Krisis Batu Bara Vs. Kapas, Mana Lebih Membahayakan Sektor TPT?

Ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri tekstil dan produk tekstil atau TPT, dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar.

Reni Lestari & Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

16 Okt 2021 - 12.42
A-
A+
Krisis Batu Bara Vs. Kapas, Mana Lebih Membahayakan Sektor TPT?

Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020)./ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Setelah terancam krisis bahan baku kapas, kinerja produksi industri pertekstilan Indonesia kini tertekan isu kelangkaan batu bara di sejumlah negara.

Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mencatat ongkos energi berkontribusi hingga 25% dari keseluruhan struktur biaya industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dengan sektor serat dan filamen menjadi pengguna terbesar.

Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan instansinya saat ini berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait dengan pemenuhan batu bara di dalam negeri.

Kemenperin telah meminta otoritas tersebut untuk menaikkan domestic market obligation (DMO) industri batu bara yang saat ini dipatok sebesar 25%.

"Kami terus berkomunikasi dengan Kementerian ESDM supaya menjamin ketersediaan batu bara, atau misalnya DMO terus dijaga bahkan dinaikkan," kata Elis saat dihubungi, Jumat (15/10/2021).

Selain itu, Elis juga telah mengupayakan agar produksi batu bara dinaikkan untuk memenuhi kebutuhan industri yang tinggi di masa pemulihan permintaan.

Mengenai harga batu bara yang tinggi, Elis mengatakan angkanya akan otomatis turun jika pasokannya memenuhi kebutuhan.

Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan harga batu bara yang berada di atas US$170 per ton telah mengganggu kelangsungan industri.

Selain harganya yang tinggi mengikuti fluktuasi di pasar internasional, pasokannya juga tidak mencukupi.

"Kami meminta pemerintah untuk intervensi agar pasokan dan harganya terjamin," ujar Redma.

Dia meminta harga batu bara untuk industri diturunkan hingga angka keekonomian yang mencapai US$70 per ton, atau menyamai harga pada 2018—2019.

Redma mengatakan ketersediaan dan keterjangkauan energi menjadi penting untuk menjawab peluang yang dimunculkan oleh kondisi di sejumlah negara pesaing.

Karantina wilayah yang terjadi di Vietnam dan krisis energi di China dan India meninggalkan ceruk pasar, khususnya di dalam negeri, untuk diisi oleh pelaku tekstil domestik. 

KENDALA PASOK

Di sisi lain, ketersediaan bahan baku impor juga menjadi tantangan berat industri TPT seiring dengan berlanjutnya krisis energi di India dan China. Selain itu, harga kapas di pasar dunia juga telah mencapai angka tertinggi dalam satu dekade.

Namun, pelaku industri menjamin tak akan ada kenaikan harga di tingkat konsumen karena masalah bahan baku tersebut.

Redma mengatakan kemacetan suplai bahan baku mendorong integrasi industri TPT dari hulu ke hilir. Terlebih, penggunaan kapas dalam beberapa tahun terakhir telah mampu disubstitusi oleh serat lain seperti poliester dan viscose.

Menurutnya, industri hulu dalam negeri telah mampu memenuhi kebutuhan domestik akan poliester dan viscose.

"Industri tekstil kita integrasinya lumayan membaik sehingga kami tidak khawatir dengan kondisi dunia yang karut marut. Kami menjamin tidak ada kenaikan harga yang signifikan di hilir," ujarnya.

Bagaimanapun, Redma menggarisbawahi, kemungkinan kenaikan harga di hilir dapat disebabkan oleh tingginya ongkos energi khususnya batu bara.  

Dia meminta agar pemerintah segera turun tangan mengintervensi ketersediaan pasokan batu bara untuk industri sekaligus keterjangkauan harganya.

Di sisi lain, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) justru menyambut krisis energi di berbagai negara seperti China dan India sebagai peluang berekspansi di pasar dalam negeri.

Ketua Umum API Jemmy Kartiwa mengatakan kondisi penanganan pandemi yang membaik, ketersediaan bahan baku, dan pasokan energi di dalam negeri harus menjadi peluang pertumbuhan industri.

"Produsen ekspor tekstil dan produk tekstil seperti China, Vietnam, Myanmar, itu penanganan Covid-nya lebih jelek [dari Indonesia]. Banyak order lari ke Indoensia, karena pemulihan ekonomi pasca PPKM sudah cukup baik dan kami harapkan momentum ini jangan sampai lepas," katanya.

Jemmy juga menyebut, momentum pemulihan ditandai dengan rekrutmen yang cukup tinggi di industri tekstil setelah pelonggaran PPKM. Hanya saja, dia menekankan ketersediaan serta keterjangkauan harga batu bara industri di dalam negeri dapat menghambat peluang tersebut.  

"Jangan sampai batu bara habis diekspor sedangkan Indonesia kekurangan," imbuhnya.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian berjanji akan mengamankan pasokan kapas dari Amerika Serikat menyusul kenaikan harga bahan baku itu di pasar internasional yang melampui US$1 per pon untuk pertama kalinya selama hampir satu dekade terakhir. 

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh mengatakan importir kapas dari dalam negeri sudah menjalin kerja sama dengan eksportir Amerika Serikat ihwal pasokan kapas itu untuk kebutuhan garmen. 

“Kami akan menegosiasikan supaya pasokan tetap lancar, supaya itu juga mendukung garmennya di Amerika Serikat jadi semacam barter begitu,” kata Elis saat dihubungi Bisnis.

Elis mengatakan kementeriannya juga turut menjajaki peluang pasokan kapas dari sejumlah eskportir yang ada di India dan Vietnam untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.

Hanya saja, dia mengatakan, industri tekstil nasional selama ini mengambil bahan baku dari China karena harga yang murah. 

“Indonesia banyak mengambil kapas dari Xinjiang karena harganya yang murah, mau tidak mau sekarang kita cari ke produsen-produsen kapas lain, misalnya India atau Vietnam kalau mau menjual kapasnya bukan hanya untuk kebutuhan sendiri,” kata dia. 

Sekadar catatan, kapas berjangka melesat melampaui US$ 1 per pon untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade karena cuaca buruk dan hambatan pengiriman mengancam pasokan, menaikkan biaya pakaian di seluruh dunia. 

Di New York, kontrak untuk pengiriman Desember 2021 naik ke angka US$1,005 per pon, tertinggi sejak November 2011. 

Harga kapas telah melonjak 28 persen sepanjang tahun ini karena permintaan yang ketat terutama dari China, ditambah dengan gangguan pasokan akibat pandemi dan kekacauan logistik yang dipicu oleh naiknya biaya pengiriman.

Makin tinggi harga serat berarti biaya untuk membuat pakaian akan meningkat. Peritel mungkin mencoba membebankan biaya tersebut kepada pelanggan, yang mengakibatkan inflasi untuk segala hal mulai dari T-shirt hingga jeans.

Ini dapat mengekang permintaan dan menekan margin untuk pembuat pakaian jadi seperti Levi Strauss & Co.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.