Besi & Baja, Jagoan Masa Depan Ekspor Nonmigas?

Produk besi baja pun digadang-gadang memiliki peluang untuk menggeser dominasi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai tulang punggung ekspor nonmigas.

1 Agt 2021 - 21.03
A-
A+
Besi & Baja, Jagoan Masa Depan Ekspor Nonmigas?

Lembar baja gulungan./istimewa

Bisnis, JAKARTA — Gemilangnya performa ekspor produk besi dan baja dalam beberapa bulan terakhir mulai membuktikan taji dari berbagai investasi asing di sektor tersebut selama beberapa tahun terakhir.

Bahkan, produk besi baja pun digadang-gadang memiliki peluang untuk menggeser dominasi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai tulang punggung ekspor nonmigas.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan kenaikan ekspor besi dan baja yang signifikan tidak terlepas dari kehadiran investasi di industri logam dasar nikel.

Komoditas ini merupakan bahan baku untuk produk baja nirkarat (stainless steel).

“Biasanya diserap China untuk diolah kembali di industri di sana. Impor mereka juga meningkat karena pemulihan berlanjut,” kata Faisal, Minggu (1/8/2021).

Hal ini setidaknya terlihat dari berkurangnya defisit perdagangan Indonesia dengan Negeri Panda yang berjumlah US$9,41 miliar pada 2020.

Nilai tersebut turun dari defisit pada 2019 yang mencapai US$18,70 miliar. Pada 2020, ekspor besi dan baja ke China mencapai US$7,54 miliar.

Per kuartal III/2020, hanya produk aluminium dan baja ringan yang masih stabil penjualannya. Adapin pipa polivinil klorida (PVC), stainless steel, dan alat tukang mengalami penurunan signifikan./HK Metals

Meski prospek pertumbuhan ekspor besi baja makin terbuka, Faisal memperingatkan soal sifat produk tersebut yang menggunakan bahan baku tidak terbarukan.

Terdapat kemungkinan bahan baku untuk produksi bakal berkurang.

“Seberapa lama kita bisa ekspor akan tergantung pada eksistensi bahan bakunya. Untuk itu, isu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memperkuat penghiliran sehingga nilai tambahnya besar,” tambahnya.

Dia mencatat bahwa ekspor stainless steel Indonesia ke luar negeri masih didominasi oleh bahan baku atau penolong dengan nilai tambah yang belum optimal. 

Nilai tambah itu, menurutnya, lebih banyak dinikmati oleh negara importir yang kembali mengolah pasokan barang dari Indonesia.

“Penghiliran perlu diperkuat sehingga nilai tambah tidak hanya dinikmati negara importir. Dari sisi pangsa kita memang sedikit karena kita belum optimal dari sisi penghiliran,” kata Faisal.

Sekadar catatan, Kementerian Perdagangan meyakini ekspor besi dan baja Indonesia bisa terus meningkat jika melihat tren perdagangan dalam beberapa tahun terakhir.

Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan ekspor besi dan baja menunjukkan kinerja positif dalam kurun 5 tahun belakangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa ekspor pada 2017 berada di angka US$3,3 miliar dan menyentuh US$10,8 miliar pada 2020.

“Nilai ekspor terus meningkat  ke US$5,7 miliar, US$7,4 miliar, dan US$10,8 miliar secara berturut-turut dari 2018 sampai ke 2020,” kata Wisnu kepada Bisnis, Minggu (1/8/2021).

Dia melanjutkan bahwa ekspor besi dan baja kembali menorehkan pertumbuhan signifikan pada masa pandemi, yakni sebesar 92,74% pada periode Januari—Juni 2021 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Nilai ekspor mencapai US$8,79 miliar atau hampir menyamai besaran ekspor sepanjang tahun lalu.

“Pada Mei dan Juni 2021 secara berturut-turut nilai ekspor besi dan baja Indonesia sebesar US$1,5 miliar dan US$1,9 miliar. Pertumbuhan ekspor besi dan baja menempati posisi kedua tertinggi ekspor nonmigas Indonesia semester I/2021. Melihat angka tersebut kami optimistis ekspor besi dan baja dapat terus meningkat ke depannya,” tambah Wisnu.

Ekspor besi dan baja pada Juni 2021 juga menggeser nilai yang dicapai oleh ekspor produk minyak sawit yang turun ke peringkat ketiga dengan nilai US$1,89 miliar.

Terlepas dari capaian tersebut, Wisnu tidak memungkiri bahwa produk besi dan baja masih dihadapkan dengan sejumlah hambatan perdagangan berupa trade remedies.

Dia mengatakan bahwa cara yang paling efektif menghadapi situasi tersebut adalah dengan menjalin kerja sama dalam penyelidikan.

Pelaku usaha harus mampu menyampaikan data dengan cerdas dan pemerintah akan berupaya memberikan argumen-argumen pembelaan yang taktis dan akurat.

Adapun, ekspor besi dan baja paling banyak menyasar China dengan nilai US$7,54 miliar sepanjang 2020.

Ekspor produk ini bahkan disebut berhasil memangkas defisit neraca perdagangan dengan Negeri Panda dari US$18,70 pada 2019 menjadi hanya US$9,41 miliar pada 2020.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan besi dan baja, terutama produk dalam kelompok stainless steel, akan menjadi barang yang sangat penting bagi ekspor Indonesia pada masa mendatang.

Meski menghadapi sejumlah hambatan dagang, produk ini mencatatkan pertumbuhan yang menurutnya tidak sedikit.

“Hal ini [ekspor stainless steel] menunjukkan Indonesia berevolusi dari eksportir barang mentah dan setengah jadi menjadi eksportir barang industri dan industri teknologi tinggi,” kata Lutfi belum lama ini.

KONDISI PERDAGANGAN

Di tempat terpisah, pelaku industri berharap pemerintah dapat memperhatikan tren pertumbuhan impor besi dan baja, meski ekspor komoditas tersebut memperlihatkan kenaikan signifikan.

Ketua Umum Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (Indonesian Iron and Steel Industry Association/IISIA) Silmy Karim mengatakan impor besi dan baja terus memperlihatkan kenaikan dalam lima tahun terakhir. 

Impor sempat turun pada 2020 dan kembali naik pada lima bulan pertama 2021. Impor sendiri, kata Silmy, mengganggu keberlanjutan industri baja karbon yang mendominasi perdagangan besi dan baja dunia.

“Ekspor besi dan baja sendiri tumbuh karena didorong ekspor stainless steel sebagai dampak dari kehadiran investasi smelter nikel. Baja karbon juga naik karena ada kenaikan nilai dan volume ekspor oleh Krakatau Steel,” kata Silmy saat dihubungi, Minggu (1/8/2021).

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor besi dan baja tumbuh rata-rata 4,83% dalam kurun 2016 sampai 2020. Sementara itu, untuk periode Januari sampai Mei 2021 tumbuh 33,79% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020.

Jika melihat pada permintaan dunia, Silmy mengatakan permintaan stainless steel cenderung kecil, yakni sekitar 40 juta ton per tahun. Sementara permintaan baja karbon bisa menyentuh 1,5 miliar ton setiap tahunnya.

“Indonesia yang babak belur impor baja karbon. Prospek ke depan impor baja karbon harus turun. Jangan sampai kita menjadi sasaran dagang negara lain dan industri harus dibangun. Masih banyak pekerjaan rumah. Sementara itu ekspor kita masih wait and see. Indonesia tidak bisa langsung berbahagia dengan capaian ini. Apalagi jika Covid-19 tertangani dan ekonomi normal, apa kita masih bisa meningkatkan ekspor masih belum diketahui,” kata dia.

Reporter : Iim F. Timorria

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.