Strategi Medco Kembangkan Energi Baru Terbarukan

PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) memandang energi bersih terbarukan (EBT) perlu dikembangkan sebesar-besarnya di Indonesia. Namun, pengembangan ini harus realistis.

Annisa Kurniasari Saumi

10 Nov 2021 - 18.24
A-
A+
Strategi Medco Kembangkan Energi Baru Terbarukan

Pembangkit listrik tenaga panas bumi Sarulla, Sumatra Utara. Pembangkit berkapasitas 3x110 megawatt ini dikelola Medco Power Indonesia bersama Inpex, Itochu, Ormat and Kyushu Electric./Medco Power

Bisnis, JAKARTA — Peralihan Indonesia menuju konsumsi energi yang lebih ramah lingkungan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, emiten energi terintegrasi PT Medco Energi Internasional Tbk. memandang pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) harus realistis.

Saat ini, kalangan emiten penambang batu bara dan migas umumnya mulai resah memikirkan strategi diversifikasi bisnisnya, seiring dengan komitmen Indonesia pada Perjanjian Paris untuk meninggalkan sumber energi dengan tingkat emisi karbon yang tinggi seperti energi fosil.

Namun, langkah peralihan ini tidaklah mudah dan membutuhkan komitmen investasi yang besar dan waktu yang cukup. Jika peralihan dilakukan secara terburu-buru, risiko investasinya justru sangat besar.

Direktur Utama Medco Energi Hilmi Panigoro mengatakan, pengembangan EBT di Indonesia, Asia Tenggara, dan Asia tidak bisa disamakan dengan Eropa dan Amerika.

"Kita berkomitmen menurunkan karbon, tetapi kita harus realistis dalam masa transisi ini. Kita harus memastikan tetap menyediakan energi yang bisa dijangkau dan berkelanjutan," kata Hilmi dalam Temu Media Nasional Medco Energi, Rabu (10/11).

Dia mencontohkan, salah satu proyek EBT Medco Energi yakni pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Pulau Sumbawa tetap memerlukan migas untuk menjaga transisi ke EBT. Pasalnya, PLTS memiliki sifat intermiten atau tidak stabil.

Oleh karena itu, dia memandang minyak dan gas tetap menjadi hal yang penting dalam masa transisi. "Kita tak ingin saat transisi energi terjadi, infrastruktur pendukung belum jadi, tiba-tiba terjadi kelangkaan," ucapnya.

Lebih lanjut, Hilmi mengatakan bahwa tarif EBT masih belum ekonomis. Dia mencontohkan, Medco sangat intensif mengembangkan pembangkit listrik tenaga geothermal (PLTG). Namun, pengembangan geothermal ini membutuhkan belanja modal US$5 juta untuk menghasilkan 1 MW.

Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) yang memerlukan dana US$700.000.

"Oleh karena itu, perlu sistem tarif yang lebih pintar, misalnya 5 tahun pertama tinggi dulu, setelah 5 tahun capex kembali, bisa lebih rendah. Hal-hal seperti itu yang perlu digalakkan meningkatkan antusiasme investasi di EBT," ucapnya.

Medco sendiri saat ini berkomitmen untuk terus mengurangi emisi karbon. Perseroan pun sudah mempersiapkan strategi untuk itu. Namun, perseroan juga tetap berupaya melakukan eksplorasi dan eksploitasi cadangan migas di blok-blok potensial untuk diakuisisi.

Hilmi mengatakan, operasi yang bersih dan berwawasan lingkungan menjadi prioritas tertinggi perseroan. Dia menuturkan, Medco Energi selalu menginginkan energi yang digunakan paling efisien.

"Apa yang kami lakukan, hampir semua mesin compressor kita gunakan teknologi paling efisien, sehingga dari waktu ke waktu bisa menurunkan emisinya. Flaring, gas-gas yang keluar, semua kita perhatikan, untuk memastikan itu tidak terjadi lagi," katanya.

Dengan upaya tersebut, Hilmi menuturkan sejak 2018 emiten berkode saham MEDC ini telah berhasil menurunkan intensitas karbon dari 248 kilo ton CO2 equivalent per million ton oil equivalent, ke 218 kilo ton CO2 equivalent per million ton oil equivalent.

Selain itu, perseroan juga terus memperbanyak portofolio energi bersihnya. Hilmi mencontohkan di tambang Amman, Pulau Sumbawa, pihaknya tengah memproses pembangunan pembangkit listrik tenaga gas untuk diversifikasi penggunaan batu bara yang ada di sana.

"Kami juga membangun pembangkit listrik tenaga surya 26 MWp di sana," ucapnya.

Dia melanjutkan, dengan platform Medco Power, pihaknya akan membangun banyak portofolio EBT. Proyek-proyek tersebut di antaranya PLTGU Riau 275 MW, aliansi dengan Kansai Electric untuk proyek PLTGU, dan pengeboran sumur geothermal di Ijen untuk pengembangan proyek geothermal 100 MW.

Lalu, PLTS di Bali 2x25 MWp, dan proyek PLTS 670 MWp di Pulau Bulan yang akan diekspor ke Singapura.

Namun, terlepas dari upaya pengembangan EBT itu, perseroan juga tetap menjajaki peluang akuisisi migas. Hilmi mengatakan, dari waktu ke waktu, tim Medco Energi secara proaktif terus mencari peluang untuk melakukan akuisisi.

"Tapi saya tidak bisa menyebutkan satu per satu. Kami selalu aktif mencari peluang akuisisi yang baru," ucap Hilmi.

Di sisi lain, selama 2 tahun ini pihaknya juga terus berupaya mengeksplorasi dan mengeksploitasi cadangan migas di blok-blok potensial. Upaya ini menurutnya membuahkan hasil berupa empat proyek on stream pada tahun depan dan tahun berikutnya.

Pertama, adalah proyek gas Hiu yang diharapkan akan mencapai produksi gas baru 43 juta kubik per hari mulai kuartal II/2022. Proyek selanjutnya adalah proyek gas Belida extension yang akan memproduksi 34 juta kubik per hari, mulai kuartal IV/2022.

Selanjutnya, adalah proyek pengembangan gas lapangan Bronang yang mencapai 50 juta kaki kubik lapangan baru, yang diharapkan terjadi pada kuartal IV/2023. Terakhir adalah minyak dari Lapangan Forel, yang diharapkan bisa menambah produksi 10.000 barrel oil per hari (mboepd) di kuartal IV/2023.

"Forel ini lapangan marginal, tapi dengan kerja sama antara SKK Migas, Kementerian ESDM, dan kami, kami berhasil melakukan breakthrough sehingga dapat diproduksi," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.