Menimbang Dampak Sistemik Pajak Karbon Lintas Sektor Industri

Tidak hanya terhadap sektor manufaktur, dampak implementasi pajak karbon untuk PLTU batu bara senilai Rp30 per kg karbon dioksida ekuivalen pada 2022 juga dirasakan oleh pengusaha di sektor jasa. 

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi & Reni Lestari

19 Nov 2021 - 13.29
A-
A+
Menimbang Dampak Sistemik Pajak Karbon Lintas Sektor Industri

Petugas mengecek instalasi di PLTP Kamojang, Garut, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pertamina menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 diantaranya melalui pemanfaatan energi rendah karbon dan efisiensi energi sebagai komitmen perseroan terhadap implementasi Environmental, Social and Governance (ESG). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Bisnis, JAKARTA — Pelaku industri dari sejumlah sektor tengah ancang-ancang menaikkan harga jual produk mereka di tingkat konsumen pada 2022, seiring dengan rencana implementasi pajak karbon.

Salah satu sektor yang paling terdampak kebijakan tersebut adalah industri pertekstilan hulu.

Pengusha segmen ini mencemaskan kenaikan tarif listrik PT PLN (Persero) seiring rencana implementasi pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara senilai Rp30 per kg karbon dioksida ekuivalen (CO2e) tahun depan. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan kenaikan tarif listrik pada perusahaan milik negara itu tidak terhindarkan setelah implementasi pungutan karbon.

Kendati demikian, Redma menuturkan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dan PLN belum sampai pada keputusan definit ihwal skema pembayaran pungutan karbon tersebut. 

Redma berharap pemerintah dapat memberikan subsidi tambahan kepada PLN seiring dengan pelaksanaan kebijakan pajak karbon itu.

Harapannya, kata dia, kenaikan tarif listrik itu dapat ditekan agar tidak berdampak serius pada biaya produksi. 

“Kalau listrik PLN naik lagi tentu akan menambah pengeluaran kami, mau tidak mau kami akan mengarahkannya ke harga jual. Namun, kami belum tahu berapa besarannya masih menunggu hitungan dari PLN,” kata Redma saat dihubungi, baru-baru ini. 

Hanya saja, Redma menggarisbawahi, penyesuaian harga barang itu relatif sulit dilakukan untuk pasar ekspor.

Manuver itu dikhawatirkan bakal menurunkan daya saing produk tekstil dalam negeri di pasar internasional. Apalagi, harga produk ekspor sudah relatif mahal akibat biaya pengiriman dan krisis energi. 

“Untuk pasar lokal, harga jual ini bisa kami sesuaikan karena sudah ada safeguard garmen, tetapi ujung-ujungnya pasti inflasi [ada kenaikan harga jual],” kata dia. 

Di sisi lain, PLN memastikan pengenaan pajak karbon terhadap PLTU akan berdampak pada kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan pengenaan pajak yang ditetapkan pemerintah akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan. 

Meski begitu, dia memastikan bahwa PLN sebagai BUMN akan mendukung seluruh kebijakan pemerintah, termasuk terkait pengenaan pajak karbon mulai 2022. 

“Pengenaan pajak karbon akan menaikkan BPP, dan tentu saja dengan skema tarif saat ini akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi,” katanya.

Ketentuan tersebut ditetapkan setelah DPR mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU. Pengenaan pajak karbon itu akan berlaku mulai 1 April 2021.

“Yang pertama kali dikenakan [pajak karbon] terhadap badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram CO2e atau satuan yang setara,” bunyi Pasal 17 Ayat 3 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

SEKTOR HILIR

Di sisi lain, industri pertekstilan hilir mengaku tidak terdampak serius dari rencana implementasi kebijakan pajak karbon tahun depan. 

Vice Chief Executive Officer PT Pan Brothers Tbk. (PBRX) Anne Patricia Sutanto mengatakan perseroan sudah mulai beralih untuk menggunakan panel surya sebagai sumber energi. Langkah itu diambil untuk menekan struktur biaya produksi dari komponen energi. 

“Dampak kebijakan karbon kecil sekali karena cost energy kami dari PLN itu 1 persen maksimum 1,5 persen dan mulai akhir tahun ini rata-rata semua pabrik sudah beralih ke panel surya,” kata Anne melalui sambungan telepon. 

Ihwal peralihan sumber energi itu, Anne menerangkan, biaya produksi dari komponen energi PBRXs relatif turun dari PLN yang sebagian disinyalir terkena pungutan karbon tahun depan.

Anne menuturkan peralihan menggunakan panel surya itu hasil kerja sama dengan perusahaan penyedia lewat skema Build Operate Transfer atau BOT. 

“Ada perusahaan yang investasi untuk panel surya nanti kami membayarkan dari perbedaan harga antara panel surya versus PLN jadi kami tidak pake belanja modal malahan,” tuturnya. 

Adapun, PBRX menargetkan peralihan energi terbarukan itu rampung pada 2024. Saat itu, dia mengatakan, seluruh sumber energi sudah beralih ke panel surya. 

Lain sektor, industri hilir plastik dalam negeri meminta pemerintah untuk memastikan implementasi pajak karbon tahun depan tidak merugikan pelaku usaha di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono berpendapat rencana implementasi kebijakan pajak karbon itu berpotensi menurunkan daya saing produk dalam negeri akibat naiknya harga jual produk.

Alasannya, Indonesia menjadi negara pertama di kawasan Asean yang bakal menerapkan pungutan atas gas buang tersebut. 

“Jangan sampai kenaikan bahan baku itu justru menjadi bumerang bagi kami karena pajak karbon baru Indonesia yang melakukan di kawasan Asean,” kata Fajar. 

Fajar khawatir implementasi pajak karbon memberi peluang lebar bagi masuknya barang-barang impor dengan harga yang relatif terjangkau di pasar dalam negeri. Apalagi, barang impor jadi relatif mudah untuk masuk ke dalam pasar domestik ketimbang bahan baku. 

“Penerapan pajak karbonnya harus sejajar. Kalau tidak, kami bisa kalah bersaing dengan barang-barang impor,” tuturnya. 

Pekerja mengoperasikan mesin di komplek pabrik PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA), Cilegon, Banten./Antara - Muhammad Iqbal 

SEKTOR JASA

Tidak hanya industri manufaktur yang terdampak oleh kebijakan pajak karbon pada 2022, sektor jasa pun turut terciprat imbas dari peraturan tersebut.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menilai negatif rencana pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan karbon tahun depan saat industri pariwisata belum seutuhnya pulih.

Alasannya, kebijakan pajak karbon itu dinilai ikut mendorong kenaikan tarif listrik di tingkat konsumen tahun depan. 

“Kenaikan listrik itu akan menjadi beban usaha dalam situasi sulit seperti ini, kami meminta jangan listrik dinaikan saat ini saja sudah susah. Efek dari kebijakan ini juga tidak hanya listrik, tetapi yang lainnya,” kata Maulana melalui sambungan telepon. 

Maulana mengatakan komponen listrik mengambil porsi yang besar terkait dengan biaya operasi jasa perhotelan dan restoran selama ini. Di sisi lain, pendapatan sektor pariwisata tetap tertahan akibat pembatasan mobilitas masyarakat domestik dan internasional. 

“Pemerintah menahan permintaan pasar di sisi lain beban usahanya malah ditambah,” kata dia. 

Dengan demikian, dia meminta pemerintah untuk dapat memberikan subsidi tambahan kepada PLN seiring dengan implementasi kebijakan pajak karbon tahun depan.

Harapannya, kenaikan ongkos pada PLN tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada industri dan rumah tangga di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional. 

Lain sisi, Asosiasi Semen Indonesia (ASI) melakukan pemetaan terkait rencana penerapan pajak karbon pada tahun depan.

Pajak karbon ditetapkan pemerintah dalam UU HPP. Besarannya turun dari usulan sebelumnya sebesar Rp75 per kg CO2e menjadi Rp30 per kg CO2e.

Tahap pertama, mulai 1 April 2022 hingga 2022, diterapkan mekanisme pajak berdasar pada batas emisi untuk sektor pembakit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Adapun, mulai 2025 dan seterusnya, implementasi pajak karbon akan diperluas ke sektor-sektor industri lain memperhatikan kesiapan dan faktor-faktor seperti kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, serta dampak dan skala.

"Masalah pajak karbon akan di-mapping dulu, diselaraskan dengan pasar karbon," kata Ketua Umum ASI Widodo Santoso.  

Sebagai salah satu industri yang tinggi penggunaan batu baranya, penerapan pajak karbon akan secara signifikan menaikkan biaya produksi.

Sesuai dengan UU HPP, Widodo memperkirakan penerapan pajak karbon untuk industri baru akan dimulai pada 2025 setelah jelas sistem penghitungan tarifnya.

Selain risiko penerapan pajak karbon, produksi semen sepanjang tahun ini sudah terbebani oleh harga batu bara yang tinggi dan ketersediaannya yang terbatas.

Meski pemerintah telah menetapkan harga batu bara khusus untuk industri semen dan pupuk sebesar US$90 per metrik ton, tekanan pada biaya produksi dinilai belum akan mereda.

Di sisi lain, ketersediaan batu bara yang rendah membuat produsen semen menyetop ekspor pada dua bulan terakhir tahun ini.  

Sementara itu, ASI juga mencatat total konsumsi semen di dalam negeri mencapai 6,56 juta ton pada Oktober 2021.

Adapun secara kumulatif sejak awal tahun, konsumsi semen tercatat sebesar 53,49 juta ton, atau naik 5,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Widodo mengatakan melihat angka konsumsi pada 10 bulan pertama tahun ini, pertumbuhan serapan semen diperkirakan hanya mampu tumbuh berkisar 5 persen hingga 6 persen sepanjang 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.