Ironi Bahan Baku di Balik Tren Ekspansi Manufaktur

Di samping PMI manufaktur yang melonjak dari 52,2 menjadi 57,2 pada Oktober 2021, IHS Markit juga melaporkan dari segi kinerja pemasok, kekurangan pasokan dan permasalahan pengiriman menyebabkan waktu pemenuhan pesanan yang diperpanjang.

Reni Lestari

1 Nov 2021 - 18.34
A-
A+
Ironi Bahan Baku di Balik Tren Ekspansi Manufaktur

Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA — Kendati mencatatkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur tertinggi sejak 2011, industri pengolahan nonmigas di dalam negeri terus terbelit isu kesulitan pasokan bahan baku.

Di samping PMI manufaktur yang melonjak dari 52,2 menjadi 57,2 pada Oktober 2021, IHS Markit juga melaporkan dari segi kinerja pemasok, kekurangan pasokan dan permasalahan pengiriman menyebabkan waktu pemenuhan pesanan yang diperpanjang.

Kondisi permintaan yang lebih kuat memperburuk permasalahan ini pada bulan lalu.

Sementara itu, dari segi harga, perusahaan manufaktur Indonesia mencatat kekurangan pasokan menyebabkan kenaikan harga. Inflasi harga input naik pada kisaran tajam dalam delapan tahun, dengan banyak perusahaan menyebutkan kenaikan biaya bahan baku.

"Akibatnya, perusahaan meneruskan beban biaya yang lebih besar kepada konsumen, mengakibatkan kenaikan harga output, meski kisaran kenaikan lebih lambat sejak September," tulis IHS Markit dalam laporannya, Senin (1/11/2021).

Jingyi Pan, Direktur Asosiasi Ekonomi di IHS Markit, mengatakan pertumbuhan PMI manufaktur paling cepat tersebut tercermin pada perbaikan kondisi akibat pelonggaran lebih lanjut pada pembatasan Covid-19.

Namun, Pan menilai keterbatasan pasokan masih mengakibatkan tekanan harga dan pemenuhan pesanan bagi perusahaan.

"Meski bukan hal yang baru bagi Indonesia, hal ini layak untuk diamati apakah permasalahan pasokan akan menghambat pemulihan ekonomi pada bulan-bulan mendatang," kata Pan.

Selain itu, hal yang mendukung kenaikan indeks PMI adalah kenaikan tajam pada pekerjaan baru dan output pada Oktober, yang mengalami ekspansi pada kisaran rekor.

Bukti anekdotal menunjukkan bahwa perbaikan relatif terjadi pada situasi pandemi di dalam negeri, ditambah dengan pelonggaran pembatasan lebih lanjut, memungkinkan permintaan bertumbuh dan perekonomian pulih.

Namun, permintaan asing kembali mengalami kontraksi meski pada kisaran marginal.

Melihat permintaan secara keseluruhan menguat, perusahaan manufaktur ingin memperluas kapasitas pengoperasian dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja untuk pertama kalinya dalam empat bulan meski pada kisaran kecil.

Akibatnya penumpukan pekerjaan naik, meski tingkat pertumbuhan berkurang dibandingkan pada September.

Kendala bahan baku di industri manufaktur tersebut diamini oleh para pelaku industri kimia.

Ketua Umum Asosiasi Kimia Dasar Organik (Akida) Michael Susanto Pardi mengatakan pada Oktober, harga komoditas dunia naik secara ekstrem sehingga menghambat pemulihan industri.

"Kenaikan harga bisa 50%—100% dalam satu bulan ini,"  katanya, Senin (1/11/2021).

Michael memperkirakan kondisi lonjakan harga bahan baku dapat berlangsung sampai Maret bahkan Juni 2022.

Dia belum memperhitungkan seberapa besar dampaknya terhadap industri, tetapi pasti akan mengurangi daya beli industri hilir yang merupakan pelanggan dari pelaku di hulu kimia.

Michael juga mengatakan pada Agustus-September 2021 kinerja industri kimia sangat rendah karena terdampak PPKM. Memasuki Oktober, ada kenaikan kinerja meski tidak signifikan.

Dia berharap kondisi perbaikan ekonomi nasional dan momentum akhir tahun dapat mengerek kinerja industri pada sisa dua bulan terakhir 2021.

Michael mengatakan selain masalah bahan baku, operasional industri juga belum kembali 100%.
"Masih 50% kira-kira, karena masih antisipasi gelombang ketiga kalau ada dan semoga tidak terjadi," ujarnya.

Pekerja memindahkan bahan limbah yang diambil dari jamu di pabrik PT Industri Jamu Dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO) di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia, Senin (10/2/2014). Bloomberg/Dimas Ardian

JANGAN TERLENA

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho memperingatkan pemerintah dan pelaku industri untuk mewaspadai tantangan tersebut di tengah pemulihan kinerja manufaktur.

"Saya rasa jangan terlena terkait perbaikan ini, kita perlu terus waspada," katanya, Senin (1/11/2021).

Selain mengalami krisis energi, China sebagai pemasok bahan-bahan penting bagi industri dalam negeri, juga mengalami perlambatan permintaan konsumen yang disebabkan klaster kasus Covid-19 baru di utara negara itu.

"Di satu sisi PMI manufaktur beberapa negara tinggi, di sisi lain ada negara yang kasus Covid-nya masih ada. Tentu perlu diwaspadai oleh pemerintah," lanjutnya.

Andry mengatakan antisipasi dengan meniadakan cuti bersama telah efektif menahan permintaan di dalam negeri.

Selain itu, langkah pelaku usaha untuk melakukan pemesanan bahan baku dalam beberapa bulan sebelum pasokan habis juga menjadi faktor yang dapat meredam kemacetan suplai.  

Meski akan ada lonjakan harga karena masalah rantai pasok, Andry berharap kenaikannya tidak akan terlalu tinggi karena dapat mengerek inflasi pada akhir tahun.

"Perlu diantisipasi setidaknya tidak ada kenaikan harga yang cukup eksesif terkait dengan harga-harga yang diterapkan oleh pemerintah," lanjutnya.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menggarisbawahi gemilangnya performa PMI pada Oktober merupakan hasil sinergi antara pemerintah dengan seluruh pemangku kepentingan terkait upaya pemulihan ekonomi.

"Artinya, kebijakan yang ditempuh dalam pengembangan industri di masa pandemi ini sudah berada di jalur yang benar, misalnya pemberian insentif fiskal dan nonfiskal yang dapat meningkatkan permintaan dan mengembalikan utilisasi," kata Agus dalam siaran pers, Senin (1/11/2021).

Agus juga meyakini kondisi industri manufaktur yang ekspansid dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan karena pelau telah memacu produktivitasnya. Hal itu juga diperkuat dengan kondisi kesehatan masyarakat yang makin kondusif.

Lebih lanjut, Agus mengatakan melonjaknya PMI adalah salah satu wujud optimisme yang tinggi dari para pelaku industri manufaktur dalam menilai prospek ekonomi Indonesia ke depan.

"Kepercayaan diri dan daya adaptasi industri di masa pandemi terlihat dari bangkitnya kembali PMI manufaktur Indonesia ke level ekspansif sejak November 2020 dan terus menguat hingga Oktober 2021," imbuhnya.

Di tengah berbagai tantangan global, kinerja industri manufaktur Indonesia secara keseluruhan menunjukkan tren pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun.

Ini terlihat dari kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB yang selalu meningkat dan nilai investasi sektor manufaktur yang selalu bertambah.

Selain itu, kontribusi ekspor yang selalu dominan dalam struktur ekspor nasional, jumlah kontribusi pajak terhadap penerimaan negara, jumlah tenaga kerja yang bertambah, dan resiliensi yang tinggi terhadap gejolak lingkungan termasuk krisis.

"Ini sekaligus menepis pandangan bahwa tengah terjadi deindustrialisasi di Indonesia," ujar Agus.

PMI manufaktur Indonesia pada Oktober tahun ini melampaui capaian sejumlah negara manufaktur dunia, di antaranya India (55,9), Vietnam (52,1), Jepang (53,2), Rusia (51,6), China (50,6), dan Korea Selatan (50,2).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.