Menangani Isu Pubertas Remaja Era Digital

Ketika anak menginjak usia remaja, orang tua sebaiknya mulai membuat beberapa perjanjian dengan buah hatinya.

13 Jun 2021 - 10.04
A-
A+
Menangani Isu Pubertas Remaja Era Digital

Ilustrasi remaja./istimewa

Bisnis, JAKARTA — Tidak jarang orang tua bersikap overprotektif saat anaknya mulai beranjak remaja. Apalagi, ketika mengetahui buah hatinya diam-diam mulai mengenal pacaran, dan perlahan-lahan menolak untuk diperlakukan seperti anak kecil lagi.

Pada era keterbukaan arus informasi seperti sekarang, penanganan orang tua terhadap anak baru gede (ABG) pun harus mengalami penyesuaian.

Sebab, mudahnya akses terhadap media sosial menjadikan kecepatan anak menuju kedewasaan semakin bervariasi.

Namun, masih bijakkah langkah untuk melarang atau membatasi anak mengenal kehidupan asmara, sebagaimana banyak dilakukan orang tua zaman dahulu? Seberapa jauh orang tua boleh mengizinkan anaknya dalam menggeluti kebebasan masa remajanya?

Psikolog Klinik Terpadu Universitas Indonesia Depok Ratih Zulhaqqi mengatakan ketertarikan terhadap lawan jenis normal terjadi saat manusia menginjak puber.

Itulah sebabnya ada istilah dating. Namun, di Indonesia, dating selalu disamakan dengan pacaran.

Dia mengatakan ketika anak menginjak usia remaja, orang tua sebaiknya membuat beberapa perjanjian dengan buah hatinya.

“Misalnya, ada ortu yang melarang anaknya pacaran sampai kuliah. Nah, anak harus dijelaskan apa alasannya.”

Selain itu, perbolehkanlah anak untuk berteman dengan siapa saja. Jangan melarang anak berteman dengan lawan jenis, karena dia akan beranggapan bahwa bergaul dengan lawan jenis itu salah.

“Jadi, ketika kita membatasi anak, sebisa mungkin batasan itu jelas apa alasannya, supaya anak juga merasa bertanggung jawab dengan batasan-batasan yang telah disepakati dengan orang tuanya.”  

Menurut Ratih, idealnya anak diperbolehkan pacaran saat menginjak usia dewasa awal alias sekitar 17 tahun atau saat dia sudah berhak memiliki kartu tanda penduduk (KTP)-nya sendiri.

Asumsinya, dia telah mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Namun, bila ada orang tua yang memaksa anaknya untuk tidak berpacaran sama sekali, hal itu merupakan sebuah value keluarga yang tidak bisa diintervensi.

“Kita tidak bisa ikut campur, karena mungkin itu nilai keluarga mereka.”

Ilustrasi ibu dan anak remaja/istimewa

DIGITAL PARENTING

Di lain pihak, upaya orang tua untuk membatasi anaknya dalam hal-hal tertentu saat ini terbentur dengan kemudahan seseorang dalam mengakses informasi sejak usia dini.

Bahkan, semakin banyak anak sekolah dasar yang sudah mulai mengerti ketertarikan pada lawan jenis.

Nah, ini kaitannya dengan digital parenting. Saat ini, internet dan media sosial sudah sangat global, dan anak-anak sudah bisa mengaksesnya dengan mudah, mungkin dari smartphone yang mereka miliki,” kata Ratih.

Menyikapi fenomena itu, orang tua zaman sekarang dituntut untuk lebih bijak dalam membuka interaksi anak di media sosial.

Pertama-tama, orang tua harus melihat pada usia berapa anak diperbolehkan memiliki akun media sosial atau smartphone-nya sendiri.

“Orang tua harus melakukan pembatasan dari sisi usia. Jangan sampai anak SD, tapi handphone-nya terlalu canggih dan bisa akses semua. Dia bisa terpapar pornografi, dan dari situlah biasanya hasrat seksualnya terdorong untuk mengenal pacaran.”

Ketika anak sudah mulai kecanduan media sosial dan terlalu sering mengumbar perasaan di internet, saat itulah ortu dituntut untuk mengambil sikap dengan menyetop akses anak terhadap media sosial.

Lebih lanjut, sebisa mungkin orang tua mengetahui kata sandi (password) akun media sosial anak-anaknya.

Sebab, di dunia maya banyak predator yang berpotensi menjerumuskan anak remaja ke dalam hal-hal yang bersifat negatif.

Permasalahannya, kebanyakan anak yang menginjak usia remaja mulai bersikap tertutup dan menjaga jarak dengan orang tuanya.

Masalah komunikasi itu pula yang kerap mengeruhkan hubungan antara ABG dengan orang tuanya.

“Untuk itu, yang harus dipahami orang tua adalah remaja juga punya privasi. Tapi, privasi berbeda dengan rahasia. Orang tua harus tahu, bahwa kamar anak adalah privasi, sehingga tidak boleh seenaknya menggeledah atau masuk jika anak tidak berkenan.”

Namun, lanjut Ratih, kondisi tersebut boleh dilanggar dalam keadaan membahayakan, seperti saat anak terlalu lama menghabiskan waktu di dalam kamar atau saat anak mulai sangat tertutup dengan orang tuanya.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah memposisikan anak sebagai manusia yang bertanggung jawab.

“Salah satu penyebab anak remaja lebih suka curhat dengan teman ketimbang orang tua adalah karena teman-temannya tidak judgmental.”

Oleh karena itu, orang tua dengan anak remaja disarankan untuk tidak langsung memarahi anak saat mulai curhat tentang lawan jenis.

Biarkan anak merasa diterima, karena para remaja akan lebih terbuka ketika privasinya dihargai.

“Dari sana baru kita bisa menasehati perlahan-lahan. Jangan langsung dimarahi kalau anak mulai curhat tentang ‘cowok ganteng di sekolahnya’ atau naksir cewek. Pada intinya, berikan dia ruang untuk merasakan dukungan keluarga pada masa remajanya.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.