Eksekusi Bertele-tele Pemerataan Internet Cepat di Indonesia

Menkominfo Johnny G. Plate mengatakan aktivasi jaringan 4G di desa-desa juga akan dipengaruhi kondisi fiskal negara. Dia tidak menampik, tidak menutup kemungkinan, pembangunan BTS 4G di ribuan desa akan mundur dari waktu yang telah ditetapkan yaitu 2022.

Leo Dwi Jatmiko

26 Jan 2022 - 14.30
A-
A+
Eksekusi Bertele-tele Pemerataan Internet Cepat di Indonesia

BTS Telkomsel yang menggunakan sumber energi ramah lingkungan melalui teknologi fuel cell. istimewa

Bisnis, JAKARTA — Agenda pemerintah untuk merealisasikan pembangunan BTS 4G di 7.904 desa kawasan terdepan, terluar, dan tertinggal atau 3T pada 2022 hampir dipastikan meleset dari target akibat aral pendanaan yang tidak kunjung terurai.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan di sejumlah titik yang telah terbangun base transceiver station (BTS) sudah dapat digelar jaringan 4G. Meski demikian, dia tidak menyebutkan jumlah BTS yang telah terbangun dan siap untuk memberikan sinyal internet cepat di desa-desa. 

Adapun, aktivasi jaringan 4G di 7.904 desa—yang merupakan bagian dari 9.113 desa yang menjadi tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo—saat ini masih dalam tahap pencarian pendanaan. 

Penggelaran jaringan 4G di desa-desa tersebut hanya dapat terealisasi jika pemerintah memiliki dana cukup untuk membangun. 

“Jadi kalau memang dananya terpenuhi kami harapkan pada akhir 2022 di 9.113 desa atau bagian dari 7.904 desa itu sudah terbangun [4G]dan melayani masyarakat,” kata Johnny, Selasa (25/1/2022). 

Johnny menambahkan aktivasi jaringan 4G di desa-desa juga akan dipengaruhi kondisi fiskal negara. Dia tidak menampik, tidak menutup kemungkinan, pembangunan BTS 4G di ribuan desa akan mundur dari waktu yang telah ditetapkan yaitu 2022.  

“Apabila ada kendala fiskal, tentu akan ada penyesuaian jadwal. Saat ini kami bekerja dengan jadwal sampai dengan akhir 2022,” tutur Johnny.

Untuk diketahui, Kemenkominfo mengupayakan pembangunan BTS 4G di total 12.548 desa. Sebanyak 9.113 desa berada di wilayah 3T dan menjadi tanggung jawab Bakti, sedangkan 3.435 desa berada di wilayah komersial dan menjadi tanggung jawab operator seluler. 

Untuk pembangunan 4G di 9.113 desa oleh Bakti, sebanyak 1.209 BTS 4G merupakan BTS yang berasal dari pendanaan dengan skema kewajiban pelayanan umum atau universal service obligation (USO). Sementara itu, sebanyak 7.904 BTS berbasis skema bauran pembiayaan. 

Bauran pembiayaan tersebut berasal dari murni anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor Kemenkominfo, dan lain sebagainya. 

Teknisi melakukan pemeriksaan perangkat BTS di daerah Labuhan Badas, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB)./BISNIS-Abdullah Azzam

Dihubungi secara terpisah, Direktur Utama Bakti Anang Latif mengatakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi last mile di 7.904 desa ditaksir menghabiskan dana sekitar Rp21 triliun. 

Dana tersebut bertujuan untuk melengkapi jaringan yang sudah dibangun operator seluler, dengan membangun infrastruktur telekomunikasi di wilayah 3T yang kurang layak secara komersial. 

“[Perkiraan] belanja modal atau capex [capital expenditure] sekitar Rp21 triliun. Sumbernya dari APBN dan PNBP non-USO,” kata Anang kepada Bisnis. 

Dalam skema pengadaan, Bakti akan melakukan turnkey project, yaitu pembayaran oleh developer atau pemilik proyek terhadap kontraktor sebagai pelaksana pada saat pekerjaan telah selesai seluruhnya atau pada saat proyek serah terima dari pelaksana ke pemilik.

Bakti juga akan melakukan paketisasi pengadaan yang kemudian dilakukan lelang kepada penyedia infrastruktur untuk setiap paketnya bersamaan dengan penetapan operator seluler di paket-paket tersebut. 

Setelah lelang digelar, selanjutnya pembangunan jaringan pengalur (backhaul) dan jaringan akses akan dilakukan oleh penyedia infrastruktur. Infastruktur yang telah terbangun akan dimanfaatkan oleh operator seluler. Infrastruktur tersebut juga akan tercatat sebagai aset negara.

Sementara itu pada 27 September 2021, XL Axiata dan Telkomsel memenangkan lelang untuk mengelola layanan 4G di 7.904 desa.  

Kemenkominfo membagi 7.904 desa tersebut menjadi 9 paket. Sebanyak 8 paket dimenangkan oleh Telkomsel dan 1 paket dimenangkan oleh XL Axiata. 

Adapun, kesembilan area tersebut a.l. Area 1 meliputi Sumatra, Area 2 meliputi Nusa Tenggara, Area 3 meliputi Kalimantan, Area 4 meliputi Sulawesi, Area 5 meliputi Maluku, Area 6 meliputi Papua Barat, Area 7 meliputi Papua Tengah Barat, Area 8 meliputi Papua Tengah Utara, dan Area 9 meliputi Papua Timur Selatan.

INFRASTRUKTUR PASIF

Pada perkembangan lain, aktivasi jaringan 4G di kawasan rural milik XL dan Telkomsel hingga saat ini masih menunggu ketersediaan infrastruktur pasif. Salah satu kendala mereka adalah kondisi geografis di wilayah 3T.

President Director & CEO XL Axiata Dian Siswarini mengatakan aktivasi layanan 4G di 3T Sumatra, yang menjadi area wilayah layanan EXCL, sangat bergantung pada kehadiran infrastruktur telekomunikasi pasif yang dibangun oleh Bakti.

Dalam membangun jaringan 4G di 7.904 desa; Bakti berperan sebagai penyedia infrastruktur pasif seperti menara, power, hingga pembebasan lahan. Sementara itu, operator seluler berperan sebagai penyedia infrastruktur aktif seperti sistem penarifan (billing system), frekuensi, hingga kanal penjualan. 

“Jadi ini tergantung kecepatan Bakti dalam membangun infrastruktur. Kami hanya menyediakan layanan 4G seperti spektrum,” kata Dian kepada Bisnis

Dian menjelaskan kehadiran jaringan 4G XL Axiata di desa-desa merupakan bentuk dukungan perseroan kepada pemerintah untuk menghadirkan layanan internet cepat di areal rural, serta memperluas cakupan layanan dan pelanggan. 

“Dalam kerja sama dengan Bakti juga ada komitmen yang harus kami bayar setiap tahun, selama 10 tahun,” kata Dian. 

Sementara itu, Direktur Network Telkomsel Nugroho mengatakan perseroan berupaya menghadirkan layanan 4G di 8 paket wilayah layanan perseroan. Mayoritas aktivasi layanan 4G di desa-desa 3T tersebut akan dilakukan pada tahun ini. 

“Harus ada validasi dahulu dengan Bakti agar cakupannya maksimal,” kata Nugroho. 

Dia sepakat salah satu tantangan dalam penggelaran jaringan di daerah 3T adalah wilayah yang terjal. Selain menyulitkan dalam penggelaran jaringan, wilayah yang curam berisiko membuat cakupan layanan menjadi tidak maksimal. 

Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura berpendapat keterbatasan anggaran tidak dapat dijadikan alasan atas potensi gagal tercapainya target pembangunan jaringan 4G di desa-desa 3T. 

Potensi kegagalan terjadi karena manajemen yang kurang baik dalam pengelolaan anggaran yang besar.  

Dengan anggaran yang diberikan, seharusnya Bakti dapat memutar dana tersebut sehingga pembangunan dapat dilakukan sesuai dengan target, mengingat terdapat dana yang dapat dikelola oleh Bakti, baik berasal dari operator seluler maupun APBN. 

“Kecuali Kemenkominfo tidak mendapat pemasukan,” kata Tesar. 

Menurutnya, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T juga seharusnya tidak terlalu mahal, mengingat Bakti sempat melakukan terobosan dengan kepala daerah perihal pinjam-pakai lahan. 

Pinjam-pakai lahan adalah sebuah konsep di mana pemerintah daerah menyiapkan lahan dan izin mendirikan bangunan (IMB), sedangkan pemerintah pusat diberi fasilitas pembebasan IMB untuk membangun infrastruktur telekomunikasi.

Lokasi lahan yang tersedia berada di tengah desa agar bisa menjangkau populasi, bukan di luar desa atau bahkan di gunung. Bakti memiliki prinsip menggunakan Satu Desa Satu Tower BTS yang bisa menjangkau di tengah kampung atau desa tersebut. 

“Seharunsya sudah cukup jika mereka punya pengelolaan keuangan yang bagus,” kata Tesar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.