Free

Remisi Napi Koruptor, Begini Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Meski menyebutkan bahwa semua narapidana berhak mendapatkan remisi, MK menegaskan bahwa pemerintah mempunya syarat tersendiri bagi napi koruptor agar bisa mendapatkan remisi.

Setyo Aji

1 Okt 2021 - 15.25
A-
A+
Remisi Napi Koruptor, Begini Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Terpidana kasus suap Ketua PTUN Medan OC Kaligis (kanan) meninggalkan ruangan usai menjalani sidang pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (8/5/2019)./Antara-Aprillio Akbar

Bisnis, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menyatakan seluruh narapidana, termasuk terpidana kasus korupsi, berhak mendapat remisi. Hal tersebut diucapkan saat MK membacakan putusan uji materi pasal 34A, 36A, 43A, dan 43B PP Nomor 99 Tahun 2012 yang diajukan O.C. Kaligis.

MK menyebut aturan teknis pemasyarakatan harus mengusung konsep keadilan yang memperbaiki (restorative justice). Alhasil, hak remisi harus berlaku sama untuk setiap warga binaan.

Di sisi lain, MK juga menyebutkan mekanisme pemberian remisi sebagaimana diatur dalam UU 12/1995 yang dikaitkan dengan salah satu peraturan pemerintah yang mensyaratkan setiap narapidana korupsi harus mendapatkan predikat sebagai justice collaborator untuk mendapatkan hak remisi.

Terkait hal itu, Mahkamah Konstitusi pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XV/2017 pada Sub-paragraf [3.8.6], menyatakan remisi adalah hak hukum (legal rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995, Pemerintah berwenang mengatur syarat pemberian remisi tersebut.

"Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menyatakan  bahwa Pemerintah diberikan wewenang secara delegasi oleh Pasal 14 ayat (2) UU 12/1995 untuk mengatur lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana dalam bentuk Peraturan Pemerintah," demikian pertimbangan MK.

Perbincangan tentang hak koruptor untuk mendapat remisi mengemuka dalam pertimbangan MK menanggapi gugatan uji materil yang diajukan OC Kaligis.

Sikap KPK

Terkait remisi untuk koruptor, KPK menyerahkan kewenangan remisi narapidana korupsi kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan kewenangan KPK hanya sebatas sampai eksekusi narapidana ke lembaga pemasyarakatan.

"Terkait dengan semua napi berhak mendapat remisi, secara normatif itu sebetulnya aparat penegak hukum itu selesai ketika kita melakukan eksekusi di lapas pemasyarakatan, kewenangan melakukan pembinaan itu sudah beralih ke Kementerian kumham dan ini Dirjen Pemasyarakatan, nah itu," kata Alexander dalam konferensi pers, dikutip Jumat (1/10/2021).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata/Antara

Alex, sapaan karib Alexander Marwata, menyebutkan dalam pemberian remisi, KPK hanya sebatas memberikan rekomendasi. Dia menjelaskan, KPK selama ini selalu dimintai rekomendasi apabila ada napi korupsi yang mengajukan remisi. Salah satu acuan untuk mendapat remisi adalah surat rekomendasi justice collaborator (JC).

Kendati demikian, Alex mengaku tidak tahu pasti apakah surat rekomendasi JC itu dijadikan bahan pertimbangan bagi Kemenkumham untuk memberikan remisi bagi napi koruptor.

"Surat rekomendasi JC itu biasanya untuk mendapatkan remisi tadi. Apakah rekomendasi itu menjadi bahan acuan rapat maupun ditjen PAS untuk memberikan remisi, nah itu sudah di luar kewenangan KPK. Karena apa, KPK tidak bisa juga melarang karena itu bukan domain dari aparat penegak hukum lagi, tetapi ketika mereka meminta rekomendasi ke KPK kita akan sampaikan apa adanya," papar Alex.

OC Kaligis

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terpidana kasus korupsi OC Kaligis yang mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang No.12/1995 tentang Pemasyaratan. 

Obyek gugatan pengacara senior ini adalah Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan, khususnya terkait dengan tafsir konstitusional hak narapidana terkait dengan pemberian remisi.

MK menilai pengajuan uji materi oleh OC Kaligis tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 terhadap Pasal 14 ayat (1) huruf (i) UU 12/1995 dan penjelasannya.

"Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon juga mendalilkan bahwa akibat dari berlakunya Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12/1995 yang bersifat multitafsir telah membuka ruang adanya campur tangan pihak lain dalam penentuan pemberian (hak) remisi bagi narapidana yang lebih ketat dan oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945," ujar MK.

Ilustrasi - Suasana sidang putusan di MK/Antara-Hafidz Mubarak

Lebih lanjut MK menyatakan, "Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, permasalahan demikian bukanlah dikarenakan inkonstitusionalnya norma dalam UU 12/1995 yang dimohonkan pengujian, melainkan merupakan persoalan implementasi norma yang dialami oleh Pemohon, yaitu terkait dengan mekanisme pemberian remisi sebagaimana diatur dalam UU 12/1995 yang dikaitkan dengan salah satu peraturan pemerintah yang mensyaratkan bahwa setiap narapidana tindak pidana korupsi harus mendapatkan predikat sebagai justice collaborator untuk mendapatkan hak remisi." demikian salah satu bunyi putusan MK.

Selengkapnya silakan klik di sini

Berdasar sejumlah pertimbangan, Mahkamah memutuskan menolak seluruh permohonan OC Kaligis sebagau pemohon.  

“Sehingga dengan demikian permohonan pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Hakim MK Suhartoyo, dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi, Kamis (30/9/2021).

Dalam catatan Bisnis, OC Kaligis beberapa kali mengeluhkan soal remisi yang tak kunjung dia dapatkan. Namun demikian, gugatan dan upaya hukum yang dia ajukan di pengadilan selalu kandas.

Pada Mei lalu, misalnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) menolak banding OC Kaligis terkait remisi kepada narapidana yang telah berusia uzur alias lansia.

Korupsi, Terorisme, Narkoba

Sebelumnya,Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan pemerintah tidak memiliki rencana untuk memberikan remisi atau pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi, teroris, dan bandar narkoba.

"Agar clear ya, sampai sekarang pemerintah tidak merencanakan mengubah atau merevisi PP Nomor 99/2012," katanya, melalui video press conference, di Jakarta, Sabtu malam (4/4/2020).

Menko Polhukam Mahfud MD/Antara-Dhemas Reviyanto

Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan ada tiga kategori warga binaan yang tidak mendapatkan hak remisi yaitu kasus korupsi, terorisme dan narkoba.

Hal itu mengemuka saat pemerintah memutuskan untuk memberikan remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana tindak pidana umum untuk mencegah penularan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna Laoly mewacanakan untuk merevisi PP Nomor 99/2012, seiring dengan kebijakan pembebasan tahanan di tengah wabah Corona sehingga mencakup pula narapidana korupsi.

Mengenai wacana revisi PP tersebut, Mahfud menduga apa yang disampaikan Menkumham mendapat usulan atau aspirasi sebagian masyarakat dan menyampaikannya.

"Bahwa itu tersebar di luar itu, mungkin ada aspirasi masyarakat kepada Kemenkumham, kemudian Kemenkumham menginformasikan bahwa ada permintaan masyarakat atau sebagian masyarakat untuk itu," ujarnya.

Namun, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu kembali menegaskan pemerintah tidak memiliki rencana untuk mengubah atau merevisi PP Nomor 99/2012.

"Jadi, tidak ada sampai hari ini itu rencana memberikan pembebasan bersyarat kepada napi koruptor, napi terorisme, dan napi bandar narkoba. Tidak ada," ucap Mahfud menegaskan. (Nancy Junita, Novita Sari Simamora, Saeno)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.