Nantikan Pertemuan OPEC+, Harga Minyak Menghangat

Harga minyak menghangat di tengah penantian hasil rapat negara pengekspor minyak, OPEC+. Simak penjelasannya.

Duwi Setiya Ariyanti

4 Nov 2021 - 16.04
A-
A+
Nantikan Pertemuan OPEC+, Harga Minyak Menghangat

Harga minyak menghangat di tengah penantian hasil rapat negara pengekspor minyak, OPEC+. (Antara)

Bisnis, JAKARTA— Harga minyak menghangat di tengah penantian pasar terhadap hasil pertemuan negara pengekspor minyak, OPEC+.

Dikutip dari Markets Insider, Kamis (4/11/2011) pukul 15:18 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menyentuh US$80,43 per barel atau naik 0,4 persen. Harga minyak acuan asal Texas itu sempat menyentuh US$80,59 per barel setelah dibuka pada US$80,11 per barel.

Sementara itu, harga minyak Brent mencapai US$82,9 per barel atau naik 1,87 persen. Harga minyak acuan asal Eropa itu sempat mencapai US$81,99 per barel setelah dibuka pada US$81,58 per barel.

Tim Analis Monex Investindo Futures menyebut pertemuan OPEC+ yang dijadwalkan hari ini menjadi katalis utama harga minyak. Harga minyak pada perdagangan hari ini bisa bergerak pada rentang level support US$79,65 per barel hingga US$78,5 per barel dan level resistance US$80,45 per barel hingga US$81,5 per barel.

“Harga minyak nampak kembali naik di siang hari Kamis (4/11/2021), menjelang pertmuan OPEC+ sore hari ini,” katanya.

Seperti diketahui, OPEC+ melalui pertemuannya akan membahas soal volume penambahan produksi periode Desember. Negara kartel minyak itu pada Juli telah menetapkan penambahan 400.000 barel per hari (bph) setiap bulan untuk mengembalikan pasokan yang sebelumnya dikurangi selama 2020.

Kendati demikian, kalangan analis meramalkan bahwa OPEC+ bakal tetap memegang komitmen penambahan produksi 400.000 bph. Menariknya, jika OPEC+ tetap menambah 400.000 bph per bulan, tekanan beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, China dan India agar OPEC+ mengalirkan lebih banyak minyak ke pasar tak terakomodasi.

Adapun, beberapa negara menyerukan permintaannya kepada OPEC+ untuk memompa lebih dari 400.000 bph pada bulan ini untuk mengendalikan harga minyak yang tinggi di tengah krisis gas dan sejumlah pembangkit listrik yang kekurangan pasokan energi.

Bahkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden melakukan sejumlah upaya agar harga minyak turun. Seperti dikutip dari Financial Times, Amerika Serikat meminta Arab Saudi menaikkan produksinya.

Langkah lain yang ditempuh yakni rencana untuk mengeluarkan cadangan strategis negara sehingga harga minyak di pasar bisa mendingin. Gedung Putih pun menghubungi sejumlah produsen minyak untuk menambah pasokan minyak di pasar.

Dalam kesempatan Pertemuan Para Pihak atau Conference of the Parties (COP)26, Biden menyinggung soal retaliasi dengan Rusia dan Arab Saudi bila kedua negara itu tak menambah volume produksinya.

Tentu langkah Biden bukan dilatari hal remeh. Harga minyak acuan berada di atas US$80 per barel atau tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Di tengah krisis gas di sejumlah negara di Asia dan Eropa, harga minyak justru mendapat suntikan energi penguatan.

Beberapa pelaku pasar mulai menghubungkan kondisi saat ini dengan apa yang terjadi pada 2008 ketika harga minyak nyaris menyentuh US$150 per barel sebelum krisis keuangan global melanda.

Di sisi lain, kebijakan terkait dengan iklim makin menekan industri minyak dan gas bumi. Pasalnya, sejumlah perusahaan akhirnya mengurangi investasi di sektor minyak dan gas bumi untuk mengikuti penerapan kebijakan energi hijau. Hal itu menjadi sandungan saat pemulihan ekonomi masih membutuhkan energi fosil yang murah.

Wood Mackenzie mencatat dari puncaknya dengan investasi di industri hulu minyak dan gas bumi mencapai US$1 triliun pada 2014, totalnya turun menjadi kurang dari US$400 miliar pada 2020 dan akan tetap di bawah US$500 miliar pada tahun ini hingga 2025.

 “Kami telah memutuskan bahwa kami berhenti berinvestasi di pasokan minyak,” ujar Pimpinan di Kimmeridge, investor institusi, Ben Dell.

Di tengah kondisi harga minyak tinggi, produsen minyak yang tergabung dalam OPEC menikmati cuan tetapi pemerintah dan konsumen harus menelan biaya energi yang lebih tinggi saat melewati transisi energi.

“Akan berujung pada proses berpikir ulang prioritas dan investasi dan waktu,” tutur Wakil Presiden HIS Markit, Daniel Yergin.

Dia menyebut bahwa kondisi ini menempatkan pentingnya keamanan energi dan reliabilitas ke agenda yang sama dengan transisi energi.

TAK TAMBAH PRODUKSI

Mengalirnya cuan ke perusahaan minyak dan gas global tak dimanfaatkan untuk memompa lebih banyak minyak ke pasar. Hal itu yang dilakukan sejumlah perusahaan termasuk Shell dan Exxon Mobil. Kedua perusahaan ini justru menggunakan keuntungannya untuk membeli kembali saham dan menaikkan dividen.

“Industri minyak berinvestasi di nihil karbon,” tutur Kepala Strategi Komoditas Morgan Stanley, Martijn Rats.

Langkah pengurangan investasi tersebut mengikuti Kesepakatan Iklim Paris meskipun saat ini permintaan naik, bangkit dari koreksi yang terjadi pada 2020. Bagi sejumlah analis, selisih permintaan yang terus tumbuh mencerminkan kondisi yang sama ketika 2005 hingga 2008. Kala itu, harga minyak menyentuh US$147 per barel.

Goldman Sachs menyebut bahwa secara teknis, pasar bullish struktural telah terlihat. Dari sisi konsumsi, International Energy Agency (IEA) memprediksi bahwa pada kuartal II/2020 dan kuartal II/2021, konsumsi minyak global naik 12 juta bph dan menjadikannya sebagai kenaikan tak terduga.

BP mengestimasi bahwa konsumsi global telah kembali ke 100 juta bph, mendekati realisasi pada 2019. Konsumsi tambahan bakal muncul dalam waktu dekat sejalan dengan gangguan rantai pasok yang telah memudar dan kenaikan permintaan avtur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Duwi Setiya Ariyant*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.