Manufaktur Berkibar Akhiri 2021, Berdebar Masuki 2022

Kendati PMI manufaktur Indonesia pada Desember 2021 sukses bertahan di level ekspansif 53,5; kinerja industri memasuki 2022 diproyeksi makin menantang, khususnya dalam hal substitusi impor komoditas bahan baku.

Reni Lestari

3 Jan 2022 - 10.00
A-
A+
Manufaktur Berkibar Akhiri 2021, Berdebar Masuki 2022

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat mengunjungi pabrik HSM 2 milik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. /Kementerian Perindustrian

Bisnis, JAKARTA — Kendati indeks manufaktur Indonesia hingga pengujung 2021 sukses bertahan di level ekspansi, kinerja industri pada 2022 diproyeksi makin menantang; khususnya dalam hal substitusi impor komoditas bahan baku. 

Untuk diketahui, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia mencapai level 53,5 pada Desember 2021, turun dari bulan sebelumnya di posisi 53,9 meski tetap berada di level ekspansif atau di atas ambang 50.

IHS Markit mencatat operasional di seluruh sektor manufaktur Indonesia terus membaik pada bulan lalu, meski dengan kecepatan yang melambat dari November 2021.

Pertumbuhan produksi (output) pun sedikit membaik, meski realisasi kenaikan permintaan melambat selama dua bulan berjalan di tengah tren penguatan permintaan asing.

Direktur Ekonom IHS Markit Jingyi Pan mengatakan pada 2022, sektor kepercayaan bisnis serta aktivitas pembelian di sektor manufaktur akan membaik. Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan serapan tenaga kerja. 

Dia menjelaskan pemulihan di seluruh sektor manufaktur Indonesia melambat pada Desember. Subindeks produksi menunjukkan pertumbuhan produksi yang lebih tajam, tetapi terjadi perlambatan pada pertumbuhan permintaan, dengan total pekerjaan baru mengalami ekspansi pada laju lebih lambat selama empat bulan.

"Hambatan pasokan yang bertahan masih menjadi alasan utama di sektor manufaktur Indonesia karena kinerja pemasok terus memburuk dan perusahaan terus melaporkan tekanan harga lebih tinggi, yang berdampak pada produksi di beberapa perusahaan," kata Pan, Senin (3/1/2022).

Permintaan dan produksi barang buatan Indonesia mengalami ekspansi selama empat bulan berturut-turut pada Desember, dengan pertumbuhan produksi meningkat dari posisi November ke posisi tercepat ketiga dalam rekor.

Menurut panelis, perbaikan berkelanjutan pada kondisi perekonomian setelah pembatasan Covid-19 berkurang pada bulan-bulan sebelumnya mendukung pertumbuhan aktivitas sektor manufaktur. 

Sebaliknya, ekspansi pada total pekerjaan baru berkurang selama dua bulan berturut-turut pada Desember dan jauh lebih lambat dari posisi rekor pada Oktober. Perlambatan terjadi meski bisnis ekspor baru kembali membaik.

Untuk memenuhi kenaikan permintaan dan persyaratan produksi yang lebih besar, manufaktur Indonesia meningkatkan aktivitas pembelian mereka pada Desember, yang juga berkontribusi menaikkan tingkat inventaris praproduksi.

Peningkatan aktivitas pembelian juga berkaitan dengan harapan kenaikan permintaan pelanggan pada bulan-bulan yang akan datang. 

Tentu saja, Indeks Output Masa Depan menggambarkan bahwa manufaktur Indonesia memiliki pandangan yang lebih positif terhadap perkiraan 12 bulan produksi pada Desember dengan harapan bahwa kondisi ekonomi akan membaik sejalan dengan gangguan Covid-19 berkurang.

"Keseluruhan sentimen bertahan sangat positif, dengan tingkat kepercayaan diri bisnis di atas rata-rata jangka panjang menunjukkan bahwa manufaktur Indonesia masih optimistis terhadap pertumbuhan produksi berkelanjutan selama periode 2022," ujar Pan. 

Salah satu fasilitas produksi industri makanan. Istimewa/ Kemenperin

SUBSTITUSI IMPOR

Isu substitusi impor untuk pasok bahan baku dinilai masih akan menjadi tantangan serius bagi industri manufaktur pada 2022. Target pemerintah untuk mengatasi masalah ini pun dinilai belum cukup realistis. 

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, di industri hulu, produksi sejumlah komoditas seperti susu, kedelai, gula, dan jagung masih belum bergerak realisasi tahun-tahun sebelumnya. 

"Produksinya masih sama seperti tahun-tahun lalu, sementara kebutuhan bahan baku industri terus meningkat karena industri meningkat," kata Adhi kepada Bisnis, belum lama ini.

Adhi mengatakan pemerintah perlu menyusun peta jalan untuk mencapai target substitusi impor 35 persen, terutama yang menyasar pada kesinambungan industri hulu hingga hilir.

Sementara itu, pertumbuhan industri makanan dan minuman diproyeksikan sebesar 5—7 persen pada tahun ini. Angka itu berada di atas proyeksi pertumbuhan industri manufaktur sebesar 4,5 persen sampai 5 persen pada 2022.

Adhi mengatakan tantangan tingginya harga bahan baku dan biaya energi masih akan berlanjut pada 2022. Namun, masalah logistik yang sepanjang 2021 membebani kinerja ekspor, diprediksi melonggar pada 2022.

"Logistik harusnya akan lebih baik dibandingkan 2021, karena saya dapat info bahwa kemungkinan 2022 sudah akan lebih baik ketersediaan kontainer," kata Adhi.

Di luar teknis industri makanan dan minuman, Adhi juga melihat kepatuhan administrasi perpajakan akan menjadi sorotan. 

Seiring dengan perbaikan sistem dan monitoring perpajakan, serta integrasi data yang makin baik oleh pemerintah, pelaku usaha didorong untuk membenahi pembukuannya.

Menurut Adhi, hal itu akan berdampak jangka pendek terhadap kenaikan biaya pajak, terutama bagi pelaku yang tingkat kepatuhannya masih bermasalah.


TERLALU AMBISIUS

Dari perspektif ekonom, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memandang target Kementerian Perindustrian untuk menurunkan impor sebesar 35 persen pada 2022 terlalu ambisius.
 
 Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mentakan angka tersebut cukup ambisius mempertimbangkan kemampuan industri bahan baku dalam negeri yang masih terbatas. 

Upaya tersebut juga membutuhkan investasi besar dengan jangka waktu yang tidak seperti membalikkan telapak tangan.

"Targetnya Kemenperin ambisius sekali. Kalau tidak feasible akan merugikan industrinya juga. Kalau kita mendorong ekspor, ini yang bagus," kata Andry.

Pembatasan impor bahan baku dan bahan penolong, jika tak diiringi dengan kemampuan suplai dari dalam negeri, akan mengganggu produktivitas industri.

Seiring dengan upaya jangka panjang substitusi impor, dia mendorong pemerintah juga melakukan penguatan pada struktur industri tertentu.

"Substitusi impor boleh saja, tetapi jangan sampai itu mengganggu industri yang sudah ada selama ini dan tentu itu membutuhkan waktu yang jangka panjang," lanjutnya.

Menteri Perindustri Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya menerangkan target substitusi impor pada 2021 sebesar 20 persen. Namun demikian, dia mengaku capaian pada tahun lalu belum seperti yang ditargetkan.

Dari basis 2019, impor bahan baku dan bahan penolong sebesar Rp434 triliun. Pada 2022, target penurunan ditetapkan sebesar Rp152 triliun atau 35 persen. 

Sejumlah sektor yang diharapkan menjadi pendorong substitusi impor antara lain industri kimia dan farmasi, tekstil, logam, mesin, alat elektronik, dan industri agrikultura.

"Pada 2021 kami targetkan substitusi impor dapat mencapai 20 persen. Memang perlu kami akui karena beberapa hal, masih belum bisa tercapai 20 persen, walaupun kami masih optimistis target kami 35 persen dapat tercapai," ujarnya.

Pada perkembangan lain, Indef juga memproyeksikan industri manufaktur hanya mampu tumbuh 4,1 persen sampai 4,2 persen pada 2022. Hal itu dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indef di angka 4,3 persen.

Namun demikian, Andry mengatakan angka proyeksi itu berpeluang naik jika sepanjang semester I/2022 tidak ada guncangan yang berarti bagi industri.

Mahalnya ongkos pengapalan yang menyebabkan terkereknya harga bahan baku, serta kenaikan biaya energi, masih akan terus memberikan tekanan terhadap produksi dan harga jual.

Selain itu, meski daya beli masyarakat sudah mulai menunjukkan pemulihan, perubahan perilaku konsumsi menyebabkan tidak semua industri dapat kembali berkinerja optimal.

"Masih ada persoalan supply shock, diprediksi setidaknya pada akhir semester 1/2022 baru bisa berjalan normal. Ini memberikan pengaruh kepada industri mendapatkan bahan baku yang jauh lebih terjangkau," kata Andry.

Meski tetap menjadi penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB), angka kontribusi industri manufaktur mengalami tren penurunan sejak 2015.

Pada 2015, industri manufaktur mencatatkan kontribusi sebesar 20,99 persen terhadap PDB, sebelum mengalami penurunan 4 tahun berturut-turut hingga 2019 yakni 20,52 persen, 20,16 persen, 19,86 persen, dan 19,62 persen. 

Pada tahun lalu, angka kontribusi tersebut sedikit naik menjadi 19,88 persen.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan ada kendala penurunan utilisasi yang menyebabkan pemangkasan kontribusi dari tahun ke tahun.

"Selain itu, ada penurunan demand baik global maupun domestik, semua yang membuat turunnya kontribusi industri manufaktur terhadap PDB, kami sisir," kata Agus.

Agus mengatakan pemerintah terus melakukan upaya peyisiran masalah yang menyebabkan tren penurunan kontribusi terhadap PDB terus berlanjut. Dia menargetkan pada 2024, kontribusi manufaktur terhadap PDB dapat kembali ke angka 20 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.