Saat Indonesia Ekstrahati-hati Bidik Target Ekspor 2022

Surplus neraca perdagangan 2022 hanya ditargetkan sekitar US$19,1 miliar—US$19,6 miliar, anjlok drastis dari realisasi tahun ini. Apa yang membuat pemerintah tidak terlalu percaya diri dengan kinerja ekspor Indonesia pada tahun depan?

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

25 Nov 2021 - 14.34
A-
A+
Saat Indonesia Ekstrahati-hati Bidik Target Ekspor 2022

Ilustrasi perhitungan neraca perdagangan./istimewa

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah mematok target moderat untuk kinerja ekspor pada 2022. Hal itu tecermin dari proyeksi surplus neraca perdagangan tahun depan yang hanya sekitar US$19,1 miliar—US$19,6 miliar, turun drastis dari torehan tahun ini.

Per Oktober 2021 saja, surplus neraca perdagangan tahun berjalan sudah menembus US$30,81 milair.

Kementerian Perdagangan juga memproyeksikan pertumbuhan ekspor riil barang dan jasa hanya naik 4,16 persen pada 2022.

Adapun, pertumbuhan ekspor nonmigas tahun depan diproyeksikan dapat mencapai 5,40 persen hingga 4,79 persen. Sementara itu, rasio ekspor jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 1,5 persen. 

(BACA JUGA: Misi Sulit RI Berkelit dari Intrik Perdagangan Maritim Global)

Terkait dengan target tersebut, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri mengatakan tantangan dan isu perdagangan pada 2022 akan sangat berbeda dibandingkan dengan tahun ini.

Salah satu isu yang menjadi perhatian pemerintah pada tahun depan, sebut Kasan, adalah soal perdagangan dan emisi karbon yang bakal memengaruhi sejumlah kebijakan perniagaan yang belakangan memengaruhi daya saing produk ekspor Indonesia. 

“Kebijakan perdagangan karbon yang akan ditempuh oleh berbagai wilayah, salah satunya Uni Eropa, pasti akan memengaruhi daya saing produk-produk ekspor kita yang ada kaitan dengan karbon. Ini yang menjadi catatan kita,” kata Kasan, Rabu (24/11/2021). 

(BACA JUGA: Saatnya Indonesia Panen Tuah Ekspor Nonmigas)

Isu emisi karbon itu, lanjutanya, bakal mengundang sejumlah negara menerapkan pembatasan perdagangan melalui kebijakan hambatan tarif dan nontarif. Manuver tersebut bakal memengaruhi secara langsung kinerja ekspor dan impor Indonesia. 

Kendati demikian, dia menggarisbawahi, faktor penentu yang bakal memengaruhi neraca dagang Indonesia pada 2022 adalah siklus komoditas atau commodity supercycle, yang tidak bakal berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau permanen di tengah pandemi Covid-19. 

“Dengan demikian, kenaikan harga komoditas yang berimbas pada [penguatan kinerja] ekspor tidak akan permanen,” tuturnya. 

(BACA JUGA: Euforia Reli Penguatan Ekspor Jelang Tutup Tahun)

Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif atau mulai Januari hingga Oktober 2021 mencapai US$30,81 miliar.

Hingga Oktober 2021, total nilai ekspor Indonesia tercatat mencapai US$186,32 miliar atau tumbuh 41,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Berdasarkan sektor, kontribusi tertinggi berasal dari ekspor industri pengolahan, dengan nilai sebesar US$143,76 miliar atau tumbuh sebesar 35,53 persen dibandingkan periode yang sama pada 2020.

Di samping itu, sektor lainnya yang mencatatkan pertumbuhan tinggi, yaitu sektor pertambangan dan migas, masing-masingnya naik sebesar 87,70 persen dan 52,24 persen. 

BPS juga mencatat total nilai impor pada Januari—Oktober 2021 mencapai US$155,51 miliar, meningkat 35,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan penggunaan barangnya, barang konsumsi tercatat mengalami peningkatan sebesar 34,81 persen.

PERTUMBUHAN EKONOMI

Dari sisi kinerja ekonomi secara makro, kalangan pengusaha juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang relatif moderat pada 2022, yaitu di rentang 3,50 persen—4,75 persen.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan proyeksi itu bersifat konservatif lantaran ketidakpastian dunia usaha masih menganga pada tahun depan. 

Dia menambahkan target pertumbuhan moderat itu pun hanya dapat tercapai jika pemerintah dapat menjaga tren pelandaian kurva pandemi hingga tahun depan. 

“Faktor terkendalinya pandemi dan vaksinasi masyarakat khususnya percepatan vaksinasi di luar Jawa-Bali menjadi poin penting bagi percepatan pemulihan ekonomi pada sisa 2021 yang masih berjalan, serta pada 2022,” tuturnya. 

Dari perspektif ekonom, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memproyeksikan tingkat pertumbuhan ekonomi pada 2022 mencapai 4,3 persen. Ramalan itu lebih rendah dari proyeksi yang ditetapkan oleh pemerintah di rentang 5 persen—5,5 persen. 

Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengatakan proyeksi itu turut memperhitungkan berbagai dampak eksternal dari berlanjutnya pemulihan ekonomi di negara-negara maju yang berpotensi sulit diantisipasi oleh pemerintah tahun depan.

Kecepatan untuk meredam efek samping dari kebijakan stabilisasi negara-negara maju, padahal, bakal menjadi penentu utama keberhasilan mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun depan. 

“Salah satu tantangan utama mencapai target pertumbuhan ekonomi pada 2022 adalah kenaikan harga energi global. Minyak bumi yang menjadi salah satu bahan baku energi utama dunia mengalami kenaikan harga seiring dengan pemulihan ekonomi global yang dimotori oleh negara-negara maju,” jelas Berly. 

Sejalan dengan itu, harga-harga energi substitusinya pun ikut mengalami kenaikan seperti gas alam dan batu bara.

Dia menerangkan kenaikan harga energi akan memicu peningkatan biaya produksi, yang berujung pada naiknya harga-harga produk. Hanya saja, fenomena peningkatan harga terjadi pada saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. 

“Akibatnya, kenaikan harga energi global tidak hanya akan mengerek inflasi, tetapi juga berpotensi memukul tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat secara telak,” kata dia. 

Potensi kenaikan inflasi global yang dipicu oleh kenaikan harga energi dan terganggunya rantai pasok bahan baku, bahan penolong, dan barang konsumsi selanjutnya juga berpeluang mendorong suku bunga global.

Pada umumnya, hal ini akan dipicu oleh kenaikan bunga acuan di negara-negara maju terlebih dahulu, sebelum bergerak ke pasar berkembang.

“Implikasinya gap suku bunga antara negara maju dan negara berkembang menipis dan risiko terjadinya capital outflows meningkat. Situasi ini dapat menjadi lebih runyam lagi jika skenario pengurangan pembelian surat utang pemerintah AS oleh The Fed dilakukan secara agresif.” 

Di sisi domestik, dia mengatakan, pemulihan ekonomi bakal distimulasi oleh sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan primer terutama kebutuhan pangan dan kesehatan, serta sektor informasi dan telekomunikasi yang merupakan backbone ekonomi digital.

Pada 2022 sektor-sektor tersebut masih akan menjadi motor penggerak utama seiring belum pastinya akhir pandemi. 

“Bersamaan dengan itu, mulai membaiknya kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan akan berlanjut pada 2022 dengan tantangan utama kenaikan biaya produksi akibat harga energi, dinamika kurs rupiah, serta belum pulihnya daya beli masyarakat,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.