perdagangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penanaman kembali hutan yang gundul, penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT), peralatan rumah tangga, hingga pembuangan limbah (CNBC.com 17/02/2022). 

Kendati demikian, kenyataan bahwa pemerintah masih kewalahan mengatasi laju deforestasi (melalui pembakaran dan penebangan) mendorong kita untuk berpikir tentang factor lain yang diungkapkan Pandu, yakni optimalisasi penggunaan EBT.

Nyatanya, sepanjang 2019, sektor energi masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar, yakni sebesar 45,7% selain sektor FOLU atau hutan dan penggunaan lahan. Dari jumlah itu, sub sektor pembangkitan listrik berkontribusi terhadap 35% emisi GRK, diikuti oleh transportasi dan industri yang masing-masing menyumbang 27% (IESR, 2021). 

Sejalan dengan itu, hingga 2020, sektor ketenagalistrikan Indonesia tetap didominasi oleh bahan bakar fosil (82%), di mana batubara menjadi penyumbang pangsa tertinggi, yakni sebesar 62%. Karena itu, peningkatan pemanfaatan energi berbasis EBT harus menjadi desakan serius untuk pemerintah dan para pelaku industri ekstraktif. 

Kita bisa belajar dari PT PLN. Perusahaan ini sedang menggenjot dedieselisasi, sebuah program yang mengkonversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi pembangkit berbasis Energi Baru

Terbarukan (EBT). Program ini digadang-gadang menjadi salah satu kunci pemerintah untuk mencapai target Net Zero Emission. Langkah ini bisa menjadi preseden yang baik, apalagi jika melihat betapa besar kontribusi pemanfaatan EBT terhadap penurunan emis gas rumah kaca. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa kenaikan bauran energi terbarukan harus mencapai 50% pada 2030 jika Indonesia ingin menurunkan emisi gas rumah kaca.

Presidensi G20 sudah di tangan kita. Transisi energi berkelanjutan yang menjadi salah satu focus pemerintah harus menjadikan Indonesia sebagai pionir di antara negara-negara G20 terkait dengan penanganan perubahan iklim. Intensitas emisi sektor ketenagalistrikan kita selama periode 2015-2020 tidak mengalami perubahan signifikan, hanya menurun sebesar 1%. 

Sementara, rata-rata negara anggota G20 telah menurun 10 kali lebih cepat. Ini menjadi sebuah tantangan. Jika sejalan dengan transformasi ekonomi digital dan peningkatan kualitas kesehatan ke taraf yang lebih baik, kita tidak perlu enggan untuk kembali ke pola aktivitas pra-pandemi. 

Pengurangan emisi karbon melalui EBT memungkinkan kita untuk tetap menggalakkan pembangunan hijau di satu sisi, sambil tetap menjamin kesehatan dan kesetaraan di sisi lain. Penurunan emisi selama pandemic hanyalah “omong kosong”. Apa yang seharusnya dilakukan adalah perubahan perilaku kita dalam memanfaatkan energi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Tim Redaksi

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.