Harga Pangan Terus Terjebak Beban Logistik, Apa Solusinya?

Biaya logistik memberikan peran 41 persen dari total biaya impor pangan, padahal kontribusi tarif impor pangan hanya 6,39  persen dari total biaya pengadaan pangan di dalam negeri.

Iim Fathimah Timorria

25 Nov 2021 - 15.22
A-
A+
Harga Pangan Terus Terjebak Beban Logistik, Apa Solusinya?

Pedagang melayani pembeli di pasar Pondok Labu, Jakarta, Kamis (23/4/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis, JAKARTA — Indonesia tak kunjung dapat menyeimbangkan disparitas harga sejumlah komoditas pangan di tingkat produsen dan konsumen. Isu klasik beban logistik serta rantai pasok yang terlalu panjang menjadi pemicu utamanya.

Kepala Pusat Distribusi dan Akses Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian Risfaheri mengatakan produksi beberapa komoditas pangan yang pasokannya telah bisa dipenuhi dari dalam negeri belum merata di setiap provinsi.

Hingga saat ini masih terdapat wilayah-wilayah yang masih defisit pasokan sejumlah komoditas pangan, sedangkan beberapa wilayah lainnya justru mengalami surplus. Permaslaahan itu diperparah dengan waktu panen komoditas pangan yang juga berbeda-beda di sejumlah lokasi.

(BACA JUGA: Saat Indonesia Ekstrahati-hati Bidik Target Ekspor 2022)

Kondisi tersebut membuat pasokan pangan dari wilayah yang defisit harus dipenuhi dari daerah lain. Proses distribusi acap kali menimbulkan biaya tambahan yang menimbulkan selisih yang lebar dari harga di produsen dan harga konsumen.

"Rantai pasok sangat panjang dari produsen ke pengguna, kami juga melihat kondisi harga di produsen dan ke mana saja itu didistribusikan tidak terbuka dengan jelas," kata Risfaheri, Rabu (24/11/2021).

Guna mengatasi isu tersebut, Rishaferi mengatakan Kementan turut membantu proses distribusi antardaerah. Sayangnya, volume yang didistribusikan tidak bisa dilakukan secara masif karena biaya logistik yang cukup besar.

"Kami juga melihat konektivitas [antarwilayah] belum memadai. Misal ketersediaan kapal laut, dari jumlah jadwal dan tarif itu tidak pasti," tambahnya.

Dia berpendapat ketiadaan jasa logistik yang terintegrasi dan memadai menjadi penyebab ketimpangan harga tersebut. Namun, dia meyakini harga komoditas pangan bisa turun jika logistik yang lebih mapan disiapkan.

(BACA JUGA: Kawal Stok Jagung Akhir Tahun)

Direktur Utama PT Berdikari Logistik Indonesia Iman Gandi mengamini isu ongkos logistik memiliki kontribusi besar dalam pembentukan harga komoditas pangan impor yang masuk ke Indonesia. Beban dari biaya logistik bahkan melampaui kontribusi tarif dalam impor perpajakan.

"Biaya logistik [hambatan] nontarif ini memberikan peran 41 persen dari total biaya pangan yang diimpor. Kontribusi tarifnya hanya 6,39  persen dari data 2019 dan 2020,” urainya.

Sebelumnya, para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia membentuk Badan Logistik dan Rantai Pasok.

Badan ini dibentuk untuk mendorong peningkatan efisiensi distribusi barang dalam negeri sehingga produk yang diperdagangkan memiliki daya saing lebih tinggi.

Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok Kadin Indonesia Akbar Djohan menilai pandemi telah mengajarkan RI untuk memperbaiki sistem rantai pasok dalam negeri. Tiga sektor yang menjadi fokus dari badan tersebut adalah kesehatan, pangan, dan energi.

"Ini untuk bisa mengadaptasi dan membangun ekosistem rantai pasok yang efektif sehingga memperkuat fungsi distribusi dan revitalisasi jalur komoditas penting," kata Akbar.

Mengutip Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), sejumlah komoditas memperlihatkan disparitas yang cukup besar. Hal ini terutama terjadi di wilayah Indonesia Timur.

Sebagai contoh, harga rata-rata gula pasir secara nasional adalah Rp13.100 per kilogram (kg) dengan harga acuan Rp12.500 per kg. Di sentra produksi seperti Jawa Timur, harga rata-rata gula pasir adalah Rp11.995 per kg. Sementara di Papua harga mencapai Rp15.333 per kg.

Hal serupa juga terlihat pada cabai keriting yang harga rata-rata di Sulawesi Selatan berada di angka Rp27.900 per kg. Namun di Jawa Barat, harganya mencapai Rp45.200 per kg.

JANGKAU SEBAGIAN

Pada perkembangan lain, Perum Bulog (Persero) telah diamanatkan oleh konstitusi untuk menjalankan tugas menjaga ketersediaan dan stabilitas harga pangan. Dari 11 jenis pangan yang ditugaskan, instansi itu justru belum memiliki stok cadangan untuk sebagian komoditas.

Per 11 November 2021, Perum Bulog tercatat mengelola 1,26 juta ton beras, 7.442 ton gula pasir, 189,94 ton tepung terigu, dan 273,82 ton minyak goreng.

Perusahaan tercatat belum melakukan pengadaan jagung pipil kering, terlepas dari harga yang sempat naik di kalangan peternak pengguna.

Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Bulog Mokhamad Suyamto mengatakan terdapat dua pertimbangan dalam menentukan pengadaan stok pangan.

Pertimbangan tersebut mencakup ketersediaan komoditas saat masa panen dan juga sifat dari komoditas, apakah memiliki karakteristik bisa disimpan dalam jangka panjang atau tidak.

“Melihat keadaan tersebut tentu treatment-nya berbeda-beda. Misal yang bisa disimpan lama beras dan jagung. Dalam hal ini kami akan lakukan penyerapan saat panen dan disimpan di gudang, lalu disalurkan saat tidak panen,” kata Suyamto.

Sementara itu, untuk komoditas yang memiliki ketahanan terbatas seperti bawang merah dan cabai-cabaian, Suyamto mengatakan perusahaan tengah menjajal potensi pemanfaatan rantai dingin.

“[Hal] yang pertama kami lakukan bagaimana menyiapkan penyimpanan, jadi berbicara soal cold chain. Bagaimana komoditas disimpan dalam ruang berpendingin sehingga bisa disimpan dalam waktu relatif lama dan tidak mengalami kerusakan sehingga bisa dijual saat tidak panen,” katanya.

Namun, dia tidak memungkiri adanya komoditas yang memang tidak bisa disimpan dalam waktu lama, seperti telur ayam.

Dia mengatakan Bulog dan stakeholder terkait telah beberapa kali membahas soal penanganan stabilitas pasokan telur yang kerap melebihi kebutuhan sehingga harga di pasaran turun.

“Beberapa kali kami sudah diskusikan bagaimana saat produksi melimpah, kita buat jadi tepung telur. Dengan demikian bisa diserap olah dan disimpan,” kata dia.

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menduga terbatasnya peran Bulog dalam stabilitas pasokan dan harga komoditas di luar beras dipengaruhi oleh kesiapan anggaran.

“Dugaan saya bisa salah, tetapi salah satu yang krusial adalah anggaran. Untuk beras saja anggarannya puluhan triliun. Kalau lebih dari satu komoditas, tentu anggarannya akan bengkak,” kata Khudori.

Dia mengatakan bahwa sejauh ini memang belum ada otoritas khusus yang ditugasi menjaga stabilitas pasokan dan harga komoditas pangan sebagaimana Bulog ditugasi menjaga stok beras nasional lewat penyerapan.

Namun, permasalahan ini bisa diurai jika peran Badan Pangan Nasional berjalan sesuai ketentuan.

“Pada akhirnya, pemerintah memang mesti segera menentukan sikap. Tidak bisa membiarkan hal semacam ini [ketidakstabilan pasokan dan harga] berulang sepanjang tahun,” kata dia.

Peraturan Pemerintah No. 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi telah mengamanatkan Presiden untuk menetapkan jenis pangan pokok yang memerlukan instrumen stabilitas pasokan dan harga.

Melalui Peraturan Presiden No. 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, jenis pangan tersebut mencakup beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, tepung terigu, bawang merah, cabai, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.