Waspada Risiko Keterlambatan RI Meratifikasi RCEP

Implementasi RCEP yang tertunda lama bisa membuat RI kehilangan pangsa pasar di negara mitra.

Iim Fathimah Timorria

2 Jan 2022 - 16.30
A-
A+
Waspada Risiko Keterlambatan RI Meratifikasi RCEP

Penandatanganan RCEP oleh 15 negara, Minggu (15/11/2020)./dok. kemendag

Bisnis, JAKARTA — Indonesia diharapkan bisa mengejar ketertinggalan karena menjadi satu dari segelintir negara yang terlambat meratifikasi Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP. 

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio mengatakan RCEP, padahal, merupakan pakta yang memiliki lebih banyak keuntungan bagi Indonesia lantaran sifatnya yang lebih modern dibandingkan dengan perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA). 

“Setidaknya kita akan tertinggal dalam satu kuartal, tetapi yang kita harapkan kita bisa mengejar ketertinggalan. Target surplus yang cukup besar pada 2040 itu menurut saya jadi salah satu tantangan yang besar,” katanya, akhir pekan.

Riset yang dilakukan pemerintah memperlihatkan bahwa neraca perdagangan Indonesia bakal mengalami defisit pada tahun-tahun awal implementasi RCEP. 

Namun, defisit tersebut akan diimbangi dengan kenaikan surplus sampai US$979,03 juta pada 2040 atau 2,5 kali lebih besar daripada surplus saat tidak mengikuti RCEP yang hanya sebesar US$383,06 juta.

“Banyak hal dalam RCEP yang bisa dimanfaatkan. Selain penurunan tarif, ada kemudahan investasi dan ketentuan rules of origin yang juga memang cukup menguntungkan bagi produk ekspor dan masuk dalam rantai nilai global,” tambahnya.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan implementasi yang tertunda lama bisa membuat RI kehilangan pangsa pasar di negara mitra.

Indonesia perlu segera ikut mengimplementasikan demi menjamin keikutsertaan dalam rantai nilai kawasan, mengingat negara-negara Asia Timur peserta RCEP merupakan mitra dagang dan investor terbesar RI.

Shinta juga memberi catatan agar Indonesia bisa terus menjamin daya saing, demi mendorong peningkatan ekspor barang-barang yang telah bergabung dalam rantai nilai kawasan.

Dia mengatakan bahwa esensi pembentukan RCEP adalah untuk mempermudah pembentukan rantai nilai kawasan atau power house produksi manufaktur di Asean. 

Oleh karena itu, peningkatan daya saing iklim usaha dan investasi di dalam negeri menjadi faktor pemanfaatan RCEP yang lebih penting.

“RCEP memberikan akses pasar yang sama luasnya bagi negara-negara Asean. Namun kalau daya saing tidak bisa dipertahankan atau ditingkatkan justru akan menjadi bumerang bagi kinerja ekspor Indonesia,” katanya. 

Sebelumnya, pemerintah memastikan Indonesia dipastikan tidak ikut menikmati implementasi RCEP pada 1 Januari 2022, seiring dengan belum rampungnya proses ratifikasi. 

Namun, pemerintah meyakini Indonesia tetap bisa menyusul ketertinggalan dan mengambil manfaat dari perjanjian dagang terbesar di dunia tersebut.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pembahasan ratifikasi RCEP telah diselesaikan di tingkat Komisi VI DPR RI dan dijadwalkan bisa dibawa ke paripuran pada kuartal I/2021. 

Dengan demikian, implementasi oleh Indonesia setidaknya bisa dimulai pada awal tahun.

"Tentu  konsekuensinya kita tidak berlaku 1 Januari 2022, tetapi berlaku sesudah ratifikasi di DPR RI, kemudian diundangkan oleh pemerintah. Jadi siklusnya demikian dan diharapkan dalam waktu dekat ini sudah bisa diratifikasi," kata Airlangga, Jumat (31/12/2021).

Tujuh negara Asean dan 5 negara non-Asean peserta RCEP telah menyelesaikan ratifikasi dan dijadwalkan menerapkan perjanjian ini pada Sabtu (1/1/2022). 

Beberapa negara yang belum merampungkan ratifikasi selain Indonesia adalah Filipina dan Malaysia.

Airlangga mengatakan Indonesia tetap bisa merasakan manfaat akses pasar meski belum menyelesaikan ratifikasi dengan memanfaatkan kesepakatan bilateral yang telah ada. 

Namun, RCEP tetap bakal dikejar karena perjanjian ini mencakup kesepakatan-kesepakatan modern yang belum tertuang dalam perjanjian perdagangan sebelumnya.

"Kebanyakan daripada negara-negara tersebut sudah ada perjanjian bilateral sehingga tentu ada perluasan pasar yang perlu disiapkan [dengan RCEP]," katanya.

Dia mengatakan kenaikan permintaan global yang berlanjut bisa jadi peluang pemanfaatan bagi perdagangan luar negeri RI. Terlebih dengan fakta bahwa hambatan-hambatan yang ada relatif berkurang dengan RCEP.

RCEP menjadi perjanjian yang penting bagi Indonesia dalam memperdalam keikutsertaan dalam rantai nilai kawasan (regional value chain). 

Sepanjang 2020, 72 persen aliran investasi asing di Indonesia berasal dari negara-negara RCEP dengan Singapura, China, Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia sebagai investor utama Indonesia.

Di sisi lain, negara-negara anggota RCEP merupakan pasar bagi 56 persen ekspor Indonesia. Sebanyak 65 persen impor yang dilakukan Indonesia juga berasal dari negara-negara RCEP.


JANGKA PANJANG 

Airlangga juga menjabarkan sejumlah manfaat jangka panjang bisa dipetik Indonesia jika proses ratifikasi segera diselesaikan.

Dia mengatakan RCEP akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,07 persen pada 2040. Sebaliknya, PDB nasional akan terkoreksi 0,08 persen jika Indonesia tak ikut menerapkan RCEP.

Dari sisi perdagangan luar negeri, riset yang dilakukan pemerintah menunjukkan potensi kenaikan ekspor sampai US$5,01 miliar pada 2040 dengan penerapan RCEP. Di sisi lain, nilai ekspor justru bisa terkoreksi sampai US$228 juta jika Indonesia tidak bergabung dalam RCEP.

"Sektor yang mengalami peningkatan ekspor yakni gas, elektronik, kayu, manufaktur, perkebunan, dan kertas," kata Airlangga.

Nilai impor Indonesia juga diprediksi meningkat US$4,05 miliar jika ikut serta dalam RCEP. Adapun nilai impor berpotensi turun US$158 juta jika Indonesia tidak bergabung dalam blok dagang tersebut.

Sektor yang mengalami kenaikan impor di antaranya makanan olahan, transportasi termasuk kendaraan bermotor dan perlengkapannya, logam, kimia, karet olahan, plastik, serta tekstil dan garmen.

Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan mengalami defisit pada tahun-tahun awal implementasi RCEP. 

Namun, defisit tersebut akan diimbangi dengan kenaikan surplus sampai US$979,03 juta pada 2040 atau 2,5 kali lebih besar daripada surplus saat tidak mengikuti RCEP yang hanya sebesar US$383,06 juta.

Airlangga juga mengatakan RCEP membuka peluang yang lebih besar bagi peningkatan ekspor jasa RI.

"Sektor jasa Indonesia punya keuntungan man hours. [Jasa] kita kan berbeda dengan negara lain, terutama dengan Jepang Australia dan negara-negara lain," sebutnya.

Adapun, fitur penting RCEP yang menyangkut perdagangan jasa adalah penghapusan substansi hambatan perdagangan jasa sehingga akses pasar lebih terbuka. RCEP juga mendorong kerja sama dalam jasa profesional dan fasilitasi pergerakan orang.

Sementara itu, sejumlah produk ekspor Indonesia berpotensi memperoleh akses pasar tambahan melalui implementasi perjanjian Kesepakatan Ekonomi Komprehensif Kawasan atau RCEP. 

Akses ini tidak diperoleh Indonesia dari perjanjian kerja sama yang terjalin sebelumnya antara Asean dan mitra (Asean+1).

Airlangga mengatakan akses pasar tambahan tersebut berasal dari China, Jepang, dan Korea Selatan. Beberapa produk yang bakal dapat akses pasar dengan tarif lebih rendah adalah produk perkebunan, pertanian, otomotif, elektronik, kimia, makanan dan minuman, mesin, dan kehutanan.

"Dengan RCEP Indonesia punya akses pasar tambahan, terutama di China, Jepang, dan Korea Selatan yang selama ini tidak didapatkan dalam perjanjian Asean+1," ujarnya. 

Komitmen eliminasi tarif dalam RCEP sendiri mencakup 92 persen pos tarif seluruh peserta perjanjian. Airlangga mengatakan pembebasan tarif akan berlangsung bertahap dengan persentase penghapusan tarif sebesar 65 persen pada tahun pertama implementasi.

Besaran komitmen akan bertambah menjadi 80 persen pada tahun ke-10 implementasi, 87 persen pada tahun ke-15, dan 92 persen pada tahun ke-20.

Meski komitmen eliminasi tarif dalam RCEP lebih rendah dari beberapa Asean+1 FTA yang telah ada, Airlangga mengatakan RCEP memiliki sejumlah keunikan. Perjanjian ini dia sebut lebih modern dan mengakomodasi penyederhaan aturan kesepakatan perdagangan bebas.

"Ada konsolidasi dari perjanjian Asean+1 dengan 6 mitra dalam RCEP dalam hal penggunaan surat keterangan asal [SKA. Nantinya SKA menjadi lebih mudah, sehingga biaya perdagangan jadi efisien," katanya.

Dia juga menjelaskan bahwa RCEP akan mendorong pendalaman rantai nilai kawasan atau regional value chain (RVC) yang memungkinkan perdagangan bahan baku/penolong di antara negara RCEP.

"Dalam perluasan regional value chain, proses produksi menjadi intermediate goods dan finished goods, ini masuk dalam lingkup beberapa negara dan tentunya diharapkan ini bisa menjadi lebih efisien lagi," kata dia.

Adapun sejumlah produk unggulan ekspor RI dalam perdagangan antara negara RCEP mencakup serat nabati, produk kertas dan bubur kertas, bahan kimia, karet, plastik, produk mineral, besi dan baja, produk perkayuan, makanan, dan produk energi.

Di sisi lain, sejumlah kelompok produk yang bisa diimpor RI dengan lebih mudah lewat RCEP mencakup mesin dan peralatan mekanis, plastik dan barang dari plastik, bahan kimia organik, kendaraan dan bagiannya, produk kimia, ampas sisa industri, dan produk farmasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.