Mengurai Tantangan Target Nol Emisi Karbon Jelang Puncak KTT G20

Tanpa adanya dukungan internasional terkait dengan pembiayaan untuk investasi hijau, akan sangat sulit bagi Indonesia melakukan transisi energi.

Ibeth Nurbaiti

11 Nov 2022 - 17.30
A-
A+
Mengurai Tantangan Target Nol Emisi Karbon Jelang Puncak KTT G20

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto terlihat dari udara. Mahalnya biaya investasi untuk teknologi energi baru dan terbarukan atau EBT di Tanah Air, membuat pengembangan energi hijau itu kian menantang. Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis, JAKARTA — Kendati Indonesia memiliki komitmen kuat dalam hal melakukan transisi ke energi baru terbarukan (EBT) yang lebih bersih dan ramah lingkungan, tantangan untuk mencapai target nol emisi karbon itu juga cukup menantang.

Hingga kini, misi untuk beralih ke energi yang lebih bersih ini di masa depan terus dibayangi oleh risiko mahalnya biaya energi yang harus dikeluarkan masyarakat. 

Baca juga: Cerita Pensiun Dini PLTU Batu Bara Segera Meluncur di KTT G20

Pemerintah pun perlu lebih berhati-hati dalam menyikapi proses transisi energi agar pasokan energi untuk masyarakat tetap terjamin. Krisis energi yang pernah terjadi di China dan Inggris menjadi pelajaran berharga bahwa keberlanjutan pasokan menjadi kunci transisi energi. 

Belum lagi persoalan investasinya yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar US$5,7 miliar per tahun untuk mendanai transisi energi. 

Baca juga: Lampu Hijau, Program Biodiesel B40 Siap Melaju

Tentu itu bukanlah angka yang kecil. Tanpa adanya dukungan internasional terkait dengan pembiayaan untuk investasi hijau, akan sangat sulit bagi Indonesia melakukan transisi energi.

Adapun, pemerintah telah berkomitmen akan mengurangi emisi CO2 sebanyak 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional untuk mencapai net zero emission pada 2060, sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC).

Untuk mencapai hal tersebut, menurut Menkeu, ada tiga hal yang bisa dilakukan yakni pertama, meningkatkan dan memanfaatkan lebih banyak energi terbarukan; kedua, pengurangan penggunaan bahan bakar fosil; dan ketiga, pemanfaatan teknologi untuk mengurangi emisi karbon, misalnya dengan menerapkan carbon capture and storage.

Namun demikian, penerapan fasilitas penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization and storage (CCUS) untuk menekan gas buang pada seluruh infrastruktur pembangkit fosil milik PT PLN (Persero) saja membutuhkan biaya yang mencapai US$700 miliar atau setara dengan Rp10.714 triliun dengan kurs Rp15.306.

Baca juga: Kucuran Deras Pembiayaan Hijau untuk Transisi Energi PLN

Angka US$700 miliar tersebut, menurut Executive Vice President Power generation and New & Renewable Energy PLN Herry Nugraha, untuk menambahkan fasilitas CCUS di seluruh pembangkit, transmisi, dan pengembangan distribusi hingga 2060.

Selain persoalan biaya, tarif listrik energi baru juga menjadi tantangan tersendiri untuk mewujudkan target nol emisi karbon. Dengan skema pembiayaan dan teknologi untuk transisi energi pada seluruh infrastruktur pembangkit PLN, belakangan dipastikan akan ikut memengaruhi tarif listrik di tingkat konsumen.

Baca juga: Menyulap Sampah Jadi Sumber Energi Bersih di Kota Minyak

Dengan demikian, perlu adanya dukungan pemerintah untuk memastikan proses peralihan menuju energi bersih itu tetap menjaga tarif listrik untuk masyarakat.

Penerapan CCUS ini merupakan skenario lain yang disiapkan perseroan untuk menekan emisi karbon, selain melakukan phase out atau pemberhentian secara bertahap pengoperasian PLTU. Langkah penghentian operasional PLTU batu bara ini pula yang akan disampaikan pemerintah pada acara puncak KTT G20 pada pekan depan.


Adapun, inovasi teknologi CCUS yang lebih ekonomis memungkinkan pemanfaatan PLTU tanpa menimbulkan peningkatan emisi gas rumah kaca. Bila menggunakan skenario phase out PLTU, penggunaan batu bara diperkirakan akan mengalami penurunan cukup tajam setelah 2030. Namun, jika menggunakan skenario penerapan CCUS, penggunaan batu bara bisa dipertahankan pada volume tertentu hingga 2060.

Sejatinya, pemerintah telah memasang target pengembangan energi hijau dalam jangka pendek. Berdasarkan rencana umum energi nasional, setidaknya bauran energi bersih dapat mencapai 23 persen dari total energi nasional pada 2025. 

Baca juga: China Bertanggung Jawab Seperempat dari Investasi Hijau Dunia

Sebagai pemegang tampuk presidensi G20 pada tahun ini, Indonesia dengan sumber EBT terbesar sekaligus penyumbang emisi karbon dunia, mendapatkan momentum untuk mendorong kebijakan transisi energi dunia ke depannya. Itu sebabnya, Pemerintah Indonesia akan meminta komitmen dari sejumlah pemimpin G20 untuk mengakselerasi transisi energi.

Seperti yang disampaikan Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin melalui rilis Setwapres yang dikutip Jumat (11/11/2022), Indonesia memiliki posisi strategis dalam penanganan perubahan iklim, terlebih sebagai pemegang Presidensi G20 2022 serta Ketua Asean pada 2023 mendatang.

Baca juga: Ketika Halang Rintang untuk Mengebut Energi Hijau Kian Menantang

Sejalan dengan itu, menurut Wapres, upaya Indonesia dalam menangani krisis perubahan iklim juga terlihat lebih konkret jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Hal ini tampak dari berbagai upaya strategis yang dilakukan, termasuk dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan.

“Indonesia terus berupaya untuk lead by example [memimpin dengan contoh] melalui berbagai upaya positif,” tuturnya.


Ma'ruf memaparkan bahwa peningkatan target penurunan emisi Indonesia selaras dengan perkembangan signifikan kebijakan Indonesia, seperti perluasan konservasi dan restorasi alam, penerapan pajak karbon, mencapai Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030, pengembangan ekosistem kendaraan listrik, serta inisiasi program biodiesel B40.

Kemudian, untuk memastikan pendanaan transisi energi, Indonesia telah meluncurkan Country Platform for Energy Transition Mechanism. Namun, menurutnya, semua upaya nasional tersebut perlu disertai dukungan internasional yang jelas, termasuk penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi untuk transisi energi, dan pendanaan untuk aksi iklim.

Baca juga: Indonesia Singgung Tanggung Jawab Global untuk Transisi Energi

Sementara itu, Ekonom UOB Enrico Tanuwidjaja menegaskan bahwa perubahan iklim menjadi masalah paling mendesak yang tengah dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Pada saat bersamaan, tantangan permintaan energi, kelangkan pangan, dan masalah kesehatan juga melanda secara global.

Namun, Indonesia harus terus mendukung keberlanjutan dan juga mengelola belanja dan investasinya untuk memastikan pemulihan. “Kami berharap melalui Presidensi Indonesia pada G20 tahun ini, negara-negara di seluruh dunia akan memanfaatkan kekuatan dan kepiawaian mereka dalam mendorong ekonomi hijau,” ujarnya dalam UOB Economic Outlook 2023, belum lama ini. (Akbar Evandio/Dionisio Damara/Nyoman Ary Wahyudi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.