Free

Mengheningkan Cipta bagi Industri Pariwisata

Berdasarkan data terakhir Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (Asita), sebanyak 90% dari total 7.000 perusahaan biro perjalanan wisata di Indonesia sudah tutup sementara sejak April 2020 akibat terlibas dampak pandemi.

11 Mei 2021 - 12.07
A-
A+
Mengheningkan Cipta bagi Industri Pariwisata

Delegasi peserta Annual Meeting IMF-World Bank Group 2018 menonton atraksi budaya di salah satu destinasi wisata di Gianyar, Bali./Bisnis-Ema Sukarelawanto

Bisnis, JAKARTA — Para pelaku industri pariwisata harus mengucapkan selamat tinggal kepada periode emas libur Lebaran tahun ini. Tidak akan ada lagi turis berjubel di destinasi favorit, kamar-kamar hotel yang terokupansi penuh, dan penumpang-penumpang biro travel yang membeludak.

Nahas, sektor yang dahulu dibanggakan sebagai andalan negara dalam meraup devisa itu bak mati suri digulung pandemi Covid-19 selama setahun terakhir. Pengusaha yang berkecimpung di dalamnya kini hanya bisa berharap pada uluran tangan pemerintah untuk bisa bertahan hidup.

Sejak awal tahun, pemerintah menjanjikan bantuan berupa subsidi maupun pinjaman lunak bagi pelaku industri turisme. Janji tinggal janji, hingga mendekati periode Lebaran, realisasinya tak kunjung optimal.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Djunaedi mengeluh subsidi tersebut adalah kebijakan superurgen untuk memperpanjang napas kepariwisataan nasional.

Menurutnya, bantuan tersebut dibutuhkan bukan sekadar situasional atau hanya saat Hari Raya, tetapi berkelanjutan hingga pandemi usai dan aktivitas pelesir berangsur normal.

Untuk itu, dia mendesak asosiasi-asosiasi perwakilan pelaku usaha pariwisata lekas membuat perhitungan-perhitungan detail terkait dengan kerugian yang dialami oleh pelaku usaha sehingga subsidi bisa disalurkan untuk jangka menengah.

"Dengan adanya perhitungan-perhitungan yang matang oleh pelaku industri pariwisata, setidaknya jika pemerintah akan memberikan subsidi bisa disalurkan untuk kebutuhan jangka menengah hingga akhir 2021," ujarnya, Senin (10/5/2021).

Sayang sekali, Didien menyebut hingga saat ini belum ada kalkulasi komprehensif dan akurat mengenai kerugian di masing-masing subsektor turisme yang layak dijadikan landasan bagi pemerintah untuk menghitung besaran subsidi yang seharusnya disalurkan.

Kendati demikian, sejumlah subsektor telah membuat perhitungan kasar terkait dengan subisidi yang dibutuhkan. Subsektor biro perjalanan, misalnya, membutuhkan subsidi senilai Rp300 juta—Rp2 miliar per perusahaan untuk memulihkan diri.

Asumsinya, satu perusahaan biro perjalanan besar saja memiliki total omzet Rp50 miliar. Dengan kebutuhan dana pemulihan Rp500 juta, setidaknya diperlukan stimulus sekitar Rp1 triliun khusus untuk subsektor biro perjalanan wisata.

Berdasarkan data terakhir Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (Asita), sebanyak 90% dari total 7.000 perusahaan biro perjalanan wisata di Indonesia sudah tutup sementara sejak April 2020 akibat terlibas dampak pandemi.

Hal tersebut disampaikan oleh Didien terkait dengan adanya kemungkinan besar bahwa pelaku usaha pariwisata akan tetap merugi pada momen Idulfitri 2021.

Dia memperkirakan pembukaan destinasi wisata lokal di sejumlah daerah tidak akan sanggup memberikan efek signifikan bagi kinerja pelaku usaha sektor pariwisata.

Situasi tersebut memang cukup dilematis bagi pelaku industri. Namun, Didien menilai baik pelaku usaha hotel dan restoran, biro perjalanan wisata, maupun pemain sektor pariwisata lainnya masih dalam posisi bertahan dan memaksimalkan pergerakan wisatawan nusantara.

Sejumlah perwakilan agen perjalanan pariwisata berswafoto dengan penari saat travel gathering bertajuk We Love Bali di kawasan Pantai Pandawa, Badung, Bali, Jumat (4/9/2020)./Bisnis

EFEK DOMINO

Pada perkembangan lain, lesunya pembelian tiket kegiatan wisata melalui biro perjalanan daring bakal memiliki efek domino terhadap sektor usaha pariwisata lainnya.

Untuk diketahui, kontribusi biro perjalanan wisata cukup signifikan bagi sektor usaha di industri pariwisata lainnya, terutama perhotelan.

Pemesanan hotel melalui biro perjalanan wisata daring mendominasi dalam kurun 8 tahun terakhir. Sebesar 70% wisatawan memesan hotel melalui biro perjalanan wisata daring selama periode tersebut.

Wakil Ketua Umum Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies (Asita) Budijanto menilai kondisi saat periode Idulfitri 2021 diperkirakan tidak akan jauh berbeda dari tragedi kelesuan pariwisata saat Lebaran 2020.

Bahkan, tegasnya, ada kemungkinan kondisi tahun ini akan lebih buruk jika melihat sejumlah indikator.

"Hal yang membedakan adalah tahun lalu buying power untuk kebutuhan pariwisata masih ada, sedangkan tahun ini tidak sekuat tahun lalu karena telah satu tahun dilanda pandemi Covid-19," ujar Budijanto.

Pada masa normal, jelasnya, pembelian tiket melalui biro perjalanan pariwisata bisa meningkat hingga dua kali lipat. Namun, tahun ini pembelian tiket di biro perjanan wisata daring dipastikan tidak akan mengalami pergerakan signifikan.

Rata-rata, sambung Budijanto, pada momentum high season seperti Idulfitri, terjadi lonjakan kenaikan omzet dengan kisaran 50%—100% atau 1,5 sampai dua kali lipat dibandingkan dengan masa normal bagi pelaku usaha di sektor biro perjalanan wisata secera keseluruhan.

Adapun, kebijakan larangan mudik yang diberlakukan pemerintah dikatakan membuat masyarakat enggan untuk melakukan perjalanan.

Kendati kemungkinan tempat-tempat wisata akan dibuka pada akhir pekan nanti, pengusaha pesimistis dampaknya akan signifikan terhadap kelangsungan bisnis biro perjalanan pariwisata.

"Sebab, tempat-tempat wisata hanya akan dibuka untuk wisata lokal. Dengan demikian, kondisi periode lebaran Idulfitri tahun ini diperkirakan tidak akan jauh berbeda dari 2020. Kami berharap ada stimulus dari pemerintah," sambungnya.

SEDIKIT TUMBUH

Bagaimanapun, pelaku industri perhotelan masih memiliki secercah harapan terhadap pertumbuhan okupansi kamar saat masa Lebaran nanti.

Walakin, Sekretaris Jenderal Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran memperkirakan kenaikan okupansi kamar hotel bintang pada masa libur Idulfitri tahun ini belum akan mencerminkan pemulihan di sektor terkait.

Bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat okupansi hotel pada epriode Idulfitri tahun lalu berada di level 14,45%.

Capaian tersebut sangat anjlok jika dibandingkan dengan masa-masa normal di mana periode high season Idulfitri tingkat okupansi hotel dikatakan bisa melonjak hingga ke level 100%.

Maulana mengatakan salah satu faktor yang mengindikasikan tidak terjadinya pemulihan meskipun tingkat okupansi hotel diperkirakan mengalami peningkatan adalah masih rendahnya average zoom rate atau harga rata-rata kamar.

"Lebaran kedua biasa terjadi terjadi peningkatan sekitar 80%, dan selama 5 hari masa libur Lebaran bahkan bisa sampai 100%. Sementara itu, untuk average zoom rate-nya meningkat 10%—15%," ujarnya.

Tahun ini, tingkat okupansi hotel pada periode Idulfitri diperkirakan hanya naik ke kisaran 25%—30%. Namun, pertumbuhannya tidak diiringi dengan average zoom rate yang sejauh ini masih rendah.

Dengan demikian, peningkatan okupansi hote pada periode Idulfitri ini dinilai tidak akan signifikan untuk menopang bisnis industri perhotelan dan restoran.

Menurut Maulana, periode Lebaran tahun ini, average zoom rate hotel diperkirakan masih di bawah 30%—40% dari harga rata-rata dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.

Hal tersebut dilakukan oleh sektor perhotelan untuk mengejar break event poin (BEP) karena masih berada di mode survival.

Penurunan juga dipengaruhi oleh penurunan yang terjadi di biro perjalanan wisata daring yang mendominasi pemesanan hotel dalam kurun 8 tahun terakhir. Maulana mengatakan 70% wisatawan memesan hotel melalui biro perjalanan wisata daring selama periode tersebut.

Skenario tersebut memperburuk situasi sektor hotel dan restoran yang saat ini juga diperkirakan melakukan restrukturisasis utang di perbankan dan akan meningkat cukup signifikan pada kuartal kedua tahun ini.

Saat ini saja, ujarnya, terdapat lebih dari 70%s hotel dan restoran yang melakukan reschedule utang secara nasional karena ketidaksanggupan membayar. Biaya operasional seperti gaji karyawan dan listrik disebut menjadi beban utama bagi perusahaan.

Pada akhirnya, pengusaha berharap pemerintah sedikit melunak. Sebab, satu-satunya jalan untuk menolong sektor pariwisata pada kuartal ini adalah melalui kebijakan yang tidak membatasi pergerakan massa sembari tetap menerapkan protokol kesehatan untuk memacu wisatawan domestik.

Namun, sejauh ini pemerintah belum bisa memberikan kepastian untuk pelaku industri sektor pariwisata terkait dengan hal tersebut.

Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini memberlakukan pelarangan mudik bagi seluruh lapisan masyarakat pada hari raya Idulfitri 2021. Terhitung sejak 6—17 Mei 2021. (Rahmad Fauzan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.