Setumpuk Usulan Pengembang Atasi Backlog & Dorong Ekonomi RI

Pemerintahan di masa mendatang memiliki pekerjaan rumah besar untuk mengentaskan angka backlog yang masih mencapai 12,7 juta unit. Agar dalam 5 tahun mendatang angka backlog tidak kembali bertambah, maka diperlukan paradigma baru yang menjadikan sektor properti sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi.

Yanita Petriella

23 Nov 2023 - 21.34
A-
A+
Setumpuk Usulan Pengembang Atasi Backlog & Dorong Ekonomi RI

ilustrasi bangun rumah. /istimewa

Bisnis, JAKARTA – Ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pemerintahan tahun 2024 hingga 2029 rupanya kompak berjanji untuk memisahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Selama 9 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat digabungkan. Hal ini membuat penyelesaian permasalahan perumahan menjadi tidak taktis.

Apalagi saat ini, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam mengentaskan angka backlog perumahan yang mencapai 12,7 juta hunian berdasarkan data Susenas BPS pada 2021. Diperkirakan angka backlog setiap tahunnya mengalami penambahan mencapai 700.000 hingga 800.000 kepala keluarga baru.

Terlebih, pemerintah menargetkan dapat mengentaskan permasalahan kepemilikan hunian atau zero backlog pada Indonesia Emas tahun 2045 mendatang. Untuk mencapai target tahun 2045 ini tentu perlu terobosan. Jika tidak, tahun 2045, pada saat Indonesia Emas, 100 tahun Indonesia merdeka, jumlah backlog diperkirakan dapat mencapai 25 juta unit atau 25 juta kepala keluarga tidak memiliki rumah. 

Untuk mengentaskan permasalahan perumahan di Indonesia, Pasangan Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berjanji untuk membuat kementerian ataupun badan yang berfokus pada perumahan dan perkotaan.

Kemudian, pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka akan memisahkan kembali Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Sementara itu, pasangan Ganjar Pranowo–Mahfud MD membuat kementerian yang akan mengurus perumahan, perkotaan dan lingkungan hidup.

Untuk mengentaskan permasalahan perumahan di Indonesia, dia berjanji untuk membuat kementerian ataupun badan yang berfokus pada perumahan dan perkotaan.

Penyelesaian permasalahan perumahan memang membutuhkan kehadiran pemerintah. Selain itu, isu perumahan ini memerlukan kehadiran pemerintah dalam menjamin ketersediaan rumah layak huni dengan harga terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu, program kerja tentang bidang perumahan bisa menjadi salah satu aspek yang perlu dilihat dalam visi misi tiga pasangan capres dan cawapres ini. 

Di dalam dokumen visi dan misinya, pasangan Anies–Cak Imin akan memberikan kemudahan akses hunian. Hal itu dilakukan dengan menyediakan hunian layak, dekat pusat kota, dan dengan harga terjangkau bagi semua kalangan termasuk anak muda dan pekerja informal.

Kemudian, menyediakan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk anak muda yang belum memiliki rumah; serta menyediakan hunian layak dengan sistem sewa yang terjangkau. Selanjutnya, Anies-Cak imin juga memiliki agenda khusus yang berisi manfaat bagi 28 kelompok masyarakat, atau disebut dengan 28 simpul kesejahteraan.

Salah satunya bagi kelompok generasi Z dan Milenial, yaitu dengan menyediakan minimal 2 juta hunian terjangkau di pusat kota yang tersambung dengan transportasi umum. 

Pasangan ini juga akan melanjutkan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) termasuk untuk anak muda yang belum memiliki rumah. 

Anies–Cak Imin menargetkan berkurangnya angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia berkurang menjadi 8 juta unit pada 2029. Target tersebut Merujuk sumber data dari Kementerian PUPR, pasangan ini memaparkan data backlog kepemilikan rumah dalam lima tahun terakhir yaitu sebanyak 12,16 juta unit tahun 2018, 12,14 juta unit di tahun 2019, sebanyak12,47 juta unit di tahun 2020, sebanyak 12,71 juta unit tahun 2021, dan sebanyak 10,5 juta unit di tahun 2022. 

Selanjutnya, pasangan Ganjar–Mahfud di dalam visi dan misinya memiliki program aksi yang salah satunya yakni Rumah Kita sebanyak 10 juta hunian. Program tersebut merupakan pembangunan hunian baru atau renovasi seperti rumah sederhana, rumah susun milik (rusunami), rumah susun sewa (rusunawa) yang disertai ketersediaan lahan yang strategis dan terjangkau dari pusat perekonomian serta transportasi umum. 

Program Rumah Kita ini ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pekerja sektor informal, buruh, dan anak muda dengan skema pembiayaan yang mudah dan murah. Di samping itu, pasangan Ganjar–Mahfud juga akan menjalan program aksi yaitu tempat tinggal–tempat kerja–trotoar–transportasi publik atau program 4T terintegrasi. Program ini akan menghubungkan tempat tinggal dan tempat kerja dengan sarana transportasi yang masif, nyaman, murah, dan tepat waktu disertai penyediaan trotoar yang ramah pejalan kaki. 

Lalu, program aksi lainnya yang terkait yakni Kampung Sehat yakni memperbaiki kampung kumuh di desa dan kota,dengan hunian layak, sanitasi sehat, air minum dan air bersih, fasilitas umum dan sosial memadai, dan ruang terbuka hijau yang mencukupi.

Selanjutnya, pasangan Prabowo–Gibran mencanangkan 8 misi asta cita, 8 program hasil terbaik cepat, dan 17 program prioritas. Mengenai janji penyediaan rumah murah, diketahui merupakan salah satu dari 8 program hasil terbaik cepat. Di dalamnya tertulis melanjutkan pembangunan infrastruktur desa, Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan menyediakan rumah murah bersanitasi baik untuk yang membutuhkan. 

Tak hanya itu, penyediaan rumah murah juga termasuk dalam 17 program prioritas pasangan yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu. Program prioritas itu menjamin rumah murah dan sanitasi untuk masyarakat desa serta rakyat yang membutuhkan. Rencananya, pasangan Probowo–Gibran bakal membangun dan merenovasi sebanyak 40 rumah per desa atau kelurahan per tahun yang akan dicapai sebanyak 3 juta unit rumah setiap tahunnya dimulai tahun kedua dengan komposisi 2 juta unit rumah di perdesaan dan 1 juta unit rumah di perkotaan.

Baca Juga: Adu Kuat Visi Misi 3 Pasang Capres-Cawapres di Bidang Perumahan 

 


Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) Joko Suranto mengatakan salah satu amanah Musyawarah Nasional (Munas) REI 2023 yang berlangsung pada Agustus kemarin yakni mendorong terbentuknya Kementerian Perumahan dan Perkotaan pada pemerintahan selanjutnya. Hal ini sebagai upaya agar pemerintah dapat fokus untuk menyelesaikan permasalahan backlog hunian. 

“Sekarang tinggal menunggu seperti apa program konkrit dan kontraktual yang mereka tawarkan. Karena salah satu indikator kesejahteraan adalah memiliki tempat tinggal dan rumah yang layak huni,” ujarnya, Rabu (22/11/2023). 

REI mengusulkan paradigma baru yakni propertinomic dimana sektor properti menjadi faktor pengungkit pertumbuhan ekonomi nasional. Selama ini, sektor properti hanyalah sebuah indikator dalam pertumbuhan ekonomi. Nantinya, sektor properti diharapkan dapat menjadi proyek strategis nasional (PSN).

Pasalnya, selama 1 dekade angka backlog hunian mengalami penurunan tipis dari 13,5 juta pada 2010 menjadi 12,7 juta unit di tahun 2020. REI skeptis angka tersebut bisa turun drastis di masa mendatang jika pendekatan, penganggaran, hingga kelembagaan yang dilakukan pemerintah tak berubah. Oleh karena itu, memerlukan langkah inovatif terhadap sektor properti termasuk dengan menggunakan paradigma baru. 

“Propertinomic sebuah jalan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di sektor perumahan termasuk menuntaskan angka kesenjangan kebutuhan dan kemampuan penyediaan rumah atau backlog yang telah mencapai lebih dari 12,7 juta unit. Jadi sektor properti dipandang, diarahkan, dijadikan penumbuh ekonomi bukan hanya menjadi indikator pertumbuhan ekonomi suatu negara,” katanya. 

Untuk merealisasikan pendekatan propertinomic tersebut, dibutuhkan empat fokus utama yakni penguatan kelembagaan baik kementerian khusus perumahan dan institusi pembiayaan perbankan khusus di properti. 

Menurutnya, selama ini perbankan memang sudah mendukung pertumbuhan di sektor properti, namun hanya sebatas pada kredit modal kerja. Diharapkan, ke depannya, perbankan juga dapat memberikan kredit pembelian lahan, kredit konstruksi, dan kredit manajemen properti. 

“Selama ini perbankan hanya loan by guarantee, ini seolah-olah pendekatan modal kerja. Bisa diperluas dengan rate masing-masing disesuaikan karakternya,” ucap Joko.

Fokus lainnya yakni dibutuhkan kebijakan supportif, integratif, dan mendukung ekosistem penyediaan perumahan. Selama ini, kewenangan kebijakan perumahan masih tersebar di 6 institusi/lembaga negara. Tentunya institusi dan lembaga tersebut memiliki kebijakan masing-masing sehingga menyulitkan koordinasi dan membuat sektor properti sulit tumbuh.

“Sementara kita tahu masalah pelik di Indonesia itu adalah koordinasi. Kalau koordinasi tidak bisa terkelola dengan baik atau orkestrasinya tidak harmonis, maka hasilnya juga sulit untuk optimal. Idealnya kebijakan disusun oleh institusi yang berkaitan dan bertanggungjawab langsung dengan sektor properti,” tuturnya.

Fokus selanjutnya terkait kenaikan alokasi anggaran pembiayaan perumahan. Joko menilai alokasi anggaran untuk sektor perumahan masih sangat kecil, yaitu 0,4 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun pada 2023, alokasi anggaran Direktorat Jenderal (Ditjen) Perumahan mencapai Rp11,27 triliun dari total dana Kementerian PUPR mencapai Rp154,36 triliun.
Anggaran tersebut untuk program penyediaan rumah layak huni dalam bentuk rumah susun (rusun), rumah swadaya, rumah khusus (rusus), dan bantuan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU). Di sisi lain, Pemerintah juga menyalurkan bantuan subsidi perumahan di tahun ini sebanyak 274.924 unit senilai Rp34,17 triliun yang bersumber dari APBN sebesar Rp29,53 triliun dan dana masyarakat Rp4,64 triliun. 

Alokasi anggaran perumahan Indonesia tersebut terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara Asean lainnya yang mencapai di atas 2%. Berbeda dengan perumahan, pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan anggaran di sektor pendidikan sebesar 20% dari total APBN. Adapun pada 2023, pemerintah mengalokasikan Rp612,2 triliun dari total APBN senilai Rp3.061 triliun.

“Ini artinya sektor perumahan itu belum menjadi prioritas di Indonesia. Karena itu, paradigmanya harus diubah ke arah propertinomics. Ini yang terus digaungkan oleh REI untuk mengingatkan kita semua tentang kekuatan sektor properti,” ujarnya. 

Joko menilai pendidikan pembentuk sebuah karakter bangsa berasal dari rumah sehingga upaya menyediakan rumah yang layak huni juga tidak kalah penting dari memajukan sektor pendidikan. 

“Idealnya anggaran perumahan sekitar 2,5 persen, tentu kenaikannya harus bertahap,” katanya.

Dia berpendapat penambahan anggaran perumahan tidak harus berasal dari kantong APBN tetapi bisa dari ceruk lain yang dimanfaatkan dengan potensi mencapai Rp40 triliun per tahun. Dengan anggaran perumahan yang semakin besar, maka setidaknya bisa membangun sekitar 500.000 unit hingga 800.00 unit rumah setiap tahunnya.

Untuk diketahui, dari Januari hingga Oktober 2023, kontribusi REI dalam penjualan rumah komersial hingga akhir Oktober mencapai 108.303 unit atau sebesar 69,27% dari total nasional yang mencapai 156.350 unit, sedangkan penjualan rumah susbidi mencapai 103.375 unit atau 45,41% dari total 227.631 unit. Adapun sebanyak 6.800 pengembang tergabung dalam REI dimana sebesar 80% merupakan pengembang rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). 

Baca Juga: Mencari Jalan Keluar Pengentasan Angka Backlog 12,7 Juta Ruma

Properti Akselerasi Ekonomi 

Joko menuturkan fokus terakhir dalam paradigma propertinomic yakni menjadikan sektor properti khususnya perumahan sebagai prioritas dan optimalisasi. Menurutnya, dengan dijadikan prioritas maka sektor properti diyakini akan menciptakan hasil output perekonomian yang lebih besar lagi. Apalagi, sektor properti ini merupakan industri padat karya yang menyerap lapangan pekerjaan. Di tahun 2022, sektor properti menyerap 13,8 juta tenaga kerja atau 9,6% dari angkatan kerja nasional. 

“Jika mengembangkan 1.500 hektare lahan maka tenaga kerja yang dibutuhkan 1,5 juta orang. Ini tentu akan berdampak pada ekonomi Indonesia,” ucapnya. 

Kemudian, sektor properti berkontribusi 14% hingga 16% terhadap produk domestik bruto (PDB), 9 persen untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan 30% hingga 45% kepada pendapatan asli daerah (PAD). Dia membandingkan kontribusi sektor properti terhadap PDB di negara-negara tetangga Indonesia seperti Malaysia dan Thailand yang sudah mencapai di atas 20%.

“Tidak usah dibandingkan dengan Singapura atau Australia, cukup dengan Malaysia dan Thailand kita sudah jauh tertinggal. Saat ini kontribusi sektor properti di Indonesia terhadap PDB hanya sekitar 14%-16%,” terang Joko. 

Menurutnya, pemerintah baru mendatang sangat penting menjadikan propertinomic sebagai tulang punggung (backbone) perekonomian nasional karena memiliki multiplier effect untuk 185 subsektor industri lain. Pada akhirnya, ceruk pasar yang sekarang disebut backlog akan membawa dampak berantai (multiplier effect) terhadap perekonomian Indonesia

REI berharap pemerintah mendatang lebih memerhatikan sektor properti terutama keberlanjutan program penyediaan perumahan di Indonesia. Karena kontribusi sektor properti sudah terealisasi dan bukan sekadar proyeksi.

Terlebih, pada 2035 mendatang, penduduk Indonesia akan mencapai 304 juta jika dimana 66% akan tinggal di kawasan perkotaan. Saat ini, hampir sebesar 20 persen penduduk Indonesia tidak memiliki rumah. 

Dia optimistis jika pemerintahan baru menyelesaikan permasalahan perumahan melalui pendekatan propertinomic ini, maka dalam lima tahun mendatang atau pada 2029 akan backlog menyusut menjadi hanya 5 juta unit saja dari yang saat ini mencapai 12,7 juta unit.

“Fakta itu adalah sebuah persoalan besar bagi sebuah negara. Jadi kalau tidak segera diselesaikan dengan cara dan lembaga yang berbeda, serta prioritas yang berbeda pula, maka persoalan besar ini tidak akan pernah dituntaskan. Artinya, janji untuk mencapai kesejahteraan rakyat hanya sebuah utopia,” tutur Joko. 

Baca Juga: Asa Pengentasan Masalah Backlog Rumah di Tangan Pemerintah Baru

 



Tantangan Sektor Perumahan

Terpisah, Chief Economist di The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip memproyeksikan jika setiap tahunnya pemerintah banyak membangun sejuta rumah, maka pengentasan permasalahan backlog baru selesai pada 2064 mendatang. Pemerintah diharapkan setiap tahunnya dapat membangun 1,5 juta hunian untuk menyelesaikan angka backlog sehingga pada 2040 mencapai zero backlog. Hal ini berdasarkan asumsi angka backlog saat ini yang mencapai 12,7 juta dan penambahan 700.000 hingga 800.000 keluarga baru setiap tahunnya.  

Dia menuturkan salah satu prinsip yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan perumahan adalah keterjangkauan. Selama ini upaya meningkatkan keterjangkauan perumahan lebih berfokus pada aspek pengendalian biaya dan harga seperti pengendalian harga bahan baku, pertanahan, dan pengendalian pasar perumahan.

“Selama ini aspek keterjangkauan pada sisi pasokan, akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan upaya meningkatkan keterjangkauan dari sisi pendanaan. Ini agar semakin banyak masyarakat yang memiliki kemampuan memiliki rumah,” ujarnya. 

Hal itu dilakukan dengan pengerahan likuiditas murah dari masyarakat dalam upaya meningkatkan keterjangkauan rumah khususnya dari sisi permintaan. Ketersediaan likuiditas murah akan mendorong penurunan biaya dana. Apabila biaya dana dapat diturunkan, maka akan meringankan biaya yang akan ditanggung masyarakat ketika membutuhkan pembiayaan perumahan. Tentunya, kondisi ini akan mendorong semakin banyak masyarakat yang dapat memiliki rumah.

“Memang ada perbankan tetapi karakteristik dananya tidak match dengan pembiayaan perumahan. Dana di perbankan itu jangka pendek dimana orang nabung besok diambil lagi, sedangkan biayai rumah itu jangka panjang itu paling tidak 15 tahun lunas dicicil. Tidak mungkin perbankan dapat menyalurkan pembiayaan perumahan dengan bunga kredit murah bila dana yang dipakai berasal dari dana mahal. Ada mismatch sehingga butuh ketersediaan dana murah yang juga jangka panjang,” terang Sunarsip.

Baca Juga: Merengkuh Asa Kemandirian Pembiayaan Perumahan dan Zero Backlog

Direktur Pelaksanaan dan Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Haryo Bekti Martoyoedo tak menampik masih terdapat sejumlah tantangan yang menghambat dalam mengentaskan angka backlog perumahan. 

Adapun tantangan tersebut terkait tata kota yang membuat agar masyarakat bisa tinggal di perkotaan dengan tinggal di rusun. Pasalnya, selama ini pengembang masih enggan membangun rusun di perkotaan dan lebih memilih membangun rumah tapak MBR dengan lokasi yang jauh. Padahal, backlog hunian paling besar sekitar 79% berada di perkotaan. 

Menurutnya, belum ada pengembang yang begitu tertarik untuk membangun hunian vertikal untuk MBR di perkotaan karena lahan diperkotaan yang terbatas dan harga yang mahal. Jika ada lahan yang memang bisa digunakan untuk dibangun rusun hingga pengembang yang bersedia membangun rusun untuk MBR, maka MBR bisa tinggal di hunian vertikal. Adapun, lahan yang digunakan untuk membangun rusun MBR di perkotaan bisa menggunakan lahan pemerintah dan bekerja sama dengan Badan Bank Tanah. 

Di sisi lain, memang dibutuhkan inovasi pembiayaan agar MBR pun bisa menjangkau membeli rusun di perkotaan. Pasalnya, harga rusun di perkotaan akan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tapak MBR yang lokasinya jauh dari pusat kota. 

“Itu yang harus kita kembangkan sekarang bagaimana rumah vertikal itu bisa dibangun dari pengembangnya, pembiayaan dari perbankan, dan juga skema untuk MBR untuk akses keterjangkauan kepada produk itu,” ucapnya. 

Haryo menuturkan tantangan lainnya yakni terkait kepemilikan rumah untuk pekerja informal. Menurutnya, harus ada skema pembayaran KPR yang memungkinkan pekerja informal untuk bisa memiliki rumah.

“Kalau untuk orang-orang yang punya penghasilan (tetap), punya slip gaji kan gampang, jadi bagaimana dengan orang-orang yang di luar itu (untuk bisa memiliki rumah). Itu juga tantangan ke depan,” katanya.

Kementerian PUPR memang telah mendorong perbankan untuk bisa menyalurkan pembiayaan untuk kalangan MBR di sektor informal yang ditargetkan di tahun ini sebanyak 50.000 unit. Adapun per September 2023, realisasi penyaluran dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) mencapai 166.883 unit senilai Rp18,91 triliun. Sampai akhir tahun, jumlah penyaluran dana FLPP bakal mencapai 229.000 unit.

Di tahun depan, pemerintah telah menambah alokasi pembiayaan skema FLPP menjadi 220.000 unit dari sebelumnya sisa kuota selama 5 tahun sebanyak 166.000 unit. 

“Kami berharap pengembang bisa bekerja dengan baik dan terus memberikan kualitas hunian MBR yang baik. Tentu untuk mengatasi hambatan penyelesaian backlog memang perlu dilakukan inovasi dan kreativitas kolaborasi antara pengembang, perbankan, dan pemerintah,” terang Haryo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rinaldi Azka

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.