Cuan Waralaba Lokal Kian Menggempal

Merek waralaba lokal telah menjadi penguasa pasar di sejumlah sektor, termasuk ritel modern. Di sisi lain, merek asing memiliki kekuatan pada sektor waralaba makanan dan minuman.

Iim Fathimah Timorria

7 Des 2021 - 19.20
A-
A+
Cuan Waralaba Lokal Kian Menggempal

Ilustrasi bisnis waralaba/freepik

Bisnis, JAKARTA — Jenama waralaba lokal makin bergerak menguasai pasar dalam negeri, kendati secara volume industri tersebut masih dikuasai oleh merek-merek asing.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan industri waralaba bakal terus memberi sumbangan bagi perekonomian dengan serapan tenaga kerja mencapai 628.000 orang dan omzet Rp54 miliar.

“Saya bangga saat ini Indonesia tidak hanya jadi pasar bagi waralaba asing karena waralaba lokal sudah bisa menjadi tuan rumah dan menguasai pasar dalam negeri, bahkan mulai merambah pasar global,” ujarnya di sela Indonesia Franchise Forum dan Bizfest 2021, Selasa (7/12/2021).

(BACA JUGA: Bisnis Waralaba Kembali Bersemi Setelah Dihantam Pandemi)

Mengacu pada penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) oleh Kementerian Perdagangan, jumlah waralaba lokal mencapai 107 jenama pada 2021, meningkat dibandingkan dengan STPW pada 2020 yang berjumlah 105.

Sementara itu, penerbitan STPW asing pada pemberi waralaba asing pada 2021 mencapai 124, naik daripada 2020 yang berjumlah 120.

(BACA JUGA: Peritel Modern, Akankah Mulai Kembali Ekspansi pada 2022?)

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan jumlah waralaba asing memang cenderung lebih banyak daripada waralaba lokal jika mengacu pada penerbitan STPW.

Namun, dari sisi pangsa, dia memperkirakan waralaba lokal memiliki posisi yang seimbang dengan jenama asing.

(BACA JUGA: Ekspansi Ritel Modern Tersendat Mandatori Waralaba)

 “Franchise lokal baru 107 yang terdaftar karena banyak yang belum berniat mendaftar. Untuk itu, [pemain lokal] kami dorong agar mendaftarkan diri agar ada kepastian dalam komunikasi dan bisa melakukan ekspansi ke luar negeri [dengan STPW],” kata Oke.

Dia menjelaskan merek waralaba lokal telah menjadi penguasa pasar di sejumlah sektor, di antaranya adalah ritel modern. Di sisi lain, merek asing memiliki kekuatan pada sektor waralaba makanan dan minuman (mamin).

Dari total waralaba lokal yang terdata Kemendag, sekitar 58,37 persen di antaranya bergerak di bisnis mamin. Sektor ritel menyusul dengan jumlah 15,31 persen dan pendidikan informal 13,40 persen.

Adapun, sekitar 63 persen waralaba asing bergerak di sektor makanan dan minuman. Sektor pendidikan informal menyusul dengan persentase 14,52 persen dan ritel 13,71 persen.

“Dari sisi pangsa pasar sama. Pada dasarnya lokal maupun asing banyak didominasi food and beverages. Kalau lokal ada ritel yang lebih tinggi dan waralaba asing bukan ritel. Peluangnya sama,” kata Oke.

Oke menambahkan sejumlah jenama waralaba lokal juga telah melebarkan pasarnya ke sejumlah negara dan kawasan. 

Dia memberi contoh jaringan ritel modern Alfamart yang telah memiliki 1.044 gerai di Filipina.

Begitu pula waralaba makanan dan minuman seperti Ayam Gepuk Pak Gembus yang memiliki 10 gerai di Malaysia dan Kebab Turki Baba Rafi dengan 60 gerai yang tersebar di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Sri Lanka, Bangladesh, China, sampai Belanda.

Ada pula depo air minum Biru yang telah membuka satu gerai di California, Amerika Serikat. Oke juga mencatat bisnis makanan dan minuman J.CO Donuts & Coffee telah memiliki 60 gerai yang tersebar di Malaysia, Singapura, Filipina, dan Arab Saudi.

“Di sektor kecantikan dan perawatan tubuh ada Taman Sari Royal Heritage Spa dengan 2 gerai di Malaysia dan Kanada, serta Tirta Ayu Spa memiliki 5 gerai di Nigeria dan 1 gerai di Kamerun. Merek dalam negeri sudah banyak yang ekspansi,” kata Oke.

Aneka jenama waralaba asing./Ilustrasi

MINAT INVESTOR

Sementara itu, Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia bidang Franchise, Lisensi & Networking Marketing Levita G. Supit melaporkan minat investor asing untuk membeli lisensi waralaba merek lokal makin meningkat.

“Bisnis waralaba kita juga digemari pelaku usaha di luar negeri. Saat ini teman-teman di Singapura, Malaysia, sampai Timur Tengah telah menghubungi asosiasi dan bertanya waralaba mana yang bisa dibeli dan bisa dibuka di negara-negara tersebut,” tuturnya. 

Dengan demikian, Levita menyarankan agar franchisor maupun franchisee segera mendaftarkan bisnisnya untuk mempermudah aksi perluasan pasar ke luar negeri. Kepemilikan STPW menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi pelaku usaha.

“Salah satu syarat adalah punya STPW. Sehebat apapun produk atau bisnisnya kalau tidak punya STPW akan terkendala manakala akan go international,” kata dia.

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Lisensi Indonesia (Asensi) Susanty Widjaya mengatakan pemulihan ekonomi menjadi momentum bagi jenama waralaba lokal untuk memperluas jangkauan pasar.

“Kita lihat banyak sekali merek luar negeri di negara kita, di pusat belanja mendominasi. Bukan berarti kita tidak membolehkan beli [merek asing], tetapi kenapa tidak kita gairahkan yang lisensi merek lokal dan menjadi raja di negeri sendiri,” kata Susanty.

Dia mengatakan peluang pengembangan lisensi dan waralaba lokal pada 2022 cukup bagus. Hal ini setidaknya terlihat dari antusiasme para calon investor dalam pameran franchise yang digelar belum lama ini.

“Kami melihat antusiasme calon investor [pembeli lisensi/franchisee] ini baik. Dan bisnis waralaba pun selama pandemi tidak benar-benar mati. Kalau dilihat tetap berkembang,” katanya.

Melihat prospek menjanjikan dari bisnis waralaba lokal, mayoritas pelaku usaha di sektor ini pun membidik kenaikan kinerja dan pengembangan bisnis pada 2022, seiring dengan membaiknya perekonomian pada kuartal IV/2021.

Hasil survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) terhadap 30 merek waralaba memperlihatkan bahwa 32,3 persen menargetkan peningkatan penjualan sebesar 50 persen pada 2022 dibandingkan dengan 2021 dan sekitar 25,8 persen membidik kenaikan penjualan di kisaran 21 sampai 30  persen.

Ketua Wali Tri Rahardjo menjelaskan prospek positif penjualan ini diikuti dengan optimisme untuk ekspansi. Sebanyak 87,1 persen responden menyatakan akan melakukan pengembangan bisnis, sementara sisanya masih mengurungkan niat memperluas bisnis.

“Hal ini berarti di tengah pandemi pelaku usaha tetap optimistis menghadapi masa depan dan mereka akan melakukan pengembangan bisnis pada 2022. Sisanya 12,9 persen menyatakan belum akan menambah gerainya,” kata Tri.

Tri mengatakan proyeksi tersebut ditandai dengan kenaikan aktivitas bisnis dan transaksi di mal yang sudah mulai menggeliat. Tidak hanya itu, pemulihan ekonomi juga sudah mulai terasa di berbagai lini.

"Kita patut mengapresiasi pemerintah yang sudah memberi kelonggaran, sehingga pelaku usaha bisa kembali berusaha maksimal. Kami harap, ke depan bisnis ini bisa terus tumbuh," ujarnya.

Survei yang dilakukan Wali terhadap 5.621 gerai waralaba pada 2020 menunjukkan bahwa 17 persen atau sekitar 953 gerai tutup permanen atau sementara imbas pandemi.

Sebanyak 13 persen gerai yang tutup berlokasi di mal, 27 persen di gedung ruko, dan 60 persen merupakan gerai yang berdiri sendiri (standalone).

ADAPTIF

Pengamat ritel sekaligus Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo berpendapat Terdapat sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan pebisnis waralaba untuk optimasi kinerja pada masa pemulihan. Untuk itu, pewaralaba harus jeli melihat tren konsumen dalam jangka panjang.

Yongky mengatakan pewaralaba perlu mulai melirik bisnis dengan target pasar masyarakat kelas menengah ke atas, mengingat daya belinya cenderung terjaga.

“Jadi siapkan barang-barang dan layanan yang lebih premium ke depan,” kata Yongky.

Dia juga menjelaskan bahwa belanja kebutuhan pokok di toko tradisional masih akan mendominasi, dengan aktivitas di toko modern yang cenderung masih stabil.

Dia memperkirakan dagang-el tidak tumbuh signifikan ke depan seiring dengan normalisasi mobilitas masyarakat ketika pandemi lebih terkendali.

“Bisnis makanan, minuman, dan indulgence akan tumbuh ke depan, apalagi masyarakat butuh indulgence. Perlu dicatat bahwa kemasan premium perlu diadopsi,” katanya.

Yongky juga mengingatkan para pelaku waralaba untuk berinovasi secara cepat, terutama pada sektor lifestyle yang sifatnya jangka pendek. Pelaku usaha juga perlu mengadopsi pemasaran yang mengikuti perkembangan zaman.

“Saya punya contoh bisnis franchise yang sederhana, ia menjual baut dan mur. Ini bertahan lama dan merupakan kebutuhan dasar. Jadi memang tergantung jenis franchise, kalau gaya hidup harus terus inovasi karena trennya berubah cepat,” kata dia.

Dari sisi pelaku waralaba, CEO Nyayap Terbang Bersama—waralaba makanan lokal—Kenneth Chandra mengatakan mengakui bahwa aktivitas dine-in mulai menunjukkan perbaikan dan mulai mengimbangi penjualan daring.

Dia memperkirakan level bisnis telah mencapai 70 sampai 80 persen situasi sebelum pandemi.

 “Kami melihat perekonomian akan membaik pada 2022 dan selanjutnya. Jadi diharapkan bisa jadi momen untuk waralaba lokal untuk memperluas bisnis,” kata Kenneth.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.