Lockdown Bantu Disabilitas Kerja Produktif, Harus Ngantor Lagi?

Sulit bagi karyawan membuktikan mereka kehilangan peran atau dilewatkan untuk promosi karena disabilitas, yang menyebabkan banyak orang beralih ke kerahasiaan. Di sisi lain, kenyamanan bekerja dari rumah justru membuat penyandang disabilitas lebih proiduktif dalam berkarya.

M. Syahran W. Lubis

7 Nov 2021 - 20.18
A-
A+
Lockdown Bantu Disabilitas Kerja Produktif, Harus Ngantor Lagi?

Ilustrasi aktivitas di perkantoran./Reuters

Bisnis, JAKARTA – Pekerja penyandang disabilitas dan sakit kronis takut mereka akan dihukum karena mengungkapkan kondisi mereka. Lantas, apakah pandemi Covid-19, yang memicu bekerja dari rumah, justru membantu mereka?

Ketika Grace, 24 tahun, mengalami dislokasi siku di tempat kerja, dia tidak memanggil ambulans atau pergi ke rumah sakit. Sebagai gantinya, dia diam-diam pergi ke kamar mandi untuk mengembalikan sendi ke tempatnya sebelum kembali ke mejanya.

Bagi Grace yang berbasis di Manchester, Inggris, yang menderita Sindrom Ehlers Danlos, kondisi yang menyebabkan dia mengalami nyeri sendi yang ekstrem, kelelahan kronis, ketidakstabilan sendi, dan sering terkilir, ini kejadian umum. Dia sering sangat kesakitan sambil ke toilet untuk menangis, sebelum kembali ke mejanya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

“Saya bekerja sebagai penulis dan sering menyembunyikan fakta bahwa saya sangat kesakitan karena saya takut terlihat lemah atau tidak mampu dalam peran saya,” papar Grace, yang nama keluarganya dirahasiakan untuk melindungi kekhawatiran seputar pengungkapan disabilitasnya.

Seseorang penyandang disabilitas lebih mudah mengelola masalahnya ketika bekerja di rumah sehingga lebih produktif daripada bekerja di kantor./BBC

“Saya merasa canggung untuk menjelaskan kondisi saya kepada rekan kerja. Saya pikir lebih mudah untuk menyembunyikannya,” tuturnya.

BBC memperkirakan 4,4 juta orang cacat—memiliki gangguan fisik atau mental dengan dampak substansial atau jangka panjang pada kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas normal sehari-hari—saat ini bekerja di Inggris.

Ada sedikit data konkret tentang berapa banyak orang seperti Grace yang menyamarkan disabilitas di tempat kerja, tetapi para ahli percaya stigma seputar banyak disabilitas dan penyakit jangka panjang berarti tidak jarang individu merahasiakan kondisinya dari atasan dan rekan kerja mereka.

“Alasan sederhana mengapa penyandang disabilitas tidak mengungkapkan disabilitas mereka adalah karena sering muncul rasa takut,” kata Cat Mitchell, dosen di University of Derby, Inggris, yang penelitiannya berfokus pada hambatan yang dihadapi karyawan penyandang disabilitas dan pencari kerja.

Rasa takut itu menyangkut akan timbul perlakuan berbeda, mendapatkan lebih sedikit peluang di tempat kerja, dan itu akan memengaruhi penyandang disabilitas bersangkutan untuk maju, atau bahkan memicu kekhawatiran mereka akan dipecat.

Dalam penelitiannya, Mitchell menemukan bahwa seperempat dari mereka yang disurvei menyembunyikan kecacatan mereka dari departemen SDM, dan hanya 36% yang terbuka dengan rekan kerja tentang kondisi mereka.

Dia mengatakan bahwa terlepas dari undang-undang kesetaraan, tetap sulit bagi karyawan untuk membuktikan bahwa mereka telah kehilangan peran atau dilewatkan untuk promosi karena disabilitas, yang menyebabkan banyak orang beralih ke kerahasiaan.

Dalam banyak hal, hampir 2 tahun terakhir telah mengubah situasi pekerja penyandang disabilitas. Lockdown akibat pandemi Covid-19 menawarkan kesempatan bagi mereka yang menyamarkan kondisi untuk membuat penyesuaian ruang kerja mereka sendiri tanpa takut dihakimi. Namun, beberapa orang berpendapat bahwa dampak positif dari bekerja dari rumah hanya sebentar atau sementara.

Ketakutan yang dirasakan banyak penyandang disabilitas untuk mengungkapkan kondisi mereka bukanlah tidak berdasar. Penelitian menunjukkan bahwa satu dari tiga orang melihat penyandang disabilitas kurang produktif dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bukan penyandang disabilitas, keyakinan yang sering dimainkan dalam situasi tempat kerja.

Di Inggris Raya, 17% orang dewasa dengan disabilitas melaporkan bahwa tawaran pekerjaan ditarik karena disabilitas mereka dan 30% mengatakan bahwa mereka merasa tidak dianggap serius sebagai kandidat karena disabilitas mereka.

Data dari satu penelitian di Prancis menunjukkan bahwa kurang dari 2% orang yang menyebutkan bahwa mereka memiliki disabilitas di CV mereka dipanggil untuk wawancara. Di AS, tingkat pengangguran untuk penyandang disabilitas baru-baru ini naik dari 7% menjadi 12,6%.

"Ini perasaan yang rentan, berpikir bahwa seseorang akan menilai Anda dan kemampuan Anda untuk melakukan pekerjaan atau tugas berdasarkan kesehatan atau gangguan Anda," kata Rachael Mole, CEO SIC, organisasi nirlaba yang membantu penyandang cacat dan orang sakit kronis untuk menemukan majikan yang dapat diakses dan inklusif.

“Harus membenarkan diri sendiri, merasa harus melakukan lebih banyak lagi untuk menebus kelemahan yang dirasakan, menjelaskan kesehatan Anda secara berlebihan untuk mengambil cuti sakit, itu melelahkan,” lanjut Mole.

TERBANTU LOCKDOWN

Setelah berjuang menyembunyikan kecacatannya selama berbulan-bulan, pandemi memberi Grace jeda yang mengejutkan dari masalah kantornya.

Lockdown membuat lebih mudah untuk menyembunyikan kondisi saya, karena saya bisa beristirahat jika saya kesakitan. Saya bisa minum obat penghilang rasa sakit sepanjang hari dan tidak khawatir terlihat kosong di kantor. Saya juga tak perlu membawa tas berat dan laptop saya di transportasi umum, yang memperburuk rasa sakit saya masa lalu,” paparnya.

Mitchell percaya Grace adalah salah satu dari banyak pekerja yang menemukan lockdown—dan selanjutnya mendorong bekerja dari rumah—membantu mereka mengelola kecacatan tersembunyi.

Menurut Mitchell, pergeseran luas ke dunia kerja jarak jauh menormalkan cara kerja yang dapat menguntungkan karyawan yang cacat atau sakit kronis selama bertahun-tahun ke depan, selama perusahaan menerapkan pengaturan baru yang fleksibel.

“Sebelum pandemi, banyak penyandang disabilitas, termasuk saya, berjuang mendapatkan izin berhari-hari bekerja dari rumah. Bahkan ketika kami memilikinya, rekan kerja sering menganggapnya sebagai libur atau tidak percaya bahwa kami bekerja cukup keras saat jauh dari kantor. Secara keseluruhan, ada banyak keuntungan dari memiliki kontrol lebih besar atas lingkungan kerja kita dan pandemi menunjukkan kepada kita bahwa ini tidak mengorbankan produktivitas,” ujarnya.

Lingkungan kerja yang lebih nyaman dan fleksibel menjadi lebih umum selama pandemi, yang memberikan manfaat besar bagi pekerja penyandang disabilitas dan penyakit./BBC

Bagi banyak orang, beralih ke pekerjaan jarak jauh mengubah hidup. Bethan Vincent, 30 tahun, dari York, Inggris, menghabiskan bertahun-tahun berjuang untuk mengelola endometriosis (kondisi ketika jaringan yang membentuk lapisan dalam dinding rahim tumbuh di luar rahim) di lingkungan kantor.

Bekerja di industri teknologi, dia khawatir kondisinya disalahpahami atau dipandang sebagai kelemahan di tempat kerja yang didominasi pria, sehingga memilih menyembunyikan masalah medisnya.

Setelah bekerja dari rumah selama pandemi benar-benar mengubah kemampuannya untuk mengelola kondisinya, Bethan memutuskan meninggalkan tempat kerjanya sebelumnya dan memulai bisnisnya sendiri sehingga memberikan dirinya kendali penuh untuk bekerja dari jarak jauh secara permanen.

Dia menuturkan bahwa bekerja dari rumah adalah anugerah besar, karena dia bisa duduk dengan botol air panas sepanjang hari jika diperlukan.

“Saya masih bekerja sepekan penuh, tetapi jika saya perlu mengambil 1 jam di pagi hari untuk istirahat, saya bisa melakukannya. Saya dapat mengatur jadwal saya sepenuhnya untuk memastikan berada di lokasi dengan fasilitas kebersihan yang memadai saat diperlukan.”

Saat Bethan ingin mempekerjakan staf sendiri, dia berharap dapat menciptakan lingkungan di mana dia bisa terbuka tentang endometriosisnya dengan cara yang tidak bisa dia lakukan dalam peran sebelumnya. Dia ingin karyawannya merasakan kebebasan yang sama dan dapat meminta penyesuaian apa pun yang mungkin mereka perlukan. Para ahli percaya bahwa pendekatan serupa menjadi jauh lebih umum selama pandemi, karena pekerjaan jarak jauh membuka jalan baru untuk membahas aksesibilitas.

Mole mengutarakan pula bahwa pembicaraan seputar disabilitas, kesehatan mental, dan akses dukungan pasti telah bergeser selama Covid. Dia melihat perusahaan mengevaluasi kembali bagaimana mereka mendukung karyawan dengan berbagai kebutuhan.

"Pertanyaan tentang 'apa yang Anda perlukan untuk menyelesaikan pekerjaan Anda dari rumah' membuka percakapan bagi orang cacat dan sakit kronis untuk meminta kursi dan meja adaptif dan jam fleksibel yang tidak ditawarkan sebelum pandemi," ucap Mole.

JADI PENINGGALAN?

Akan tetapi, dengan pembatasan berbasis pandemi sekarang bergulir kembali di banyak negara, beberapa pekerja penyandang cacat khawatir kondisi yang memungkinkan mereka untuk bekerja lebih nyaman bisa segera menjadi peninggalan masa lalu pandemi.

Perusahaan Grace sekarang meminta dia kembali ke kantor hingga 3 hari per pekan, dan kembalinya ke perjalanan memperburuk nyeri bahunya. Dia berjuang dengan mengurangi obat penghilang rasa sakitnya untuk tampil lebih hadir di sekitar rekan kerja dan merasa semakin sulit untuk mengelola gejala Sindrom Ehlers Danlos.

"Saya tidak bisa memprediksi kapan saya akan mengalami rasa sakit yang bergejolak,. Saya lebih suka bekerja dari rumah dan mengelola kondisi saya dengan cara saya sendiri daripada harus pulang dengan rasa sakit karena bekerja di kantor,” kata Grace.

Bagi pekerja seperti Grace, pandemi menawarkan visi yang melampaui penyesuaian kecil pada cara kerja mereka. Tantangannya sekarang adalah bagaimana dan apakah pengusaha akan menerapkan ini pada masa depan atau apakah mereka akan kembali ke masa lalu yang kurang dapat diakses.

Bagi mereka yang masih menyembunyikan disabilitas, Mitchell berpendapat bahwa tanggung jawab seharusnya tidak ada pada mereka yang berurusan dengan disabilitas sehari-hari untuk berbicara. Sebaliknya, pengusaha harus fokus pada penciptaan lingkungan agar penyandang disabilitas diterima dan berpotensi merasa nyaman untuk mengungkapkan masalahnya kelak.

Dia juga percaya perusahaan yang membuat perubahan ke arah inklusivitas dan dukungan tidak hanya menguntungkan mereka yang berurusan dengan disabilitas tersembunyi, tetapi juga dapat merevolusi cara kita memahami pekerjaan serta apa artinya menjadi karyawan yang produktif dan kekinian.

Mitchell  menyebutkan bahwa meski kerja fleksibel menjadi ungkapan yang banyak digunakan dalam diskusi pandemi seputar praktik kerja, ironisnya tidak begitu fleksibel. Daripada hanya memperkenalkan waktu fleksibel yang terbatas dan beberapa hari bekerja dari rumah, menurut dia, sekarang saatnya untuk sepenuhnya merombak cara bekerja.

“Kami bukan robot yang dapat secara konsisten produktif dalam rutinitas hingga 5 hari sepekan. Merancang pola kerja kami dengan cara yang paling sesuai dengan penyandang disabilitas sebenarnya membawa perbaikan bagi semua orang,” ujarnya menggarisbawahi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Syahran Lubis

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.