Hari Ritel Nasional, Bisnis Hypermarket Masih Tersengal

Ritel modern format besar seperti department store dan hypermarket harus mulai menerobos invoasi baru inovasi dan menyesuaikan format layanannya.

Iim Fathimah Timorria

11 Nov 2021 - 19.09
A-
A+
Hari Ritel Nasional, Bisnis Hypermarket Masih Tersengal

Pengunjung berada di Lotus Department Store di Jakarta, Senin (23/10)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis, JAKARTA — Di balik euforia Hari Ritel Nasional 2021 pada hari ini, Kamis (11/11/2021), industri ritel modern format besar masih dihadapkan pada tantangan bertahan yang berat selama dua tahun terakhir.

Peluang bagi bisnis hypermarket dan toserba (department store) untuk bangkit dari keterpurukan pun kian sempit.

Pengamat ritel sekaligus Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo mengatakan ritel modern format besar seperti department store dan hypermarket harus mulai menerobos invoasi baru inovasi dan menyesuaikan format layanannya.

“Semua format [ritel modern], termasuk format besar, punya kesempatan untuk tumbuh. Namun sekali lagi, format besar harus evolusi mengikuti demand konsumen,” ujarnya saat dihubungi, belum lama ini.

Dia berpendapat permintaan konsumen setidaknya mencakup sejumlah aspek yakni kenyamanan (convenient), memberikan pengalaman (experiential), layanan cepat dan yang memberikan pengalaman rekreasi, wisata kuliner, dan pembelajaran.

Dengan ukuran luas yang besar, Yongky mengatakan, ritel format hypermarket dan department store sejatinya bisa mengakomodasi permintaan tersebut. Sayangnya, para pemain lama cenderung tak mengikuti perkembangan.

“Para pemain lama terkungkung dalam kotak dan tidak berubah. Toko hanya seperti kotak besar penuh barang dan perang harga. Tidak mengikuti zaman dan demand konsumen,” katanya.

Melihat prospek ritel 2022 yang cukup positif, Yongky mengatakan pelaku usaha ritel format besar harus segera membenahi layanan yang cenderung belum berkembang.

Dia mengatakan peritel bisa memulai dengan menyediakan layanan kasir yang memadai demi mengantisipasi besarnya volume belanja.

“Belanja di ritel hypermarket cenderung dengan troli besar dan proses check out barang bisa lama, padahal konsumen tidak mau antre lama.”

Pelaku usaha juga bisa mulai mendiversifikasi layanan di dalam toko, misal dengan mengadakan festival produk yang berpotensi menarik minat.

Selain itu, adopsi model integrasi restoran dan toko seperti yang dilakukan IKEA dan AEON dinilai Yongky juga memberi pengalaman berbelanja tersendiri bagi konsumen.

“Ganti look tempat makan seperti kantin di hypermarket dengan restoran kelas kafe. Harus ada makanan yang menjadi signature dari ritel tersebut sehingga dikejar pengunjung,” katanya.

Terakhir, lanjut Yongky, peritel harus mulai meninggalkan budaya perang harga dan fokus membangun nilai.

Transformasi layanan yang diarahkan ke konsumen modern juga perlu dipertimbangkan agar ritel format besar tidak tertinggal.

Sekadar catatan, akhir 2021 digadang-gadang sebagai momen peralihan bagi bisnis ritel modern setelah tertekan selama pembatasan mobilitas. 

Data Bank Indonesia memperlihatkan indeks keyakinan konsumen (IKK) pada Oktober mencapai zona optimis 113,4. Meningkat dibandingkan dengan 95,5 pada September.

Ritel format besar seperti hypermarket dan department store menjadi salah satu yang paling tertekan. Laporan Nielsen Retail Audit menunjukkan ritel hypermarket dan supermarket tumbuh negatif 10,1 persen, lebih dalam daripada penurunan 2019 sebesar 5,8 persen.

Sementara itu, pada kuartal I/2021, penurunan kinerja format ini mencapai 14,5 persen year on year (YoY).

 KECILKAN UKURAN

Di sisi lain, pelaku usaha ritel format besar dinilai harus melakukan penyesuaian ukuran toko untuk menghadapi tantangan bisnis ke depan.

“Dari segi luasan, masyarakat di perkotaan mungkin tidak nyaman dengan format besar. Pada akhirnya memang format besar harus menyesuaikan ke depan sesuai dengan kemampuan bisnis masing-masing ritel,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Fernando Repi.

Fernando mengatakan penyesuaian ukuran berpotensi berimbas pada jenis ritel yang dijalankan pengusaha.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 29/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan, luas toko format hypermarket adalah di atas 5.000 meter persegi (m2). Sementara toko dengan ukuran antara 400 msampai 5.000 m2 masuk dalam kategori supermarket.

“Benar jadi berubah format dan ini masuk efisiensi belanja modal juga. Peritel nantinya juga akan lebih selektif memilih lokasi. Jika tidak menguntungkan akan downsizing,” tambahnya.

Dia mengatakan penyesuaian ukuran toko ritel modern bukanlah hal yang tabu karena menjadi bagian dari upaya mempertahankan bisnis.

Selain itu, Fernando mengatakan peritel format besar juga melakukan sejumlah inovasi untuk menyesuaikan tren konsumen, misalnya dengan digitalisasi layanan dan memperkuat omnichannel.

Terlepas dari tekanan yang dihadapi, Fernando mengatakan kinerja ritel format besar mulai memperlihatkan perbaikan. Hal ini didukung oleh penerapan PPKM level 1 di berbagai daerah yang memungkinkan tingkat kunjungan terkerek.

“Kami perkirakan di kuartal IV/2021 masih negatif, tetapi tidak sedalam kuartal III/2021 ketika terjadi PPKM darurat. Secara bulanan kinerjanya membaik,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.