Musim Semi Ekspor APD Berakhir Tahun Kedua Pandemi Covid-19

Ekspor kain meltbown, masker bedah, masker respirator N95, pakaian pelindung medis, dan pakaian bedah selama kuartal I hingga III tahun ini hanya bernilai US$40,58 juta, jauh menurun dari capaian periode yang sama setahun sebelumnya yang mencapai US$175,27 juta.

Iim Fathimah Timorria

9 Des 2021 - 19.55
A-
A+
Musim Semi Ekspor APD Berakhir Tahun Kedua Pandemi Covid-19

Ilustrasi alat pelindung diri (APD) penanganan Covid-19./Dok. Istimewa

Bisnis, JAKARTA — Merebaknya penyebaran Covid-19 varian Omicron diproyeksi tidak akan kembali mengatrol kinerja ekspor alat pelindung diri atau APD buatan Indonesia, yang terus melesu memasuki tahun kedua pandemi.

“Ekspor PPE [personal protective equipment] memang cenderung turun pada 2021 daripada 2020. Kemungkinan pada 2022 juga kembali ke titik normal seperti 2019,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto, Kamis (9/12/2021).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan ekspor 6 produk yang masuk kategori APD dan bahan bakunya mengalami penurunan pada periode Januari sampai September 2021.

BPS mencatat ekspor kain meltbown, masker bedah, masker respirator N95, pakaian pelindung medis, dan pakaian bedah selama periode tersebut bernilai US$40,58 juta, jauh menurun dari capaian periode yang sama setahun sebelumnya yang mencapai US$175,27 juta.

“Penurunan ini cukup masuk akal karena 2020 pandemi baru terjadi, banyak negara masih belum yakin penanganan yang tepat seperti apa. Berbeda dengan 2021 ketika vaksinasi mulai berjalan dan lebih jelas penularan virusnya seperti apa,” lanjut Anne.

Tenaga kesehatan memakai APD/Bisnis

Meski ekspor APD memperlihatkan penurunan, Anne memberi catatan bahwa kontribusi APD terhadap total ekspor tekstil dan produk tekstil sangatlah kecil. Dia mengatakan pertumbuhan ekspor TPT lebih ditentukan oleh kinerja kelompok produk lainnya.

“Kalau memang ada kebutuhan di luar kita bisa segera memenuhi ekspornya. Namun sekali lagi PPE bukan penentu kinerja ekspor TPT,” katanya.

Dengan nilai US$40,58 juta pada Januari sampai September 2021, ekspor APD dan bahan bakunya memang terbilang kecil dibandingkan dengan total ekspor produk dalam kode HS 56, 62, dan 63 yang mencapai US$3,19 miliar.

Pada periode yang sama tahun lalu, ekspor produk dalam kode HS tersebut mencapai US$3,22 miliar.

Prospek ekspor produk APD Indonesia kontras dengan proyeksi ekspor produk perlindungan diri China yang diperkirakan tumbuh jika penyebaran varian Omicron meluas dan memicu lonjakan kasus.

Proyeksi ini seiring dengan berlanjutnya kenaikan ekspor dan impor China pada November 2021 menurut laporan Bloomberg, dikutip dari Bisnis.com

Sementara itu, Pemerintah menyebutkan penurunan ekspor APD pada 2021 disebabkan oleh turunnya permintaan dunia, seiring dengan kasus Covid-19 yang lebih terkendali.

Peluang ekspor APD dinilai tetap positif ke depannya karena produsen dalam negeri telah mampu memenuhi kriteria Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).

“Peluang ekspor produk PPE [personal protective equipment]sangat besar mengingat kita telah mampu memproduksi dengan kualitas yang ditentukan WHO. Namun, permintaan ekspor cenderung turun seiring dengan pandemi Covid-19 yang turun,” kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh, Kamis (9/12/2021).

Elis juga mengatakan bahwa banyak negara yang menerapkan hambatan tarif maupun nontarif untuk APD. Dia menyebutkan sejumlah negara menerapkan bea masuk yang tinggi.

“Untuk PPE ini kita masih dikenakan tarif yang cukup tinggi di beberapa negara. Untuk hambatan nontarifnya berupa standar yang diterapkan negara tujuan ekspor,” tambah Elis.

Data yang dihimpun Kemenperin memperlihatkan bahwa total ekspor APD nonwoven, gaun bedah, masker bedah, dan masker kain sampai Oktober 2021 bernilai US$29,87 juta dengan volume 2.994 ton.

Adapun, sepanjang 2020 ekspor untuk keempat produk tersebut mencapai US$172,03 juta.

Jepang tercatat sebagai pasar utama ekspor APD Indonesia. Negara tersebut mengimpor 1.404 ton gaun bedah Indonesia dengan nilai mencapai US$14,25 juta sampai Oktober 2021.

Adapun, untuk produk lain, India menjadi importir terbesar masker kain asal Indonesia dengan nilai impor sebesar US$2,96 juta, Selandia Baru importir terbesar masker bedah dengan nilai US$1,61 juta, dan Korea Selatan menjadi importir terbesar untuk APD nonwoven dengan nilai US$1,00 juta sampai Oktober 2021.

PROSPEK PASAR

Di sisi lain, prospek perdagangan produk nonmigas terkait penanganan Covid-19 dinilai masih positif. Namun, Indonesia dihadapkan pada tantangan pemenuhan standar produk.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan peluang ekspor produk penanganan Covid-19 tak hanya terbatas pada alat pelindung diri dan produk kebersihan.

Terdapat peluang-peluang lain yang bisa dimanfaatkan RI, di antaranya untuk produk sarung tangan karet, furnitur rumah sakit, dan alat-alat kesehatan seperti pisau bedah, tensimeter, dan stetoskop.

“Hanya saja ekspor alat-alat medis dan produk kesehatan umumnya punya standar pasar yang tinggi dan ketat. Selama kita bisa memastikan pemenuhan standarnya, ekspor sangat bisa dilakukan,” kata Shinta, Kamis (9/12/2021).

Selain masalah standar, Shinta berpendapat kendala yang dihadapi Indonesia adalah lambatnya pertumbuhan industri alat kesehatan di dalam negeri karena tidak ada investasi yang memadai.

Dia mengatakan terdapat produk yang permintaannya masih cukup besar, tetapi Indonesia belum bisa memenuhi pasokan dengan optimal.

“Harusnya iklim investasi di sektor alat kesehatan dan produk kesehatan bisa lebih difasilitasi, diintensifikasi, dan dipromosikan saat ini karena pasarnya sangat besar. Bukan hanya karena pandemi, tetapi juga karena kesadaran lebih tinggi pascapandemi,” tambahnya.

Dia memperkirakan industri kesehatan bisa menikmati pertumbuhan permintaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum pandemi mengingat pemainnya relatif sedikit dan terkonsentrasi di segelintir negara.

“Kalau kita bisa memposisikan diri sebagai emerging supplier atau alternative supplier, ekspor kita bisa tumbuh signifikan,” katanya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpandangan perdagangan produk berkaitan dengan penanganan Covid-19 telah memasuki fase jenuh. Hal ini terlihat dari banyaknya pemain produk penanganan Covid-19 di sentra produksi seperti China.

“Penjualan produk berkaitan dengan Covid-19 sepertinya sudah mulai sunset. Di China sendiri pemainnya sudah terlalu banyak dan market-nya saturated. Selain itu banyak negara sudah mulai mampu memproduksi secara mandiri,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.