Free

OPINI : Pelurusan Isu Deforestasi & Perkebunan Sawit di Papua

Perkebunan kelapa sawit memegang peranan krusial dalam perekonomian nasional. Kontribusinya meliputi pendapatan, devisa negara, pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan di pedesaan, penyerapan tenaga kerja, dan menjadi sumber berbagai macam barang konsumsi berkelanjutan dalam jangka panjang.

Edi Suhardi

4 Jul 2024 - 06.55
A-
A+
OPINI : Pelurusan Isu Deforestasi & Perkebunan Sawit di Papua

Perkebunan kelapa sawit memegang peranan krusial dalam perekonomian nasional. Kontribusinya meliputi pendapatan, devisa negara, pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan di pedesaan, penyerapan tenaga kerja, dan menjadi sumber berbagai macam barang konsumsi berkelanjutan dalam jangka panjang. Minyak kelapa sawit telah menjadi ekspor non-migas terbesar kedua setelah batu bara, dengan nilai mencapai US$30,3 miliar pada tahun lalu, atau setara 12 persen dari total ekspor nasional.

Sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas perkebunan mencapai 16,8 juta hektare dan total produksi 55 juta ton pada tahun 2023, Indonesia memasok 54 persen pasar minyak kelapa sawit global dan sepertiga dari total pasokan minyak nabati global. Posisi strategis ini menjadikan Indonesia sebagai pemimpin industri sawit yang menentukan arah pasar global.

Minyak kelapa sawit diproyeksikan memainkan peran yang semakin penting sebagai sumber bahan bakar nabati berkelanjutan. Presiden terpilih Prabowo Subianto berkomitmen untuk mempercepat transisi Indonesia menuju energi terbarukan dengan memperluas produksi bahan bakar nabati. Hal ini dilakukan melalui peningkatan penggunaan biodiesel 35 (B35) dari minyak kelapa sawit menjadi B50.

Indonesia masih memiliki lahan luas yang cocok untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, baik secara biofisik maupun agroklimat. Hal ini memungkinkan peningkatan produksi minyak kelapa sawit secara berkelanjutan, asalkan ditopang oleh tata kelola yang mumpuni dan penerapan praktik pertanian yang baik. Peningkatan produksi ini menjadi kebutuhan mendesak untuk memenuhi permintaan produk minyak kelapa sawit domestik dan global.

Papua: Wilayah Potensial untuk Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit

Untuk mencapai tujuan tersebut, peningkatan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia perlu dilakukan melalui dua cara, yaitu, pertama, meningkatkan produktivitas di perkebunan kelapa sawit yang sudah ada. Kedua, melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit di kawasan yang sesuai.

Papua, dengan potensi lahannya yang luas, menjadi wilayah paling potensial untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Pengembangan kelapa sawit, khususnya dengan menerapkan pola plasma minimal 20 persen di Papua, berpotensi menjadi solusi efektif untuk mendorong pembangunan sosial ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat adat setempat.

Meskipun memiliki potensi besar, pengembangan kelapa sawit di Papua terhambat oleh beberapa faktor, antara lain, kekhawatiran investor terhadap risiko kritik dari LSM internasional, penolakan dari kelompok masyarakat adat yang ingin mempertahankan hutan adat dan mengembalikannya kepada pemilik aslinya, dan isu deforestasi dan dampak sosial perkebunan kelapa sawit.

Situasi ini sangat merugikan masyarakat adat Papua, karena potensi besar pembangunan untuk komoditas berkelanjutan yang secara masif bisa membuka akses ke wilayah yang tidak terjangkau, membuka peluang usaha dan kerja, serta meningkatkan kualitas dan taraf hidup masyarakat adat menjadi tertutup karena ketakutan investor atas ancaman dari organisasi dan kelompok dengan agenda anti-sawit.

Daratan Papua tercatat seluas 41,3 juta hektare, dimana 36 juta hektare di antaranya merupakan hutan atau mencakup 87 persen dari total luas wilayah tersebut. Kementerian Pertanian membeberkan data, terdapat 29 konsesi kelapa sawit yang beroperasi di Papua, dengan luas total 225.000 hektare atau setara dengan 0,5 persen luas daratan Papua. Sebuah porsi yang tidak berarti dibandingkan dari luas perkebunan nasional adalah 16 juta hektare. Luas konsesi yang berizin mencapai sekitar 1 juta hektare dan akan lebih besar lagi jika tidak dilakukan tindakan drastis pada 2021, ketika pemerintah Papua Barat mencabut 16 izin konsesi dengan total luas 340.000 hektare.

Data ini bertolak belakang dengan klaim kelompok anti-sawit yang menuduh pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua sebagai momok menakutkan dan mengancam kelestarian hutan Papua. Ironisnya para pegiat anti-sawit tidak menawarkan solusi konkret untuk membantu masyarakat miskin di Papua meningkatkan taraf hidup mereka. Mereka justru terkesan mendukung status quo dan memelihara kemiskinan di Papua, mengabaikan kebutuhan dan program pembangunan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Di lain pihak, investor perusahaan perkebunan sawit berkeyakinan bahwa dengan dipenuhinya persyaratan perizinan, termasuk AMDAL dan izin lingkungan, isu deforestasi dan dampak sosial perkebunan kelapa sawit dapat dikelola dan dimitigasi. Perusahaan juga meyakini bahwa izin yang diterbitkan telah melalui proses uji pemeriksaan yang ketat dan memenuhi semua aspek legalitas.

Selain itu, isu deforestasi di Papua perlu dikaji secara mendalam mengingat secara administratif kawasan yang dialokasi untuk perkebunan kelapa sawit di lokasi yang ditentang berada di kawasan non-hutan atau areal penggunaan lain, sehingga secara hukum, perizinan untuk perkebunan sawit telah memenuhi aspek legalitas.

Sementara, bila kita menggunakan definisi hutan berdasarkan FAO atau penutupan lahan, maka tidak akan ada lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan bukan hanya perkebunan sawit tapi semua program atau proyek apapun. Karena pada intinya semua kegiatan pembangunan memerlukan ruang atau lahan. Upaya terbaik adalah bagaimana kebutuhan ruang untuk pembangunan, seperti sawit ini bisa dipadukan dengan konservasi atau perlindungan lingkungan hidup melalui pembangunan sawit berkelanjutan.

Pemerintah dan semua pemangku kepentingan perlu bekerja sama untuk mencari solusi yang berkelanjutan mengenai hal ini. Perlu ditemukan solusi dan setidaknya bisa dicapai melalui pengembangan kerangka kerja dan regulasi untuk mempercepat pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di Papua. Selanjutnya, memperkuat standar keberlanjutan dengan akomodasi karakteristik sosial budaya yang unik, termasuk penghormatan terhadap hukum adat dan melindungi kepentingan masyarakat adat Papua.

Upaya lainnya adalah dengan melakukan pengawasan ketat terhadap pengembangan pembangunan berkelanjutan di Papua. Lalu, diteruskan dengan membentuk Forum Para Pihak Papua untuk pembangunan sawit berkelanjutan sebagai wadah dialog dan diskusi antar-pemangku kepentingan. Hal ini dikonkretkan dengan menetapkan tata ruang yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan, peluang pembangunan masyarakat berbasis adat, dan peluang industri berkelanjutan. Jangan lupa pula hal yang tidak kalah pentingnya adalah dengan mengadakan pertemuan dengan semua pemangku kepentingan untuk menyepakati kriteria dan parameter untuk area yang ditetapkan untuk pembangunan, termasuk area perkebunan kelapa sawit dan area yang harus dijaga kelestariannya.

Dengan solusi tersebut, diharapkan pengembangan kelapa sawit di Papua dapat terwujud dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan budaya. Pengembangan kelapa sawit di Papua memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pembangunan daerah. Namun, perlu dilakukan dengan cermat dan berkelanjutan, dengan memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan budaya melalui kerja sama dan dialog antarpemangku kepentingan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Nindya Aldila

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.