Free

EKSPRESI : Deru Mesin Mobil Listrik

Dengan jumlah penduduk yang besar dan sebagian besar diisi oleh anak muda, peluang mengembangkan mobil listrik di Indonesia sangat besar.

Rahayuningsih

18 Sep 2021 - 07.29
A-
A+
EKSPRESI : Deru Mesin Mobil Listrik

Dalam perhelatan Tokyo Motor Show empat tahun lalu, saya berkesempatan mewawancarai Board Member of Volkswagen Group Jurgen Stackmann. Sebagai salah satu produsen mobil berskala global, VW termasuk sangat agresif memproduksi mobil listrik.

Dengan keterbatasan waktu karena harus bergantian dengan jurnalis dari negara lainnya, saya meminta pendapat Stackmann tentang potensi kendaraan listrik di Indonesia. Dengan gestur tubuhnya, dia terlihat antusias saat menyampaikan pandangannya mengenai pasar Indonesia.

Menurut dia, dengan jumlah penduduk yang besar dan sebagian besar diisi oleh anak muda, peluang mengembangkan mobil listrik di Indonesia sangat besar. Meski demikian, dia masih mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjalankan rencana itu.

Alasan Stackmann, memproduksi mobil listrik dibutuhkan investasi besar harus ada dukungan kuat dari pemerintah. Dari aturan, kesiapan infrastruktur, dan produksi yang mencapai skala ekonomi tertentu agar harga bisa sesuai dengan kantong masyarakat.

“Membuat mobil listrik itu tidak mudah, butuh investasi besar dan infrastruktur. Apakah negara Anda sudah siap? Indonesia pasar yang besar, sangat potensial untuk mobil listrik,” ujarnya.

VW termasuk salah produsen listrik yang mampu memproduksi mobil dengan harga yang relatif terjangkau. Pada 2019, VW meluncurkan tipe ID.3 untuk model 45-kWh entry level dengan harga sekitar 27.500 euro atau setara Rp461 jutaan, sedangkan Tesla Model 3 termurah yang tersedia di Inggris dijual 43.490 euro atau Rp729 jutaan.

Tak mudah memproduksi mobil listrik secara massal. VW dan Tesla mungkin sedikit perusahaan yang berhasil mengembangkan sayap di industri ini. Cerita miris dialami oleh LeeCo perusahaan asal China yang didirikan oleh Jia Yueting.

Perusahaan itu bangkrut sebelum produk andalannya yaitu mobil listrik LeSee Pro dipasarkan. Ratusan jutaan dolar yang telah diinvestasikan menguap. Bahkan Jia meninggalkan utang sebesar US$1,7 miliar.

Gagal memproduksi LeSee Pro tak lantas membuat Jia patah semangat. Setelah ‘kabur’ dari China dan pindah ke California, Amerika Serikat, dia membesarkan Faraday Future miliknya. Di perusahaan ini pun, Jia sempat bermasalah dengan keuangan.

Sampai pada 2019, dia menggandeng Eksekutif BMW Carsten Beritfeld. Mimpi Jia memproduksi mobil listrik pun terpenuhi pada pertengahan tahun ini, saat Faraday Future mulai melantai di Nasdaq yang membawa FF91 sebagai produk andalan.

Rekam jejak yang buruk, membuat investor meragukan keberhasilan Faraday dalam memproduksi mobil listrik secara massal. Pada saat pencatatan saham perdananya, saham perusahaan itu anjlok signifikan.

Jia berhasil merealisasikan mimpinya memproduksi mobil listrik setelah melalui berbagai pengalaman pahit. Tak hanya Jia, Tesla dan VW pun menjalani perjalanan yang cukup berat untuk mencapai posisi saat ini.

***

Di Tanah Air, pengembangan produksi kendaraan listrik baru dimulai. Diawali dengan pembangunan pabrik baterai dengan nilai investasi US$1,1 miliar yang berlokasi di Karawang, berkapasitas produksi 10 giga watt per hour pada tahap awal.

Pabrik ini merupakan proyek investasi antara konsorsium asal Korea Selatan yakni LG Energy Solution dan Hyundai Motor Group dengan PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC).

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan pembangunan pabrik baterai ini merupakan bagian dari rencana investasi Korea Selatan senilai total US$9,8 miliar atau setara Rp142 triliun. Diperkirakan pada Mei 2022, pabrik ini akan mulai operasi.

Presiden Joko Widodo dalam pidato yang disampaikan saat Groundbreaking Pabrik Industri Baterai Kendaraan Listrik PT HKML Battery Indonesia mengatakan kehadiran pabrik tersebut merupakan wujud keseriusan pemerintah untuk melakukan penghiliran industri serta mengubah struktur ekonomi yang selama ini berbasis komoditas menjadi berbasis industrialisasi.

Presiden meyakini pengembangan industri baterai listrik ini akan meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi dari industri turunan yang menggunakan baterai, seperti motor listrik, bus listrik, dan mobil listrik. Untuk itu, pemerintah Indonesia berkomitmen penuh untuk memberikan dukungan dan pengembangan ekosistem industri baterai dan kendaraan listrik.

Chairman Hyundai Motor Group (HMG) Chung Euisun menambahkan kehadiran proyek ini diharapkan dapat mendukung bisnis baterai, kendaraan listrik, dan infrastruktur pengisian daya terkait dengan pabrik mobil jadi dari Hyundai Motor.

“Ekosistem kendaraan listrik telah berhasil dibangun, dan diharapkan Indonesia akan berperan penting sebagai pusat bagi pasar kendaraan listrik Asean di masa mendatang,” ujarnya.

Potensi pasar Indonesia harus digarap optimal. Pembangunan pabrik baterai merupakan langkah awal dalam pengembangan kendaraan listrik. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk bisa menjadi pemain utama di Kawasan Asia Tenggara.

Seperti yang disampaikan Stackmann tak cukup potensi pasar yang besar, dibutuhkan modal, kepastian hukum dan regulasi yang mendukung industri. Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Corporate Affairs PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.

"Produksi mobil itu butuh kepastian kebijakan. Kalau ada ketentuan jangan berubah. Produksi belum, sudah berubah, kami susah hitungnya. Otomotif butuh investasi triliunan," ujarnya, Senin (6/9).

Selain regulasi, yang perlu digeber pemerintah adalah pembangunan infrastruktur pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU). Dari informasi yang disampaikan oleh IBC, saat ini Indonesia telah memiliki 32 titik SPKLU dan 33 stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBLU).

Angka di atas tergolong kecil bila memperhitungkan ambisi pemerintah yang menargetkan produksi kendaraan listrik mencapai 400.000 unit pada 2025 untuk mengurangi emisi karbon sebesar 1,4 juta ton.

Ditambah lagi kemampuan tempuh kendaraan ini sangat pendek bila dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak. Akibatnya, ketergantungan terhadap stasiun pengisian daya sangat tinggi.

Paralel dengan pembangunan infrastruktur, persoalan lain yang harus dicarikan solusi adalah harga yang terjangkau. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) bahkan mengusulkan agar harga yang saat ini berkisar Rp600 juta dapat ditekan hingga di Rp350 juta, sesuai dengan daya beli masyarakat.

Minat konsumen terhadap kendaraan listrik di Tanah Air saat ini cukup besar. Berdasarkan data Gaikindo, pada tahun lalu pengiriman mobil listrik ke konsumen naik hampir 100% atau dari 685 unit menjadi 1.108 unit. Pada tahun ini, hingga Juni, penjualan mobil listrik di Tanah Air telah melampaui angka tahun lalu, yakni 1.900 unit.

Kita tentu mengharapkan saat skala ekonomi tercapai, maka harga pun dapat menyesuaikan. Cara lainnya adalah pemerintah memberikan insentif khusus sehingga produsen mampu menekan ongkos produksi.

Terakhir, yang harus mendapat perhatian adalah pengolahan limbah baterai. Kita tentu tidak mengharapkan pencemaran berpindah dari udara ke tanah atau air karena ketidakmampuan mengelola limbah.

Bermula dari Karawang, industri kendaraan listrik memasuki fase baru. Kehadiran pabrik baterai kolaborasi Hyundai, LG, dan IBC diharapkan menjadi pemantik masuknya investasi baru di sektor usaha ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rustam Agus

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.