Masa Depan Komitmen COP26 di Persimpangan

Banyak pemimpin mengatakan Glasgow merupakan kesempatan terakhir untuk membuat perbedaan. Banyak yang mengatakan perhelatan itu perlu menjadi momen penting untuk mengatur dunia pada tren yang berkelanjutan. Namun, beberapa negara seperti meninggalkan komitmen sebelum dimulai.

Nindya Aldila & Sri Mas Sari

10 Nov 2021 - 23.57
A-
A+
Masa Depan Komitmen COP26 di Persimpangan

Warga berjalan di atas jembatan kayu di perkampungan nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, Sabtu (31/7/2021). Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memperkirakan wilayah Jakarta bagian Utara akan tenggelam akibat faktor perubahan iklim, eksploitasi air tanah hingga kenaikan permukaan laut karena pencairan lapisan es akibat pemanasan global./Antara

Bisnis, JAKARTA - Ada kata-kata sulit untuk dan oleh para pemimpin dunia tentang mengapa dunia membutuhkan tindakan iklim yang mendesak saat KTT COP26 sedang berlangsung.

“Kita menghadapi momen kebenaran. Kita dengan cepat mendekati titik kritis yang akan memicu eskalasi lingkaran arus balik pemanasan global,” kata Sekjen PBB António Guterres dengan tajam kepada 120 pemimpin yang datang ke Glasgow pekan lalu.

Pengumuman aksi iklim baru-baru ini mungkin memberi kesan bahwa kita berada di jalur untuk membalik keadaan, tetapi, katanya, ‘ini adalah ilusi’.

Frustrasi pada aksi penanganan perubahan iklim yang lambat adalah tema umum pada awal konferensi.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang menjadi tuan rumah konferensi tersebut, mengatakan, “Saya berada di sana, di Paris enam tahun lalu ketika kami sepakat mencapai nol emisi dan mencoba menahan kenaikan suhu planet hingga 1,5 derajat [Celsius], dan semua janji itu hanyalah bla bla bla– dan kemarahan dan ketidaksabaran dunia tidak akan dapat ditahan, kecuali kita membuat COP26 ini di Glasgow saat kita menjadi nyata tentang perubahan iklim – dan kita bisa.”

Banyak pemimpin mengatakan Glasgow merupakan kesempatan terakhir untuk membuat perbedaan. Banyak yang mengatakan perhelatan itu perlu menjadi momen penting untuk mengatur dunia pada tren yang berkelanjutan. Namun, pemimpin yang lain mempertanyakan kemauan politik di sana.

Perdana Menteri Barbados Mia Mottley dengan tajam bertanya, “Kapan para pemimpin akan mulai memimpin?”

Jika setiap pemimpin setuju bahwa perubahan iklim adalah masalah kritis dan tindakan mendesak diperlukan untuk menjaga kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C, mengapa begitu sulit untuk bergerak maju lebih cepat? Masalahnya bukan lagi negara-negara tidak setuju bahwa ada masalah. Mereka hanya masih tidak setuju tentang siapa yang perlu melakukan lebih banyak, membayar lebih besar, atau mengambil jenis tindakan apa.

Semua orang setuju, misalnya, bahwa negara-negara maju harus menghormati komitmen mereka untuk menyediakan US$100 miliar per tahun kepada negara-negara berkembang dalam pendanaan iklim. Negara-negara maju, sebagai sebuah kelompok, kekurangan US$20 miliar per tahun.

Banyak negara berkembang mengatakan dengan blak-blakan bahwa negara-negara G20, yang bertanggung jawab atas 80% emisi, perlu berbuat jauh lebih banyak untuk menguranginya. Beberapa negara, seperti Australia, mengutamakan teknologi baru. Yang lain, seperti Republik Ceko, khawatir pengurangan bahan bakar fosil secara tiba-tiba akan mendorong kemiskinan dan kerusuhan sosial.

Lalu, siapa yang harus membayar kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim?

Menurut Perdana Menteri Antigua dan Barbuda dan Tuvalu, Gaston Alfonso Browne, pencemar harus membayar. Itulah sebabnya mereka meluncurkan komisi tentang perubahan iklim dan hukum internasional untuk menjawab pertanyaan tentang kerugian dan kerusakan.

“Penggunaan bahan bakar fosil adalah pelanggaran terhadap seluruh umat manusia,” katanya. Komisi akan menggunakan proses hukum untuk membantu mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.

Namun, beberapa negara seperti meninggalkan komitmen sebelum dimulai. Lebih dari 100 negara menandatangani janji akan menghapus deforestasi dari perdagangan global makanan dan produk pertanian lainnya, seperti minyak kelapa sawit, kedelai, dan kakao, pada akhir 2030.

Brasil, Republik Demokratik Kongo, Rusia, dan Indonesia, yang mencakup 85% hutan dunia, ikut menandatangani perjanjian itu.

Saat berbicara tentang deforestasi pada COP26, Senin (1/11/2021), Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia, negara dengan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam terkaya di dunia, berkomitmen melindungi  penyerapan karbon dan modal SDA untuk generasi mendatang.

Namun, selang dua hari, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar berkicau di Twitter bahwa perjanjian itu ‘tidak adil’.

“Pembangunan besar-besaran oleh Presiden Jokowi seharusnya tidak berhenti atas nama emisi karbon dan deforestasi.”

Dunia melihat pernyataan itu sebagai sikap Indonesia yang membingungkan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpidato pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, di Glasgow, Senin (1/11/2021) - BPMI Setpres

TANGGUNG JAWAB

Namun, Siti berargumentasi Indonesia tetap harus bertanggung jawab pada masyarakatnya sendiri. Dia memberi contoh, di Kalimantan atau Sumatra, banyak jalan terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara itu, ada lebih dari 34.000 desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.

Indonesia, tuturnya, cenderung menganut penurunan karbon (carbon net sink), mengurangi seminimal mungkin deforestasi, terus melakukan reforestasi, dan pemulihan lingkungan.

Sikap yang membingungkan juga ditunjukkan Australia. Perdana Menteri Scott Morrison mengumumkan target nol emisi bersih 2050 bulan lalu. Namun, seruan COP26 untuk menghentikan pembangkit listrik batu bara tidak dijawab Negeri Kanguru, salah satu produsen batu bara terbesar dunia. Diwartakan Sky News, Selasa (9/11/2021), negara itu tidak menambahkan namanya ke dalam daftar 190 negara dan organisasi yang berjanji menjauh dari bahan bakar fosil itu. Di samping Australia, China, Jepang, dan India, tidak ikut menandatangani.

Janji pada KTT iklim COP26 untuk mengakhiri penggunaan tenaga batu bara – pada 2030-an atau sesegera mungkin oleh negara kaya dan 2040-an oleh negara-negara berkembang – didukung oleh lima dari 20 pengguna tenaga batu bara terbesar: Korea Selatan, Indonesia, Vietnam, Polandia, dan Ukraina.

Sekelompok negara terpisah, termasuk AS, Kanada, dan Inggris, berjanji untuk mengakhiri investasi luar negeri di bidang batu bara, minyak, dan gas akhir tahun depan.

Berbicara dalam COP26, penyiar, penulis, sekaligus naturalis Sir David Attenborough mengatakan angka kunci untuk fokus adalah jumlah karbondioksida di atmosfer --sekarang 414 bagian per juta (part per million). Ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dan sekitar 50% lebih tinggi daripada era praindustri.

“Orang-orang yang hidup sekarang atau generasi yang akan datang akan melihat konferensi ini dan mempertimbangkan satu hal –apakah jumlah itu berhenti naik dan mulai turun sebagai akibat dari komitmen yang dibuat di sini.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Sri Mas Sari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.