Free

Nuthuk

Membeli barang dengan harga lebih rendah dari seharusnya ternyata juga bisa dipandang sebagai ketidakadilan, bahkan maksiat alias tercela.

4 Jun 2021 - 09.06
A-
A+
Nuthuk

Baru kemarin saya larut dalam dialog ihwal kelak-keluk harga dengan Om Thom. Pangkalnya, video berisi keluh konsumen akibat nuthuk atau penaikan harga secara tak wajar oknum pedagang kaki lima di Yogyakarta.

Video itu viral pekan lalu karena harga sepaket pecel lele yang dikeluhkan pembeli itu terbilang jauh lebih tinggi dari harga makanan segenus, di metropolitan sekalipun.

Namun, problem penaikan harga senyap dan minim belas kasih itu tentu bukan perkara tunggal dan baru. Ada jamak kejadian serupa dengan korban utama pelancong di tempat wisata.

Kemarin, warganet kembali nyinyir dengan harga paket dobel mi instan rebus di Puncak, Bogor, yang lebih mahal dari paket nasi, minum dan dua ayam dari salah satu restoran cepat saji favorit.

Saya penasaran dengan pendapat Om Thom lantaran dia terkenal cukup lantang dan sejak lawas bicara soal keadilan dalam banyak aspek, termasuk ekonomi dan harga yang adil (just price).

“Jika harganya melebihi nilai barang itu atau sebaliknya nilai barang itu melebihi harganya, tidak ada lagi persamaan keadilan,” ujarnya.

Saya membatin. Tentu, saya sepakat dengan konklusi dan bagian awal premis mayor pernyataan Om Thom. Sama seperti kejadian pekan lalu, harga sepaket pecel lele itu ada di atas nilai ‘wajar. Tidak adil.

Sementara bagian kedua proposisi itu agak mengganjal bagi budak konsumerisme macam saya. Membeli barang dengan harga lebih rendah dari seharusnya ternyata juga ketidakadilan, bahkan maksiat alias tercela.

“Akibatnya, menjual sesuatu lebih dari nilainya, atau membelinya dengan harga lebih rendah dari nilainya, dengan sendirinya tidak adil dan melanggar hukum,” tegas Om Thom.

Saya sontak teringat kerabat yang dalam berbagai kesempatan menawar harga di pasar dengan militan. Acapkali, penawaran harga yang brutal itu hanya menyisakan nanar terpendam bagi pedagang.

Pada akhirnya, saya mahfum dengan pernyataan Om Thom. Wajar saja, dia dibesarkan dalam tradisi gereja yang ketat dan warisan akademis yang kokoh dengan Aristoteles (384 SM-322 SM) sebagai patron.

Nama terakhir ini dalam sejarah ekonomi dikenal sebagai peletak dasar teori nilai dan harga, termasuk pertukaran barang dan penggunaan uang. Namun, dia menolak pinjam-meminjam uang dengan bunga sebab berujung pada kesenjangan ekonomi dan korupsi.

Om Thom mengamini itu. Bahkan, dia mengutuk bunga karena termasuk riba. “Sama dengan menjual sesuatu yang tidak ada.”

Harap maklum, dengan latar belakang tradisi Alkitab, gereja dan Aristotelianisme, pernyataan Om Thom ini tampaknya lebih merupakan pendekatan etika atau ekonomi normatif. Lagipula, mitra dialog saya hidup jauh sebelum hukum ekonomi positif maju pesat, tepatnya abad ke-13.

Ya, saya berdialog imajiner dengan Thomas Aquinas, filsuf dan teolog skolastik terbesar dalam sejarah melalui secuil kutipan dari karyanya, Summa Theologiae.

Mungkin dari Om Thom kita bisa belajar soal harga yang adil. Tak hanya menjual dengan wajar tetapi juga membeli dengan hormat. Mungkin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.