Skandal Nestle, Refleksi Mahalnya Kepercayaan Konsumen

Geger isu kesehatan produk Nestle semestinya menjadi momentum bagi otoritas pengawas barang beredar di Indonesia untuk mengkaji regulasi teknis soal standar makanan dan minuman olahan layak jual.

8 Jun 2021 - 20.18
A-
A+
Skandal Nestle, Refleksi Mahalnya Kepercayaan Konsumen

Kantor Pusat Netsle di Vevey, Swiss./dok. Nestle

Bisnis, JAKARTA — Isu status kesehatan produk Nestle yang menyeruak pekan ini menjadi tamparan keras di wajah konsumen, tak terkecuali di Indonesia. Korporasi pangan terbesar di dunia itu pun dicap telah mencederai kepercayaan publik.

Sebagai konteks, sebuah artikel dari The Financial Times belum lama ini mengungkap laporan internal Nestle mengenai status kesehatan produk buatan korporasi yang bermarkas besar di Vevey, Swiss itu.

Di dalam laporan tersebut, Nestle mengakui bahwa 60% produk makanan dan minuman (mamin) yang mereka buat tidak memenuhi kriteria sehat yang berlaku.

Menanggapi kabar tersebut, Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Arief Safari berpendapat geger kasus Nestle semestinya menjadi momentum bagi otoritas pengawas barang beredar di Indonesia untuk mengkaji regulasi teknis soal standar mamin olahan layak jual.

Dia tak menampik bahwa semua produk mamin Nestle sejatinya telah layak edar karena di Indonesia.

Sebab, mereka telah memenuhi standar yang berlaku usai melalui pengujian oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mendapatkan izin edar.

Mayoritas pengujian standar peredaran mamin di Indonesia mengacu pada Codex Alimentarius sebagai lembaga standar internasional untuk pangan.

“Semua produk Nestle di Indonesia sudah layak diedarkan karena memenuhi regulasi teknis yang diberlakukan,” kata Arief kepada Bisnis, Selasa (8/6/2021).

Pun demikian, dia tetap menyarankan agar BPOM dapat melakukan tindak lanjut berupa investigasi untuk meyakinkan apakah aspek perlindungan konsumen benar-benar sudah dilaksanakan.

Nestle dan kampanye Pekan Sarapan Pagi Nasional./Bisnis

Menurutnya, BPOM harus mengkaji apakah regulasi teknis yang berlaku telah sesuai dengan acuan standar internasional dan dijamin tidak membahayakan konsumen.

“Apabila membahayakan maka perlu dilakukan revisi atas regulasi teknis yang diberlakukan. Apabila produk yang beredar tidak sesuai dengan regulasi teknis yang ada maka harus dikenakan sanksi dan produknya harus ditarik [dari peredaran],” kata dia.

Dia pun menyebutkan hasil investigasi harus diumumkan ke masyarakat selaku konsumen agar lebih teredukasi mengenai batas gula, garam, dan lemak (GGL) dan bahaya konsumsi bahan tambahan pangan lainnya.

Sebagai informasi, BPKN pada 2014 pernah melakukan kajian soal kandungan GGL pada makanan dan minuman di Indonesia.

Kajian tersebut membuahkan rekomendasi ke pemerintah soal perlunya edukasi kepada masyarakat soal batas konsumsi harian GGL.

Konsumsi maksimal gula disarankan sebesar 50 gram sehari, 2 gram untuk garam natrium, dan 67 gram untuk lemak.

Konsumsi harian yang melebihi batas tersebut berpotensi menyebabkan hipertensi, stroke, diabetes dan penyakit jantung.

“Nestle sebagai pelaku usaha wajib mencantumkan dalam labelnya kandungan nutrisi termasuk GGL sesuai aturan pelabelan di Indonesia agar konsumen mengetahui dan mempertimbangkan hal tersebut sebelum membelinya,” kata Arief.

KURANGI KANDUNGAN

Sebagai sanggahan atas laporan yang beredar, Head of Corporate Communications PT Nestle Indonesia Stephan Sinisuka menyebutkan perusahaan telah mengurangi kandungan gula dan garam pada produk-produk mereka secara signifikan dalam dua dekade terakhir.

Selain itu, perusahaan telah menambah produk-produk bergizi ke dalam portofolio Nestle.

“Di Indonesia kami memproduksi dan mendistribusikan produk-produk sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan, termasuk persyaratan gizi, kualitas, dan keamanan dari BPOM,” kata Stephan dalam pernyataan resmi perusahaan.

Lebih lanjut, dia mengeklaim pemberitaan The Financial Times mengacu pada analisis yang hanya mencakup sekitar setengah dari portofolio penjualan global produk-produk Nestle.

Analisis itu pun tidak mencakup produk-produk gizi bayi/anak, gizi khusus, makanan hewan peliharaan, dan produk kopi.

Jika dilihat dari keseluruhan portofolio berdasarkan penjualan global, Stephan mengatakan kurang dari 30% produk tidak memenuhi standar ‘kesehatan’ eksternal yang ketat.

Produk-produk yang tak memenuhi standar sehat itu pun didominasi produk indulgent (memanjakan) seperti cokelat dan es krim.

Produk-produk mamin buatan Nestle yang beredar di Indonesia./dok. Nestle Indonesia

Sementara itu, BPOM dalam pernyataan resminya hari ini menegaskan pemberitaan soal status kesehatan produk mamin olahan Nestle sejatinya tidak berkaitan dengan keamanan dan mutu pangan.

Otoritas pengawas pangan dan obat-obatan tersebut menyatakan laporan yang diterbitkan berkaitan dengan pencantuman kandungan gizi produk, khususnya kandungan GGL sebagai salah satu faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan.

“Informasi kandungan GGL merupakan bagian dari pencantuman Informasi Nilai Gizi (ING), yang diberlakukan wajib melalui Peraturan BPOM No. 22/2019 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan,” tulis instansi tersebut dalam pernyataan resmi, Selasa (8/6/2021).

Secara global, panduan pencantuman kandungan gizi diatur dalam Codex Guideline on Nutrition Labelling (CAC/GL 2-1985 yang direvisi pada tahun 2017.

BPOM mengemukakan pencantuman ING dilakukan dalam bentuk tabel pada label pangan. Pencantuman dapat pula dilakukan lewat penyertaan informasi tentang panduan asupan gizi harian dan logo ‘pilihan lebih sehat’ pada bagian utama label yang diterapkan secara sukarela.

Sementara itu, model  pencantuman ‘Health Star Rating’ dengan persyaratan kandungan gizi tertentu dan menggunakan peringkat dari bintang setengah sampai dengan lima diterapkan di Australia dan Selandia Baru.

BPOM juga memastikan proses evaluasi terhadap aspek keamanan, mutu, gizi dan label termasuk pencantuman ING dalam memberikan Nomor Izin Edar (NIE) produk pangan olahan, termasuk produk Nestle yang beredar di Indonesia, telah berjalan.

Guna memastikan konsistensi produk beredar sesuai dengan persetujuan saat pendaftaran, BPOM juga melakukan pengawasan keamanan, mutu, dan label termasuk ING melalui sampling dan pengujian.

Otoritas pengawas juga mengingatkan bahwa pelaku usaha wajib menjamin produk yang beredar memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan label.

Kebutuhan gizi individu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia.

“BPOM terus mengimbau masyarakat agar menjadi konsumen cerdas dan tidak mudah terpengaruh dengan isu yang beredar. Selalu lakukan Cek KLIK [Cek Kemasan, Cek Label, Cek Izin Edar, dan Cek Kadaluarsa] sebelum membeli atau mengonsumsi produk pangan,” tutup BPOM dalam pernyataan.

SIKAP PEMERINTAH

Secara terpisah, Kementerian Perdagangan memastikan produk mamin olahan yang beredar di masyarakat telah memenuhi kriteria gizi dan kelayakan edar jika telah melalui tahap pengujian dan mendapat izin edar dari BPOM.

Pengawasan juga terus dilakukan secara berkala demi memastikan konsumen tetap terlindungi.

“Jika mengacu pada UU Perlindungan Konsumen, ada kewajiban [Kemendag] untuk pengawasan penyertaan label dan tanggal kedaluwarsa. Sementara dari sisi sertifikasi dikeluarkan oleh BPOM,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono, Selasa (8/6/2021).

Laporan pengawasan makanan dan beredar pada 2020 yang dirilis BPOM menyebutkan bahwa 10.383 dari 12.319 sampel makanan dan minuman yang diuji dan diawasi telah memenuhi ketentuan label.

Mengacu pada Peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan, produk yang beredar setidaknya harus memuat nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih, nama produsen atau importir, label halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, tanggal kedaluwarsa, nomor izin edar, dan asal usul bahan pangan tertentu.

Selain itu, keterangan tentang kandungan gizi dan nongizi wajib dicantumkan dalam label.

“Jika suatu produk sudah memenuhi kriteria pelabelan, seharusnya untuk keterangan gizi sudah terakomodasi di situ,” kata Veri.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan juga mengatakan pengawasan oleh otoritas perdagangan mengacu pada izin edar yang diberlakukan oleh BPOM dan bukan pada penerapan standar yang diberlakukan di negara lain.

Pengawasan edar barang konsumsi oleh Kemendag sendiri mengacu pada Undang-Undang No. 7/2014 tentang Perdagangan yang memuat kewajiban pelabelan untuk informasi kepada konsumen.

“Selama suatu produk telah mencantumkan informasi sesuai ketentuan berlaku, termasuk izin edar BPOM, maka produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia sudah memenuhi standar yang diberlakukan,” kata Oke.

Aman atau tidaknya produk Nestle—atau produk mamin dari perusahaan mana pun—yang beredar di Tanah Air, sudah semestinya para pemangku kepentingan belajar untuk meletakkan kepercayaan dan keamanan konsumen di atas segalanya.

Jangan sampai skandal Nestle menjadi preseden buruk bagi sektor mamin, sang primadona yang selalu digadang-gadang selama pandemi. (Iim F. Timorria)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.