Wastra Batik Indonesia : Bukan Sekadar Motif

Batik merupakan kain tradisional yang dilukis menggunakan canting dan cairan lilin yang populer disebut malam sehingga membentuk motif lukisan bernilai seni tinggi di atas kain mori.

Moh. Fatkhul Maskur

3 Okt 2021 - 10.46
A-
A+
Wastra Batik Indonesia : Bukan Sekadar Motif

Batik adalah bahasa tanpa kata dari pembuatnya. - Foto BisnisIndonesia

Wastra Batik Indonesia : Bukan Sekadar Motif

Bisnis, JAKARTA - Batik menjadi salah satu jenis wastra yang telah berusia berabad-abad. Sayangnya, kini batik Nusantara dihadapkan pada tantangan, mulai dari serbuan motif cetak hingga minimnya perajin terampil.

Batik merupakan kain tradisional yang dilukis menggunakan canting dan cairan lilin yang populer disebut malam sehingga membentuk motif lukisan bernilai seni tinggi di atas kain mori.

Sejak ditetapkan sebagai warisan budaya oleh UNESCO 12 tahun yang lalu, batik kian berkembang dan menjadi tren di Tanah Air, bahkan mewakili identitas bangsa di forum internasional. 

Peminat batik juga kian menyebar, bukan hanya masyarakat Indonesia tetapi warga mancanegara. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, nilai ekspor batik pada 2020 mencapai US$532,7 juta, dan pada triwulan pertama 2021 telah mencapai US$157,8 juta. 

Tujuan utama ekspor batik Indonesia juga telah merambah pasar Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan Australia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pertumbuhan nilai ekspor batik didorong diversifikasi dari produk batik. Pemerintah berupaya membuka pasar-pasar baru pada skala global.

“Pemerintah berkomitmen untuk menjadikan batik sebagai seragam resmi pemerintah. Batik yang diproduksi merupakan batik tulis dan batik cap,” ujarnya.

Namun, tingginya permintaan batik di dalam negeri ternyata juga mendorong peredaran batik-batik printing atau sablon yang dijual jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga batik tulis. Akibatnya, keaslian dan makna dari proses membatik itu menjadi terkikis.

“Saya sering iri dengan negara lain, mengapa mereka bisa memegang budaya mereka secara erat dan asli. Keaslian itu, bukan yang abal-abal,” papar Desainer Sonny Muchlison terkait alasan dirinya menggunakan batik dalam karya-karya fesyennya.

Sonny mengaku memiliki mimpi bahwa industri fesyen di dalam negeri dapat menggunakan batik yang asli secara keseluruhan, sehingga membuat semua pihak terkait dengan batik seperti perajin bisa bergairah kembali. “Saya seperti memiliki tanggung jawab,” katanya. 

Saat ini banyak masyarakat menggunakan batik yang tidak asli, misalnya printing. Kondisi ini tidak terlepas dari banyak faktor. Salah satunya adalah kebijakan terkait dengan kewajiban menggunakan batik pada hari tertentu.

Dalam studi yang pernah dia lakukan pada 2010, kebijakan menggunakan batik pada hari tertentu ternyata malah ‘merusak’ batik karena kebijakan itu membuat banyak orang menggunakan batik hanya pada hari-hari tertentu.

Kebijakan itu juga membuat banyak orang berpikiran bahwa menggunakan motif batik printing atau sablon yang berharga lebih murah bukanlah satu masalah. Padahal, batik merupakan suatu proses yang bermakna tinggi dan bukan sekadar motif cetak.

“Itulah sebabnya sempat muncul motif batik dari China dengan printing. Pabrik tekstil di China berpikir kalau 250 juta orang di Indonesia pakai batik setiap Jumat, jadi pasar menarik. Mereka tinggal beli buku motif batik terus dicetak sudah jadi kain batik,” tambahnya.

Selain itu, Sonny tertarik untuk menggunakan atau mengangkat batik dalam karya-karya fesyennya juga karena nilai, budaya, keindahan, dan ciri khas yang ada di dalam setiap batik, dan hal itu berbeda-beda antara satu jenis batik dengan yang lainnya.

Batik adalah bahasa tanpa kata dari pembuatnya. Coba lihat batik yang ada di Yogyakarta yang menggunakan simbol-simbol atau pelambangan tertentu karena menumbuhkan kepercayaan diri atau nilai-nilai filosofi untuk melakukan semuanya.

Seperti Batik Kawung yang menggambarkan motif lingkaran-lingkaran yang berkesudahan yang memiliki arti tentang sirkulasi hidup. Sonny mendapatkan bahan-bahan batik untuk membuat karya fesyen dari para perajin batik di sejumlah tempat.

Dia menuturkan bahwa membuat batik membutuhkan proses yang tidak sebentar. Sebagai contoh, salah satu merek batik di Pekalongan yang sudah terkenal dalam satu tahun hanya menghasilkan antara 5 hingga 7 batik dengan harga bisa sampai Rp100 juta per lembar.

Terkait dengan upaya pelestarian batik, menurutnya, saat ini sejumlah pihak baru pada sebatas memfasilitasi pameran-pameran untuk para pelaku usaha atau perajin batik. Namun, tidak memberikan pelatihan-pelatihan yang diperlukan oleh para pelaku usaha atau perajin batik. 

“Mereka enggak menggelontorkan pelatihan. Mereka hanya memfasilitasi [seperti pameran]. Dikembangkan atau tidak, itu tergantung. Pelatihannya ada mempercepat sistem produksi dengan mengatasna-makan kebutuhan perut,” tambah Sonny.

Para perajin juga perlu menurunkan ilmu membatik kepada anak-anaknya dalam usaha melestarikan batik. Para pelaku usaha batik asli di dalam negeri juga perlu mendapatkan pendidikan tentang marketing dan branding atas produk-produk yang mereka hasilkan.

Jumlah perajin batik seluruh Indonesia, menurut data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) sekitar 140.000 pembatik terampil. Dari jumlah itu, yang berusia di bawah 40 tahun hanya sekitar 30%, sedangkan yang berusia di bawah 30 tahun hanya sekitar 10%.

Dari sisi lainnya, masyarakat perlu diajarkan untuk menyukai budaya, cinta terhadap budaya, dan produk sendiri. Di China, warganya biasa memakai sutra karena masyarakat di sana diajarkan untuk suka dan cinta terhadap budaya dan produk sendiri.

LEBIH DIKENAL

Desainer Ghea Panggabean mengaku menggunakan batik di antara karya-karyanya agar orang lebih tahu dan mengenal batik yang beragam, yang ada di berbagai daerah di Indonesia.

Melalui karya-karya fesyen batik yang dibuatnya, Ghea bercerita tentang batik yang ditampilkan dalam karyanya. Dia tidak selalu menggunakan batik tulis dalam beberapa karya fesyen batik yang dibuat. 

Selain batik tulis, batik cap, juga batik print yang dicampur pernah dia gunakan dalam membuat karya fesyen batik. “Kita harus bantu perajin. Saya sering memakai batik asli untuk fashion show, tetapi kalau untuk saya gunting, saya enggak mau pakai batik tulis,” katanya.

Ghea pernah menggunakan batik bernuansa etnik dengan warna-warni antik. Kemudian, ada juga yang dikombinasikan dengan gaya peranakan. Dia bahkan menyukai batik yang mendapat pengaruh dari budaya India.

Ghea merasa animo masyarakat untuk menggunakan fesyen batik akan tetap tinggi, lantaran wastra tradisional ini sudah sangat dikenal oleh masyarakat, terlebih lagi dalam lingkup tradisi.

Adapun untuk melestarikan batik yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan dan mengembangkan kreasi batik. “Jadi kita berkreasi terus dengan batik supaya orang terbuka [pandangannya], bahwa batik bisa tampil modern. Batik bisa dipakai dengan jeans dan cocok dengan gaya anak muda,” kata Ghea.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Fatkhul Maskur

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.